Soal Pencalonan Alex di DKI, Demokrasi Harus Beretika
Pakar otonomi daerah dan reformasi birokrasi Ryaas Rasid mengemukakan apa yang terjadi pada Alex Noerdin adalah sesuatu fenomenal untuk pengembangan demokrasi Indonesia.
Seorang kepala daerah yang masih menjabat bisa mencalonkan diri di daerah lain.
"Setahu saya, ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah demokrasi Indonesia," kata Ryaas di Jakarta, hari ini.
Dia mengemukakan, sumbangan dari kasus Alex adalah menjadi bahan kajian, penelitian dan pembelajaran demokrasi Indonesia. Apakah model seperti ini menjadi biasa dalam proses demokrasi.
Menurutnya, di Amerika Serikat (AS) yang sudah lama mempraktikan demokrasi, tidak ada gubenur negara bagian tertentu kemudian menjadi calon gubenur di negara bagian lain. Untuk kasus Alex adalah sesuatu yang baru dalam proses demokrasi dan itu terjadi di Indonesia.
Mantan Menteri Otonomi Daerah itu menjelaskan demokrasi seharusnya memiliki etika dan bertanggung jawab. Etikanya adalah Alex harus meminta izin terlebih dahulu kepada rakyat Sumatera Selatan (Sumsel), apakah boleh mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
Kalau boleh maka dia maju. Sebaliknya jika tidak, Alex harus mengurungkan niatnya. Yang terjadi adalah Alex meninggalkan saja rakyat Sumsel yang telah memilihnya. Alex dengan mudah menjadi calon gubernur DKI tanpa meminta persetujuan rakyatnya.
Karena itu Alex tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Alex tidak menjalankan prinsip bertanggung jawab dalam nilai-nilai demokrasi.
Di sisi lain, dia belum menanyakan kepada rakyat Jakarta apakah mau menerima Alex dari daerah lain untuk memimpin mereka. Alex sangat lancang dan mengabaikan penerimaan rakyat Jakarta. Maka Alex tidak menghormati etika dan tanggung jawab demokrasi.
"Jangan demokrasi direduksi ke urusan partai politik. Demokrasi harus punya etika dan tanggung jawab," tegasnya.
Ryaas yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres) ini mengaku pesimis pasangan Alex-Nono Sampono terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta. Alasaannya, Alex belum dikenal di kalangan masyarakat Jakarta.
Kedua, Alex belum pernah mengabdi atau bekerja di Jakarta. Alex sama sekali tidak pernah menjadi pegawai atau pejabat di wilayah Jakarta sehingga tidak mengenal persoalan Jakarta.
Ketiga, partai pengusung pasangan Alex adalah minoritas di Jakarta. Golkar, PPP, dan PDS tidak mempunyai basis suara yang banyak di Jakarta. Ketiganya sangat minim dan tidak memiliki infrastruktur maupun mesin dukungan paartai yang solid.
Di sisi lain, aturan di DKI berbeda dengan wilayah lain. Untuk menang menjadi gubenur DKI, para calon harus memenangkan 50 + 1 atau setengah dari jumlah pemilih. Berbeda dengan wilayah lain yang hanya menang 30 + 1.
"Alex itu menang di Sumsel karena 30 + 1. Untuk DKI Jakarta harus 50 + 1. Dengan aturan itu ditambah basis dukungan partai pengusung sangat minoritas maka saya pesimis pasangan Alex terpilih," ujarnya.