Indonesia Kuasai Properti Singapura
Julukan Indonesia sebagai salah satu pasar konsumen terbesar di dunia memang tidak salah alamat. Hal itu dibuktikan para milyuner Tanah Air yang hingga kini menguasai kepemilikan properti di Singapura.
Berdasarkan data terkini, orang kaya Indonesia mengakomodir 30 persen porsi pembelian Marina Bay Suites yang dialokasikan bagi pembeli asing. Bahkan, pengamat properti Negeri Singa tak malu untuk mengatakan jika warga Indonesia merupakan target utama penjualan properti di negaranya.
Alasan kepastian keamanan, kemudahan dalam membeli properti serta kepastian investasi menjadi latar belakang mengapa Warga Negara Indonesia (WNI) sangat tertarik menginvestasikan uangnya di properti Singapura.
Padahal, untuk membeli properti dikawasan Marina Bay Suites, yang menjadi pusat bisnis Singapura, orang Indonesia harus merogoh kocek antara 3,5 juta sampai 9,5 juta dolar singapura.
Alan Cheong, Direktur Riset dan Konsultan dari Consultancy Savills Singapore mengatakan, Indonesia bahkan menguasai pembelian properti Singapura, dan tercatat sebagai pembeli asing dengan nilai pembelian terbesar hingga saat ini.
Sementara dalam laporan konsultan properti Singapura disebutkan, 79 persen orang Indonesia membeli properti Singapura diharga 1 juta dolar singapura keatas, dan menunjukkan preferensi atas ruang perumahan yang berkualitas.
Selain itu, faktor kedekatan wilayah antara Singapura dan Indonesia serta investasi di Singapura yang dianggap lebih prospektif dan dapat dipercaya juga menjadi alasan lainnya.
Singapura saat ini dinilai memiliki tingkat suku bunga sangat rendah dan mata uang yang stabil, sehingga terus menarik untuk investasi, disamping tentunya banyak pula WNI yang bersekolah di Negeri Singa.
Sayangnya, potensi ini masih belum ditangkap oleh pemerintah Indonesia dan para pengembang properti nasional. Sebagai negara dengan wilayah yang ratusan kali lebih luas dari Singapura, Indonesia seharusnya bisa mengembangkan sektor propertinya lebih baik lagi, sehingga mampu menyerap dana-dana warganya yang justru lebih banyak lari ke luar negeri.
Terlebih jika melihat masih banyaknya pungutan-pungutan liar dan birokrasi perizinan yang rumit, sehingga membuat para pengembang nasional kurang tertarik, dan investor pun berpikir ulang.