Hey Mahasiswa, Jangan Bisanya Cuma Demo
Tulisan ini saya buat bukan bertujuan untuk menyindir atau memberikan konteks negatif terhadap perjuangan mahasiswa demi membela kepentingan rakyat.
Sejatinya saya pun merupakan salah satu aktivis saat berada di bangku kuliah. Saat itu saya melanjutkan jenjang pendidikan di salah satu kampus di Bandung, tahun 1997.
Kebetulan di tahun itu, situasi politik dan ekonomi tanah air tengah menghangat. Mahasiswa menjadi ujung tombak perjuangan rakyat demi menumpas rezim orde baru. Saya merupakan salah satu orang yang beruntung dapat bersama teman-teman mahasiswa lainnya membela kepentingan rakyat.
Sebagai salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) divisi Hubungan Masyarakat, tugas saya cukup berat. Selain menjadi penyambung lidah dengan kampus lainnya, saya pun didaulat untuk mengatur dan mengorganisir mahasiswa di kampus untuk ikut serta turun ke jalan, bergabung dengan mahasiswa lainnya melakukan demo.
Untuk itu pulalah, saya lumayan dikenal petinggi tempat saya kuliah, karena bolak balik meminta izin mereka untuk 'meliburkan' mahasiswa dan bergabung dengan mahasiswa lainnya turun ke jalan.
Bahkan saat tidak mendapat izin pun, saya harus nekat naik ke mobil dengan toa (pengeras suara) sambil berteriak mengelilingi kampus, menarik teman-teman mahasiswa lainnya untuk meninggalkan kegaiatan perkuliahan. Sampai akhirnya saya “digelandang” ke Pembantu Direktur bagian akademik dan kemahasiswaan untuk menjelaskan aksi saya.
Sejatinya saya pun merupakan salah satu aktivis saat berada di bangku kuliah. Saat itu saya melanjutkan jenjang pendidikan di salah satu kampus di Bandung, tahun 1997.
Kebetulan di tahun itu, situasi politik dan ekonomi tanah air tengah menghangat. Mahasiswa menjadi ujung tombak perjuangan rakyat demi menumpas rezim orde baru. Saya merupakan salah satu orang yang beruntung dapat bersama teman-teman mahasiswa lainnya membela kepentingan rakyat.
Sebagai salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) divisi Hubungan Masyarakat, tugas saya cukup berat. Selain menjadi penyambung lidah dengan kampus lainnya, saya pun didaulat untuk mengatur dan mengorganisir mahasiswa di kampus untuk ikut serta turun ke jalan, bergabung dengan mahasiswa lainnya melakukan demo.
Untuk itu pulalah, saya lumayan dikenal petinggi tempat saya kuliah, karena bolak balik meminta izin mereka untuk 'meliburkan' mahasiswa dan bergabung dengan mahasiswa lainnya turun ke jalan.
Bahkan saat tidak mendapat izin pun, saya harus nekat naik ke mobil dengan toa (pengeras suara) sambil berteriak mengelilingi kampus, menarik teman-teman mahasiswa lainnya untuk meninggalkan kegaiatan perkuliahan. Sampai akhirnya saya “digelandang” ke Pembantu Direktur bagian akademik dan kemahasiswaan untuk menjelaskan aksi saya.
Mungkin teman-teman memilih saya lantaran percaya, saya dapat melakukan negosiasi di tempat. Kepercayaan tersebut tidak saya sia-siakan. Meski dengan tatapan mata kesal, para petinggi kampus tersebut akhirnya mengizinkan mahasiswa meninggalkan kelas.
Kami turun ke jalan dengan satu semangat, semua demi rakyat. Di perjalanan pun tugas saya belum selesai. Saya harus menyediakan konsumsi, terutama air minum bagi rekan-rekan mahasiswa di kampus saya yang ikut turun ke jalan. Jumlahnya, sekitar seribu mahasiswa.
Sampai pernah saya kehabisan air minum. Namun saya terbantu dengan masyarakat yang mengelu-elukan perjuangan kami saat itu, dengan memberikan botol-botol air mineral kepada kami tanpa diminta. Tidak hanya air mineral, air berwarna (sirup, minuman ringan, jus buah dan lain sebagainya) dengan sukarela diberikan kepada kami.
Setelah tuntutan kami terkabul, salah satunya Soeharto tidak lagi menjabat sebagai presiden, saya mengusulkan untuk mengubah “perjuangan” mahasiswa menjadi pengabdian kepada masyarakat dengan berbagai kegiatan sosial.
Di sebuah forum saya sempat mengutarakan hal tersebut. Namun ditolak dan mereka tetap menginginkan mahasiswa dari kampus saya, ikut turun ke jalan.
Di sebuah forum saya sempat mengutarakan hal tersebut. Namun ditolak dan mereka tetap menginginkan mahasiswa dari kampus saya, ikut turun ke jalan.
Waktu itu saya berpikir, untuk apa lagi turun ke jalan. Nomor satu tuntutan kami sebagai mahasiswa adalah turunkan Soeharto dan itu sudah terjadi. Tuntutan yang lain, saya pikir dapat dilakukan sambil berjalan. Tapi karena sudah keputusan bersama, akhirnya saya tidak dapat menolak.
Setelah tumbangnya rezim orde baru, dalam sebuah aksi turun ke jalan, saya lupa kapan persisnya. Waktu itu saya bersama ratusan mahasiswa dari kampus saya, ikut bergabung dengan kelompok mahasiswa lain berdemo di depan Gedung Sate dengan agenda menurunkan harga kebutuhan pokok.
