Gubernur DKI Terpilih Dituntut Tolak Privatisasi Air Jakarta
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menolak privatisasi air di Jakarta. Mereka menilai, gubernur dan calon gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) ke depan haruslah yang bisa menyelesaikan permasalahan air di Jakarta.
"LBH Jakarta dan KMMSAJ sengaja mengangkat permasalahan air di Jakarta karena air telah dilupakan, dipinggirkan sebagai kebutuhan umum yang mana seharusnya yang berkepentingan memperjuangkannya terlebih pemerintah," kata Ketua LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, melalui rilis, hari ini.
Menurut LBH, air di Jakarta bisa dikategorikan sebagai air termahal di dunia. Lebih 40 persen rumah warga Jakarta tidak memiliki sambungan air perpipaan. Warga miskin harus membeli air dengan harga Rp37 ribu hingga Rp85 ribu per meter kubik.
Hal tersebut terjadi karena pemerintah melakukan privatisasi air, yang mana PAM Jaya sebagai perusahaan negara jusru melakukan kontrak dengan perusahaan swasta Palyja dan Aetra.
Semenjak melakukan kerjasama dengan pihak swasta yang diikat dengan perjanjian 25 tahun sejak tahun 1997, PAM mengalami kerugian hingga Rp1,3 triliun. Di samping itu aset perusahaan menurun dari Rp1,49 triliun menjadi Rp204,46 miliar, sesuai audit tahun 2007. "Selain masalah privatisasi, tingkat keamanan air bersih di Jakarta juga bermasalah," tandas Nurkholis.
Diskusi soal privatisasi air ini digelar di kantor LBH Jakarta, kawasan Diponegoro, Jakarta. LBH juga mengundang enam pasangan calon gubernur namun hanya calon gubernur Hendardi Supandji yang hadir. Hendardi merupakan salah satu pasangan dari jalur independen bersama Riza Patriya.
Dalam diskusi hari ini, calon gubernur Hendardji Supandji menilai kontrak air yang dilakukan PAM Jaya harus diadendum jika menyengsarakan rakyat. Ditambahkannya, utang-utang perusahaan harus dilunasi dalam periode jabatan gubernur ke depan.
"Swastanisasi kalau meringankan beban rakyat tidak masalah tapi kalau justru membebani ya tidak bisa," tutur Hendardji. "Tadi utang pemerintah kepada swasta Rp 1,3 triliun dan aset PAM sendiri tinggal Rp200 miliar, aset dikuasai negara lebih kecil dari utang Rp1,3 triliun, ini enggak masuk akal," lanjutnya.
Utang PAM Jaya, menurut dia, harus dilunasi dan kontrak kembali ditinjau agar kerjasama dengan swasta tak lagi dilakukan. Utang dilunasi dengan anggaran besar kata dia bisa ditutup dengan peningkatan pendapatan daerah dari berbagai sektor, tak hanya mengutamakan pajak kendaraan.
"Perjanjian 25 tahun masih bisa ditinjau kembali dan utang kan tidak harus dibayar sekaligus bisa dibayarkan selama jabatan gubernur," tandas Hendardji.