Jakarta Butuh Water Management
Bakal calon gubernur DKI Jakarta Hidayat Nur Wahid bertekad menghidupkan kembali 36 situ yang "menganggur" di Jakarta dan sekitarnya sebagai penampung air hujan atau banjir kiriman.
"Dengan (menghidupan situ) itu, kita bisa punya cadangan air baku sekaligus mengatasi banjir, dan membuka pusat rekreasi warga. Semua pihak, seperti pemda di Jabodetabek sama-sama diuntungkan," kata Koordinator Relawan Hidayat, Dr Zulkieflimansyah di Jakarta, hari ini.
Ia menjelaskan, pernyataan Hidayat itu disampaikan saat bertemu pengusaha muda Sandiaga S Uno, pendiri Saratoga Investama dalam Grup Recapital, akhir pekan ini. Sandiaga menjelaskan bahwa grup usahannya bergerak di berbagai bidang, seperti perbankan (Bank Pundi), pertambangan (Adaro), transportasi (Mandala), termasuk penyediaan air bersih (Aetra).
"Jakarta butuh 'water management' yang komprehensif, jika tak mau kebanjiran atau kelangkaan air bersih," kata Sandi yang bersama kawan SMA-nya Rosan Roeslani dan Ridwan Zachrie mendirikan Saratoga Investama.
Sejak berdiri di masa krisis 1998 sampai saat ini Grup Recapital telah mempekerjakan 25 ribu karyawan.
"Kami pengusaha tidak berpolitik, tapi kangen dengan solusi untuk berbagai persoalan ibu kota," katanya.
Menurut Hidayat Nur Wahid, Jakarta tidak hanya Ibu Kota RI, tapi juga pusat kantor Sekjen ASEAN. Karena itu, kata dia, Jakarta harus lebih baik dari ibu kota negara-negara ASEAN semisal Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok, dan jangan sampai dipersepsikan sama dengan Phnom Phenh, Kamboja atau Vien Thien, Vietnam.
"Dalam hal kemajuan ekonomi dan pengembangan seni-budaya, potensi Jakarta sangat besar, masa kita terjebak pada masalah klasik banjir dan macet saja. Kita akan benahi birokrasi dan optimalkan partisipasi warga dalam beragam progam padat karya untuk menekan pengangguran," kata Hidayat, yang pada Pilkada DKI Jakarta 2012 berpasangan dengan kader PAN Didik J Rachbini.
Untuk itu, kata dia, perlu terobosan mengatasi kemacetan lalu lintas yang menimbulkan kerugian sangat besar, di mana menurut lembaga pemantau kebijakan publik, hingga Rp43 triliun.
"Kerugian akibat macet lebih besar dari pada APBD DKI, akibat pemborosan energi dan kesempatan bisnis yang hilang," katanya.