Harta Karun Itu Bernama Hak Cipta
Harta yang paling berharaga dari seorang seniman adalah hasil karya. Selain merupakan torehan sejarah, hasil karya itu membuat para seniman merasa dihargai. Karena itu mendaftarkan hasil karya merupakan hal yang wajib bagi setiap orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.
Namun banyak sekali di tanah air ini, para seniman justru tidak mendapatkan apapun dari hasil jerih payahnya.
Salah satu contohnya adalah Sartono. Seorang guru honorer pencipta lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Meski menciptakan lagu yang sangat populer, namun nasib Sartono tidaklah lebih baik.
Ia tidak menerima apapun royalti dari lagu yang diciptakannya, meski banyak orang menggunakan lagunya dalam sebuah produksi rekaman atau berbentuk cetakan. Praktis, pensiunan guru honorer tersebut hidup dalam kondisi serba memprihatinkan.
Di masa senjanya, barulah ia mulai diperhatikan pemerintah ketika banyak media mulai membahas kehidupannya meskipun Sartono tidak menuntut terlalu banyak dari apa yang telah dihasilkannya.
Nasib yang lebih beruntung dialami Gesang. Pencipta Bengawan Solo yang saat ini telah wafat tersebut, namanya sungguh harum hingga ke mancanegara. Ia pun menerima banyak royalti dari lagunya yang fenomenal tersebut.
Meski tidak mengantongi jumlah yang besar, setidaknya Gesang tidak terlalu mengalami kesulitan dalam urusan finansial.
Kasus tentang hak cipta yang kini tengah hangat dibicarakan adalah perseteruan antara Drs Suyadi atau yang akrab disapa Pak Raden dengan Produksi Film Negara (PFN).
Kasus tersebut bermula dari tuntutan Pak Raden yang menginginkan hak cipta tokoh si Unyil dikembalikan kepadanya setelah merasa dipinjam melalui surat perjanjian, dari kurun waktu tahun 1995 - 2000.
Namun permasalahannya, pihak PFN tidak ingin menyerahkan begitu saja si Unyil lantaran mengantongi perjanjian hak cipta dengan Pak Raden tanpa adanya batas waktu.
"Hak cipta milik PFN tapi pencipta tetap Drs Suyadi. Hak cipta menentukan royalti dan kami sudah membuat perjanjian dengan Pak Raden terkait masalah tersebut," ujar Drs EM Rasyid MBA MM, manajer admnistrasi umum kepada Beritasatu.com beberapa waktu lalu.
Ujung-ujungnya uang
Seperti yang telah diungkapkan Rasyid, hak cipta menentukan siapa yang berhak atas royalti hasil karya tersebut. Berbicara masalah royalti, tidak terlepas dari uang yang mengalir dibalik kepolosan tokoh si Unyil. Dengan kata lain, apa yang diributkan Pak Raden dan PFN berujung pada uang.
Maklum saja, tokoh si Unyil meski telah 'usang' dimakan waktu namun dengan modifikasi tim kreatif, masih tetap berharga dan menghasilkan uang. Stasiun televisi swasta seperti Trans 7 pun melihat peluang tersebut dengan membuat program yang terbilang sukses, Laptop si Unyil.
Jadi, sangat wajar jika hak cipta yang menghasilkan royalti dan berujung pada limpahan materi, akan sangat mungkin dipermasalahkan.
Contohnya saja saat Inul Daratista membuat brand karaoke Inul Vista. Seorang pengacara bernama Andar Situmorang, tiba-tiba muncul mengatasnamakan ahli waris Guru Nahum Situmorang, pencipta lagu-lagu Batak, menuduh Inul melakukan pembajakan karya cipta dengan memasukkan lagu-lagu karya Guru Nahum Situmorang ke dalam daftar lagu yang dapat dinyanyikan pelanggan karaokenya.
