Kontroversi UU Penanganan Konflik Sosial
Sebagaimana kita ketahui, pengesahan UU Penanganan Konflik Sosial (PKS) sempat ditunda pada awal April 2012 lalu karena tekanan dari sebagian anggota DPR. Tetapi pertengahan April 2012, paripurna DPR RI berhasil mengesahkan Rancangan Undang Undang yang cukup kontroversial ini. UU ini sebenarnya mendapat sorotan tidak saja dari publik tetapi justru sebagian anggota DPR tidak menyetujui isi UU ini.
Yang menarik adalah pernyataan salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PDIP yaitu Helmi Fauzi. Helmi berargumen terkait isi UU ini yang bermasalah antara lain adalah definisi konflik, karena definisinya cenderung meluas dan multitafsir.
Definisi konflik sosial cenderung diartikan secara negatif. Padahal, kata Helmi, konflik sebagai fenomena alamiah adalah hal yang tidak bisa dihindari dan merupakan sesuatu yang biasa.
Memang kalau kita melihat literatur akademik maka konflik adalah sesuatu yang alami dalam kehidupan manusia. Boleh dikatakan tidak ada hubungan di antara manusia, hubungan antara kelompok maupun hubungan antara negara, tanpa diwarnai konflik.
Kemudian, apakah bentuk konfliknya berskala intensitas rendah dan intensitas tinggi, hal ini telah menjadi keseharian kita. Untuk menangani konflik tentunya ada beberapa sarana dan instrumen. Baik sistem peringatan dini dalam mencegah ataupun mediasi dalam menangani konflik yang sudah terjadi.
Yang sangat menarik dari UU ini adalah kenapa konflik dibuat dalam bentuk undang-undang. Karena sebenarnya dari tataran legalistik konflik agak sulit diatur secara baku dalam suatu UU. Karena kalaupun terkait ketertiban sosial terutama hubungan antara manusia dan/atau kelompok sudah ada regulasi yang menangani hal ini yaitu KUHP.
Beberapa tindakan kekerasan dalam konflik sebenarnya sudah bisa ditangani dengan penegakan hukum lewat instrumen KUHP ini. Dan lagi-lagi tampaknya aparat penegak hukum sangat lemah dalam implementasi penegakan hukum ini, lalu pertanyaannya apa gunanya KUHP.
Memang aparat penegak hukum memiliki hak diskresi dalam setiap penanganan keamanan dan ketertiban sosial di masyarakat. Fungsi lain dari aparat hukum/negara yaitu deteksi dini juga belum digunakan secara optimal (Sebagai contoh Polri punya program Pemolisian masyarakat dan Kemdagri punya kesatuan bangsa).
Hampir semua pasal dalam UU penanganan konflik sosial ini sangat bertentangan dengan UU no.23 tahun 1959, ketika Presiden adalah otoritas yang dapat mendeklarasikan situasi darurat. Dalam UU 23/1959 hanya mengenal tiga status darurat sebagai berikut; darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.
Sedangkan UU PKS menyatakan status keadaan konfik (penulis; status konflik= darurat) dibagi menjadi skala kota/kabupaten, provinsi dan nasional. Terjadi ketidaksinkronan antara UU 23 tahun 1959 dengan UU PKS ini membuat kita berpikir bahwa UU ini justru tidak menyelesaikan masalah dalam tataran legal dan politik.
Yang justru terjadi adalah rumusan UU PKS ini membuat komplikasi dengan UU no. 23/1959 yang masih berlaku. Pertanyaannya adalah kalau terjadi keadaan konflik bersenjata di kabupaten, akankah pemerintah merujuk ke UU PKS atau bagaimana. Ketidaksinkronan ini juga akan membuat bingung terutama aparat penegak hukum yaitu Polri.
Belum lagi pelibatan TNI yang dimasukkan dalam pasal tersendiri yaitu pasal 33 dan 34. Sebenarnya Pasal 33, salah satu di antara pasal bermasalah, yang mendapat kritik keras dari anggota DPR hanya diubah dengan menghapuskan frasa, “atas pertimbangan Forum Koordinasi pimpinan daerah Kabupaten/Kota”.
Namun perbaikan ini tetap saja meninggalkan persoalan tafsir dari pasal ini, karena pasal 33 yang sudah disahkan (terutama ayat 1) tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pemerintah. Bisa saja ditafsirkan pemerintah ini adalah pemerintah daerah provinsi.
Belum lagi soal keberadaan satuan tugas penyelesaian konflik (pasal 42), apakah melalu pendirian satgas yang adhoc ini seolah-olah semua konflik dapat diselesaikan. Sehingga secara isi, filosofis, dan proses penyusunan UU ini sangat bermasalah.
Sebagai catatan penutup, UU ini sebenarnya sangat jauh dari urgensi dalam menyelesaikan konflik. Padahal dari naskah akademik, RUU ini sudah menyadari bahwa persoalan konflik di Indonesia banyak bersumber dari kesalahan kebijakan pemerintah yang tidak adil dalam bidang ekonomi dan politik dan juga kebijakan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat lokal/adat.
