Fashion Indonesia Bisa Maju, Asalkan?

Minggu, April 22, 2012 0 Comments



Nadia Felicia
Guru Mode asal Italia pernah berkata, "Fashion Indonesia bisa maju…"  Namun masih ada kata, "asalkan", di belakangnya.


Beberapa waktu lalu undangan dari panitia Jakarta Fashion Week untuk menghadiri sebuah konferensi pers masuk ke e-mail saya. Untuk kesekian kalinya undangan dari JFW masuk ke akun saya.


Kali pertama saya meliput ajang peragaan busana besutan Femina Group ini adalah di tahun kedua. Acara ini digelar untuk pertama kalinya di tahun 2008.


Sejujurnya, saat awal meliput, dalam hati sempat terbersit keraguan acara ini akan berlangsung lama. Tetapi perasaan itu hilang dengan sendirinya, melihat masih terus dijalankannya ajang tahunan ini, belum lagi makin besarnya pengakuan dari banyak pihak tentang acara dan peserta di dalamnya.

Dari ajang ini, tidak sedikit perancang yang melejit. Salah satunya, Dian Pelangi, yang sempat saya temui di acara konferensi pers workshop yang merupakan rangkaian road to Jakarta Fashion Week 2013 pada bulan November 2012 mendatang.

Banyak hal yang bisa digali dan ditawarkan Jakarta Fashion Week. Sebuah acara yang diakui banyak pihak, berharga untuk pergerakan kemajuan fashion Indonesia.


Tahun ini, muncul satu panggung peragaan busana kumpulan desainer lain, Indonesia Fashion Week. Kali ini digawangi oleh grup media lain, Kompas Gramedia, bersama dengan Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia.


Di sini, beberapa nama desainer yang sama berulang didengungkan. Ada pula nama-nama desainer berbakat yang selama ini tak banyak terekspos muncul. Menjadi semacam persaingan tersendiri di antara kedua grup ini untuk menampilkan acara-acara tambahan untuk menarik peminat fashion.


Upaya kreatif yang dihadirkan kedua acara ini mengundang keseruan tersendiri untuk peliput, setidaknya saya, yang masih butuh pelajaran banyak tentang bidang ini.


Namun, masih tersisa pertanyaan mengapa harus muncul perkumpulan-perkumpulan baru yang juga menawarkan panggung baru bagi para desainer.


Tidak haram memang untuk menyediakan panggung-panggung lain. Di satu sisi, ada baiknya menciptakan persaingan dan wadah untuk para desainer berkarya. Mereka bisa saling terasah dan termotivasi untuk maju.


Tetapi tetap terasa kurangnya kesatuan para pelaku industri. Kohesinya belum kuat. Malah lebih kuat kesan adanya gap persaingan penyelenggara.


Kelemahan pada kohesi antara industri dan pihak-pihak yang terlibat di sekeliling industri fashion Indonesia ini bahkan dengan segera bisa terbaca oleh seorang guru fashion asal Italia, Fabio Ciquera.


Pertengahan April lalu, Ciquera mengisi acara workshop yang diadakan Jakarta Fashion Week mengenai bisnis e-commerce untuk fashion. Ia adalah salah satu staf pengajar di Istituto Marangoni, Italia. Lembaga pengajaran mode ini beberapa tahun lalu mendirikan sekolah di Jakarta. Dari didirikannya sekolah mode itu saja sudah jelas, mereka melihat prospek perkembangan fashion di Indonesia.


Ia tidak menjadi pelaku fashion di Indonesia. Mungkin ia hanya mengamati sementara saja di Indonesia.


Usai konferensi pers, beberapa wartawan sempat berbincang dengan Ciquera. Menurut saya, yang menarik dari perkataan Ciquera adalah, "Indonesia bisa menjadi pusat mode. Seperti China. Kalian memiliki beberapa kesamaan. Kalian sama-sama negara berkembang. Kalian memiliki bibit-bibit bakat. Kalian negara yang banyak industri pendukungnya. Ditambah lagi, saat ini pasar Eropa sedang jenuh. Mereka bosan dengan desain yang sama berulang-ulang. Industri fashion Indonesia bisa maju..."


Ya, ada sambungannya, katanya, "…asalkan kalian bisa mengkonsolidasikan semua faktor pendukungnya."


Ini dia PR-nya. Konsolidasi. Menyatukan semua pihak. Lalu saya teringat dengan semboyan negara kita. Sudah nyaris 67 tahun merdeka dengan tagline "Bhinneka Tunggal Ika". Bukankah harusnya kita sudah punya banyak waktu "latihan" untuk menyatukan beragam hal yang berbeda? Mengapa sulit sekali untuk bersatu demi mencapai sebuah cita-cita?


Dulu, gempuran batik dari negara tetangga sempat membuat banyak pihak takut. Dimulailah beragam gebrakan dan peraturan, dalam rangka "menyelamatkan" warisan budaya itu. Sampai didaftarkan ke UNESCO.


Sekarang, batik sudah dengan mudahnya didapatkan. Tidak lagi jadi busana "Mau ke mana pakai batik? Ke acara nikahan?" Tetapi sudah jadi busana harian, sudah bukan lagi sekadar menjadi "seragam hari Jumat".


Beberapa waktu lalu, komunitas pencinta tenun, Cita Tenun Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan diusulkannya Tenun Ikat Sumba Indonesia sebagai salah satu warisan budaya tak benda asal Indonesia pada tahun 2013 mendatang, seperti batik.


Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia mengatakan, “Budaya ini nyaris punah. Karena banyak faktor. Perlu membuat demam tenun di masyarakat supaya perhatian tertuju ke tenun. Tahun lalu Dries van Noten dan Gucci sempat membuat motif rancangan dari motif tenun, tetapi sedikit. Mereka tidak terlalu paham mengenai artinya. Tetapi, mengapa mereka yang menikmati budaya kita untuk keuntungan mereka?”


Gerakan ini, terlihat menyatukan beberapa pihak, setidaknya di konferensi pers ini. Ada pihak dari IPMI, CTI, dan kementerian terkait terlihat di acara pengumuman tersebut.


Meski membuat saya bertanya, apa butuh ancaman-ancaman semacam ini dulu supaya kita bersatu dan bergerak bersama?


Saya belum tahu pasti siapa yang membuat pergerakan untuk pengusulan ini, apakah memang dari Kemendikbud-nya, atau memang dari komunitas pencinta tenunnya. Namun, setidaknya ini pergerakan baik.


Intinya, masih tersisa PR untuk menyatukan segala sisi yang berkenaan dengan industri fashion.


Syamsidar Isa, pemimpin IPMI pernah mengatakan, ia masih rindu untuk membuat industri fashion Indonesia lebih maju, diakui, dan bersatu. Masih banyak PR yang harus disatukan. Salah satu contoh yang paling mendasarnya, soal ukuran busana.


Hal mendasar itu saja sudah berbeda dari masing-masing desainer. Ada yang pakai penomoran, ada yang pakai sistem S, M, L, XL, dan sebagainya. Meski ia akui, sejak menjabat sebagai ketua IPMI puluhan tahun, ia menyaksikan begitu pesatnya perkembangan dunia fashion Indonesia yang patut dibanggakan.

Asa itu ada, namun, masih harus tetap bersabar dan menunggu mereka yang benar-benar berkecimpung di dalamnya melakukan penyatuan itu. Sementara itu, mari kita nikmati dan hargai suguhan para desainer Indonesia lebih lagi. Karena, Indonesia bisa.... (tanpa pakai “asalkan”).


Penulis:  Nadia Felicia 

DAVINA NEWS

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.