Masyarakat Tani dan Nelayan Gugat Ayat BBM ke MK
Masyarakat tani dan nelayan akan menggugat Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 yang mengatur kewenangan pemerintah untuk bisa menaikkan harga BBM bersubsidi dengan kondisi tertentu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, mengatakan menyerahkan harga BBM ke dalam mekanisme pasar merupakan suatu langkah yang inkonstitusional.
MK sebelumnya dengan membatalkan Pasal 28 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001 bersama beberapa pasal lainnya.
Pada pasal Pasal 28 Ayat (2) yang menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
MK menilai, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan bakar minyak dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah. Namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini.
"Kami mencermati keuntungan yang didapat negara dalam proses liberalisasi migas di Indonesia tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Untuk itu SPI menolak rencana kenaikan harga BBM," kata Henry, di Jakarta, hari ini.
Henry menjelaskan penyerahan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan syarat harga minyak mentah Indonesia (ICP) mengalami kenaikan rata-rata 15 persen dari asumsi APBN-P 2012 dalam enam bulan ke depan sesuai hasil keputusan DPR, Jumat (30/3) lalu, tidak menjawab keresahan masyarakat.
Hal itu, kata Henry, justru membuat keresahan sosial ekonomi secara umum dan memastikan kenaikan BBM yang akan disertai kenaikan harga transportasi, pangan dan biaya produksi pertanian.
Di sisi lain, pemerintah telah melakukan pemotongan terlebih dahulu sejumlah subsidi pertanian seperti pupuk dan benih dalam APBN 2012.
Subsidi pupuk turun 17,6 persen menjadi Rp 13,9 5 triliun. Sedangkan subsidi benih turun 53,7 persen menjadi Rp129,5 triliun.
Bagi petani, kenaikan harga BBM juga kenaikan biaya produksi.
Selain benih dan pupuk, kenaikan biaya juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi.
"Kenaikan upah buruh tani akan menambah beban biaya produksi, sebaliknya daya beli buruh tani juga semakin rendah," kata Henry.
Misalnya, ungkap Henry, biaya sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81 ribu untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam.
Belum lagi ditambah pembiayaan pembelian oli yang diperkirakan akan naik juga mengikuti kenaikan BBM.
Rata-rata sewa traktor saat ini Rp 500 ribu per H plus buruh tani mencapai Rp650 ribu, diperkirakan akan naik menjadi Rp700 ribu-an.
"Belum lagi bagi petani penyewa, bisa dipastikan sewa tanah akan naik," tutur Henry.
Berdasarkan pengalaman pada 2008, sewa tanah di Cirebon, Jawa Barat naik 100% dari Rp 5 juta/ha/tahun menjadi Rp 10 juta/ha/tahun. "Artinya, semua kenaikan itu akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya," papar dia.
Bahkan, ditambahkannya, baru rencana kenaikan BBM sudah memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi petani di berbagai daerah.
Seperti di Ponorogo petani yang ingin membeli solar dalam jumlah cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat izin dari kepala desa, karena dikhawatirkan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat.
Dia menilai, Inpres 3/2012 yang menetapkan harga pembelian (HPP) beras Rp6.600/kg dan gabah kering panen (GKP) di petani Rp3.300/kg, akan tergerus akibat pengeluaran petani yang juga meningkat.
"Jadi terbuka sudah kedok pemerintah, bahwa menaikan HPP beras/gabah bukanlah bertujuan meningkatkan pendapatan petani. Namun hanya menyesuaikan inflasi dan dampak langsung maupun tidak langsung kepada petani akibat kenaikan BBM," kata Henry.
Sementara itu, dampak kenaikan BBM bagi nelayan tradisional dengan perahu di bawah 5 gross ton (GT) mengakibatkan biaya produksi nelayan semakin tinggi, karena sejak kenaikan BBM pada 2008, nelayan sudah membeli solar Rp5.000-6.000 rupiah per liter.
Seperti nelayan di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Ciamis, dan Lampung.
Kenaikan itu belum diikuti dengan naiknya harga Sembako, es balok setiap nelayan berangkat ke laut, karena nelayan harus membutuhkan 120 liter solar bagi nelayan yang berangkat 5 hari atau 10 liter solar bagi nelayan yang berangkat harian.
Apalagi biaya produksi nelayan 70 persen tergantung pada bahan bakar minyak, dan tidak diikuti dengan pendapatan para nelayan karena secara akses pasar selama ini selalu dimonopoli oleh pemodal (tengkulak).
Menurut Henry, kenaikan BBM tahun ini lebih menyulitkan nelayan tradisional karena beban sesungguhnya telah terjadi di tahun sebelumnya.
Bahkan sekarang harga solar sudah mencapai Rp 7.500 per liter seperti terjadi di Sumatera Utara dan Lampung.
Selama ini ketersediaan SPBN bagi nelayan lebih bisa dinikmati oleh kapal-kapal yang bertonase di atas 30 GT, sedangkan nelayan tradisional harus berhutang kepada pemodal.
Demikian juga nelayan kompensasi BLT bagi para nelayan sejak 2005 dan 2008, penenang sementara yang sangat tidak membantu bagi para nelayan tradisonal yang 95 persen adalah penyumbang terbesar perikanan di Indonesia.
Tetapi kenyataannya jumlah desa pesisir yang ditempati nelayan tradisonal adalah 10.600 terkatagori miskin dengan 7.8 juta jiwa orang.