Sehingga lagi-lagi sebagian masyarakat sipil harus mengambil langkah untuk melakukan uji materi terhadap UU PKS ini akibat proses legislasi yang sangat buruk dari sebagian anggota DPR.
Yang menarik adalah pernyataan salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PDIP yaitu Helmi Fauzi. Helmi berargumen terkait isi UU ini yang bermasalah antara lain adalah definisi konflik, karena definisinya cenderung meluas dan multitafsir.
Definisi konflik sosial cenderung diartikan secara negatif. Padahal, kata Helmi, konflik sebagai fenomena alamiah adalah hal yang tidak bisa dihindari dan merupakan sesuatu yang biasa.
Memang kalau kita melihat literatur akademik maka konflik adalah sesuatu yang alami dalam kehidupan manusia. Boleh dikatakan tidak ada hubungan di antara manusia, hubungan antara kelompok maupun hubungan antara negara, tanpa diwarnai konflik.
Kemudian, apakah bentuk konfliknya berskala intensitas rendah dan intensitas tinggi, hal ini telah menjadi keseharian kita. Untuk menangani konflik tentunya ada beberapa sarana dan instrumen. Baik sistem peringatan dini dalam mencegah ataupun mediasi dalam menangani konflik yang sudah terjadi.
Yang sangat menarik dari UU ini adalah kenapa konflik dibuat dalam bentuk undang-undang. Karena sebenarnya dari tataran legalistik konflik agak sulit diatur secara baku dalam suatu UU. Karena kalaupun terkait ketertiban sosial terutama hubungan antara manusia dan/atau kelompok sudah ada regulasi yang menangani hal ini yaitu KUHP.
Beberapa tindakan kekerasan dalam konflik sebenarnya sudah bisa ditangani dengan penegakan hukum lewat instrumen KUHP ini. Dan lagi-lagi tampaknya aparat penegak hukum sangat lemah dalam implementasi penegakan hukum ini, lalu pertanyaannya apa gunanya KUHP.
Memang aparat penegak hukum memiliki hak diskresi dalam setiap penanganan keamanan dan ketertiban sosial di masyarakat. Fungsi lain dari aparat hukum/negara yaitu deteksi dini juga belum digunakan secara optimal (Sebagai contoh Polri punya program Pemolisian masyarakat dan Kemdagri punya kesatuan bangsa).
Hampir semua pasal dalam UU penanganan konflik sosial ini sangat bertentangan dengan UU no.23 tahun 1959, ketika Presiden adalah otoritas yang dapat mendeklarasikan situasi darurat. Dalam UU 23/1959 hanya mengenal tiga status darurat sebagai berikut; darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.
Sedangkan UU PKS menyatakan status keadaan konfik (penulis; status konflik= darurat) dibagi menjadi skala kota/kabupaten, provinsi dan nasional. Terjadi ketidaksinkronan antara UU 23 tahun 1959 dengan UU PKS ini membuat kita berpikir bahwa UU ini justru tidak menyelesaikan masalah dalam tataran legal dan politik.
Yang justru terjadi adalah rumusan UU PKS ini membuat komplikasi dengan UU no. 23/1959 yang masih berlaku. Pertanyaannya adalah kalau terjadi keadaan konflik bersenjata di kabupaten, akankah pemerintah merujuk ke UU PKS atau bagaimana. Ketidaksinkronan ini juga akan membuat bingung terutama aparat penegak hukum yaitu Polri.
Belum lagi pelibatan TNI yang dimasukkan dalam pasal tersendiri yaitu pasal 33 dan 34. Sebenarnya Pasal 33, salah satu di antara pasal bermasalah, yang mendapat kritik keras dari anggota DPR hanya diubah dengan menghapuskan frasa, “atas pertimbangan Forum Koordinasi pimpinan daerah Kabupaten/Kota”.
Namun perbaikan ini tetap saja meninggalkan persoalan tafsir dari pasal ini, karena pasal 33 yang sudah disahkan (terutama ayat 1) tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pemerintah. Bisa saja ditafsirkan pemerintah ini adalah pemerintah daerah provinsi.
Belum lagi soal keberadaan satuan tugas penyelesaian konflik (pasal 42), apakah melalu pendirian satgas yang adhoc ini seolah-olah semua konflik dapat diselesaikan. Sehingga secara isi, filosofis, dan proses penyusunan UU ini sangat bermasalah.
Sebagai catatan penutup, UU ini sebenarnya sangat jauh dari urgensi dalam menyelesaikan konflik. Padahal dari naskah akademik, RUU ini sudah menyadari bahwa persoalan konflik di Indonesia banyak bersumber dari kesalahan kebijakan pemerintah yang tidak adil dalam bidang ekonomi dan politik dan juga kebijakan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat lokal/adat.
Sehingga lagi-lagi sebagian masyarakat sipil harus mengambil langkah untuk melakukan uji materi terhadap UU PKS ini akibat proses legislasi yang sangat buruk dari sebagian anggota DPR.
Beni Sukadis
Pengamat keamanan nasional & peneliti di LESPERSSI
Pengamat keamanan nasional & peneliti di LESPERSSI
Pemilik akun twitter @fewgoodman