Saat itu, salah seorang korlap (koordinator lapangan) meminta massa untuk menuju RRI dan menggunakannya untuk menyuarakan aspirasi mereka, lantaran di Gedung Sate saat itu dianggap tidak membuahkan hasil.
Saat itu, salah seorang korlap (koordinator lapangan) meminta massa untuk menuju RRI dan menggunakannya untuk menyuarakan aspirasi mereka, lantaran di Gedung Sate saat itu dianggap tidak membuahkan hasil.
Dengan sigap saya menolak membawa rekan-rekan saya karena berpikir akan terjadi bentrok. Sebab, di depan Gedung Sate saja, situasi sudah mulai memanas.
Diiringi sejumlah cacian dan makian dari kelompok mahasiswa lainnya, saya membawa ratusan rekan-rekan saya kembali ke kampus. Ternyata benar saja, terjadi sedikit bentrok di depan RRI Bandung.
Singkat cerita, setelah kejadian tersebut, saya berusaha memperjuangkan usulan untuk tidak lagi turun ke jalan kepada BEMA.
Ada setuju dan ada yang tidak. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi aktif terlibat dalam organisasi kemahasiswaan terlalu jauh. Saat itu saya hanya ingin belajar agar tidak mendapat masalah saat penyusunan tugas akhir nanti.
Ada setuju dan ada yang tidak. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi aktif terlibat dalam organisasi kemahasiswaan terlalu jauh. Saat itu saya hanya ingin belajar agar tidak mendapat masalah saat penyusunan tugas akhir nanti.
Hingga saat ini, sebenarnya saya masih kagum dengan rekan-rekan mahasiswa yang turun ke jalan, melakukan demonstrasi menyuarakan suara rakyat.
Terakhir yang saya lihat adalah saat ribuan mahasiswa bergabung menuntut pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM di depan gedung wakil rakyat. Bentrok dengan petugas akhirnya tidak dapat dihindarkan.
Sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang ikut dalam aksi tersebut terluka. Ada yang menilai, penanganan terhadap para demostran yang dilakukan petugas keamanan terlalu berlebihan.
Entahlah, saya tidak berada di lapangan, jadi saya tidak bisa terlalu menilai siapa yang harus dipersalahkan karena tidak akan ada asap kalau tidak ada api.
Sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang ikut dalam aksi tersebut terluka. Ada yang menilai, penanganan terhadap para demostran yang dilakukan petugas keamanan terlalu berlebihan.
Entahlah, saya tidak berada di lapangan, jadi saya tidak bisa terlalu menilai siapa yang harus dipersalahkan karena tidak akan ada asap kalau tidak ada api.
Tidak hanya di Jakarta, perjuangan teman-teman mahasiswa juga berlangsung di beberapa kota besar di tanah air. Di Makassar pun mahasiswa terlibat bentrok dengan petugas keamanan.
Terlepas dari komentar miring terhadap apa yang dilakukan mahasiswa, saya tetap acungkan jempol karena mereka rela mengorbankan diri demi kepentingan masyarakat.
Namun, apa setelah itu? Apa yang akan dilakukan mahasiswa setelah tuntutan yang mengatasnamakan rakyat tersebut terpenuhi? Apakah akan merancang demo selanjutnya?
Sebagai masyarakat, saya berharap agar mahasiswa dapat menampilkan format baru dalam perjuangannya demi rakyat, bukan hanya bisa berteriak di depan gedung wakil rakyat saja, tapi bukti nyata dalam kehidupan.
Contoh yang paling sederhana, terkait dengan kisruh subsidi BBM. Cobalah untuk membuka mata lebar-lebar ke arah SPBU terdekat atau yang terlintas saat beranjak kuliah. Adakah kendaraan mewah atau yang dianggap mewah menggunakan BBM bersubsidi?
Jika melihat hal tersebut apa yang akan dilakukan mahasiswa? Beranikah teman-teman mahasiswa menegur pemilik kendaraan bermotor tersebut dan mengingatkan untuk mengisi dengan bahan bakar non subsidi?
Beranikah mahasiswa meneriakkan kebenaran tersebut seperti mereka dengan gagah berani menerjang bahaya saat melakukan demonstrasi?
Beranikah mahasiswa meneriakkan kebenaran tersebut seperti mereka dengan gagah berani menerjang bahaya saat melakukan demonstrasi?
Kenapa saya bertanya demikian? Karena sampai saat ini saya belum melihat ada mahasiswa yang melakukannya. Padahal sudah jelas di hampir seluruh media memberitakan tentang maraknya kendaraan mewah yang minum bahan bakar bersubsidi.
Atau belum ada yang melakukan hal tersebut lantaran orangtua, saudara, teman dekat, pacar, gebetan, selingkuhan, adik, kakak atau bahkan mereka sendiri masih menggunakan bahan bakar bersubsidi padahal kemampuan finansial mereka sanggup untuk menggunakan bahan bakar non subsidi?
Jika memang pertanyaan tersebut tidak terjawab atau ternyata jawabannya karena belum bisa melakukan bukti nyata untuk membela rakyat kecil, saya sarankan lebih baik mahasiswa kembali ke bangku kuliah, belajar dengan tekun dan berjanjilah, kelak kalian akan menjadi pemimpin yang jujur, adil dan tegas seperti yang pernah dituliskan aktor Pong Harjatmo di atap gedung perwakilan rakyat.
Pewnulis:
Teddy Kurniawan