"Saat itu saya merasa heran karena saya membuat karaoke secara legal dengan aturan main yang jelas pula. Salah satunya adalah membayar royalti atas lagu-lagu yang dikomersilkan melalui karaoke Inul Vista ke perusahaan-perusahaan yang telah ditunjuk," ujar Inul saat dihubungi Beritasatu.combeberapa waktu lalu. Bahkan saat kasusnya menghangat, Inul tanpa sungkan menunjukkan bukti-bukti pembayaran atas royalti seluruh lagu yang ada dalam daftar lagu di karaoke Inul Vista.
"Jadi urusan royalti tidak ada masalah, bahkan sampai hari ini pun tidak ada masalah dengan hal tersebut. Dan Alhamdulilah aku menang melawan orang tersebut (Andar)," imbuh Inul yang saat ini terbilang sukses sebagai seorang pengusaha karaoke.
Sebagai seorang seniman, Inul mengaku tahu betul makna hak cipta. Karena itu ia berusaha untuk tidak main-main dalam urusan royalti.
kehati-hatian itu juga dilakukan penyanyi Rossa. Penyanyi bertubuh mungil tersebut saat ini memiliki usaha karaoke di beberapa kota besar dengan brand Diva Karaoke. Oca, sapaan akrab penyanyi asal Sumedang tersebut juga telah mengurus royalti dari seluruh lagu yang masuk daftar lagu di karaoke miliknya.
"Sebelum dibangun, manajemen kami sudah mengurus hal tersebut dan kami usahakan tidak ada yang terlewat," ujar Rossa beberapa waktu lalu kepada Beritasatu.com.
Rossa mengaku tidak ingin melakukan kecurangan dalam urusan royalti kepada pemilik sah lagu-lagu yang ada dalam daftar lagu di karaoke miliknya lantaran dirinya pun tidak ingin karyanya menjadi komoditi pihak lain tanpa ada persetujuan dirinya.
"Saya berusaha membangun bisni ini dengan jujur dan niat baik. Mudah-mudahan kedepannya tidak ada masalah," ujar Rossa.
Penyelesaian paling bijaksana adalah jalur kekeluargaan
Menanggapi kasus yang menimpa Pak Raden, Dirjen HAKI Prof. Dr. Ahmad Ramli mengatakan kalau ada beberapa hal yang mesti dipahami oleh publik. Hal pertama adalah bahwa Pak Raden itu memiliki hak cipta terhadap tokoh-tokoh karakter di film boneka Si Unyil dan bukan paten atau merek.
Hak Cipta, menurutnya, memberikan perlindungan atas ciptaan-ciptaan di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Sementara paten memberikan perlindungan atas intervensi di bidang teknologi dan merek memberikan perlindungan atas logo dan simbol dagang.
Menurut Prof. Ahmad, sebagai pemilik hak cipta Pak Raden memiliki hak atas dua hal, yaitu hak eklusif dan hak moral. Lewat hak ekslusif, Pak Raden mendapat hak pembagian keuntungan komersial yang didapat oleh tokoh si Unyil, sementara lewat hak komersial nama Pak Raden sebagai pencipta harus selalu disebutkan.
Namun begitu, Prof. Ahmad menekankan bahwa kasus ini jangan dibawa ke ranah hukum. “Menurut saya, kasus ini jangan dibawa ke ranah hukum karena nanti malah menjadi semakin rumit,” ujarnya.
Menurut Prof. Ahmad kedua belah pihak, yaitu Pak Raden dan Produksi Film Negara (PFN), harus duduk bersama untuk membahas masalah ini. “Kedua belah pihak harus melakukan mediasi.”
Menurutnya hal ini penting karena apabila masalah ini dibawa ke ranah hukum dampaknya akan sangat negatif bagi cerita si Unyil.
“Kalau masuk ranah hukum, pihak lain pasti enggan untuk bekerja sama menggunakan si Unyil. Hal ini tentu sangat merugikan," ujarnya.
Prof. Ahmad lebih lanjut mengatakan kalau tokoh Si Unyil merupakan satu aset bangsa yang patut dilindungi karena menyampaikan pesan-pesan yang sangat positif kepada masyarakat, terutama anak kecil.