Menjalani Mimpi di Negeri Orang untuk Kembali ke Negeri Sendiri
Bagi sebagian orang, tayangan di televisi hanyalah sebuah hiburan namun tidak bagi seorang perempuan kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan bernama Jane Eunike Lawalata. Baginya, film adalah mimpi untuk yang menunggu untuk diciptakan. Kini, ia sedang menjalani mimpi itu di negeri yang menjadi pusatnya mimpi (land of dreams), Amerika Serikat (AS).
Jane adalah anak ketiga dari 5 bersaudara dari pasangan Pieter Mathin Lawalata dan Paulina Magdalena Pinontoan. Ayahnya adalah salah satu guru besar perintis Universitas Terbuka Makassar, sementara ibunya, berprofesi sebagai tenaga pengajar.
Terlahir dari keluarga yang erat dengan pendidikan membuat Jane menempatkan pendidikan di posisi tinggi. Tak heran, hasrat untuk mengejar pendidikan tinggi sangat besar di dalam Jane.
Jenjang pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah umum diselesaikan Jane di Makassar. Kemudian ia mengejar cita-citanya berkecimpung di dunia film dengan belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Sinematografi dengan kekhususan di Film Editing.
Selesai belajar di IKJ, Jane mencoba menjajal dunia di balik layar dengan bekerja di beberapa stasiun televisi nasional. "Semua itu adalah pengalaman menimba ilmu yang sangat bernilai dalam hidup saya," katanya kepada Beritasatu.com.
Tahun 2006, di usia 33 tahun, Jane memutuskan melangkahkan kaki ke AS untuk mengejar mimpi lebih jauh dengan dana seadanya. Kembali, ia mengenyam bangku pendidikan di New York Film Academy, Universal City dan menyelesaikan studi Producing Program dalam setahun. Tak ingin setengah-setengah, ia menambahkan pengetahuan dengan mengambil program Screen Writing Workshop.
Sekitar tahun 2009, Jane makin menyadari, mimpinya kala kecil, ketika ia mengagumi gambar-gambar film yang ia tonton, untuk menciptakan film, mulai menjadi kenyataan. Padahal, saat remaja sempat ragu akan kemungkinan itu mengingat keadaan dana keluarganya tidak berlebih.
Jane mengaku, ia memilih Amerika Serikat karena di sana, saat itu bisa dibilang, pusatnya perfilman. "Di sini banyak kesempatan mengeluarkan segenap kemampuan, walau tidak sedikit tantangan. Tetapi tantangan itu justru menjadi penyemangat untuk terus maju berkarya, meski saat itu tersandung dengan masalah kultur, finansial, transportasi, dan pendidikan," bebernya.
Di benak Jane, tidak mudah untuk bergerak dengan bebas karena masalah finansial yang terbatas. "Orang lain bisa mulai berkarya dengan tunjangan dana yang cukup, bahkan berlimpah. Sementara saya memulai dengan nol. Tiga bulan pertama berjuang di sini sempat membuat saya menyesal, hampir mundur, dan mempertanyakan mengapa saya memilih jalan ini," kisahnya.
Namun, ia mencoba bertahan, "Dari bus ke bus, dari apartemen ke apartemen saya jalani. Saya berpegang teguh untuk mecapai cita-cita saya. Menguatkan diri, bahwa jika kita punya kemauan, pasti ada jalan."
Tidak sia-sia, perlahan-lahan mulai terlihat jalan untuk Jane. Mulai dari asisten sutradara, ia beranjak menjadi co-producer, produser, dan lama kelamaan menjadi sutradara. Beberapa karyanya bahkan sempat menjuarai lomba film festival di luar negeri.
Film pertama yang disutradarai oleh Jane berjudul Chatterbox, pertama kali ditayangkan di bioskop AS pada tahun 2008. Film tersebut mendapat respon cukup positif dari beragam kritikus film di sana. Tidak hanya sambutan positif di luar negeri, Jane juga mendapat sambutan positif dari negara asalnya.
Tahun 2009, sebuah majalah perempuan yang beredar di Indonesia memberinya titel "Woman of the Year" bersama beberapa perempuan lain.
"Gelar itu bagi saya adalah anugerah. Jujur, saya tidak pernah mengharapkannya, bahkan menganggap diri belum layak mendapatkannya. Saya ingat sebelum berangkat ke AS, saya mengamini sebuah pidato ibu Martha Tilaar yang memberi pengaruh besar untuk saya. Ia berkata, 'Think big, start small'. Itu jadi moto saya sejak itu. Gelar itu jelas membuat saya ingin selalu melakukan yang terbaik dalam segala hal dan terus berkarya," katanya.
Menjalani mimpi di negara orang bukan berarti membuatnya lupa diri akan negara asal. "Saya tetap bangga menjadi anak Indonesia. Karena itu, untuk ke depan, saya ingin menjadikan Indonesia sebagai tempat saya berkarya, tentu dengan tujuan bisa menjangkau pasar internasional, bukan hanya di AS saja," ungkap Jane.