Istriku Mimpi Jadi Penari Telanjang
Pagi-pagi sebelum azan subuh, aku dibangunkan istriku, Kus. “Mas, aku joging dulu, ya. Kopimu sudah siap di meja. Singkongnya habis, tapi aku sudah bikinin ketan urap. Dagangan sudah beres, nanti tinggal diambil Mang Sodik. Aku langsung ke pasar.” Suaranya seperti mitraliur. Aku masih ngucek-ngucek mata ketika ia menghilang, berkelebat ke balik pintu.
Sudah seminggu ini, Kus berubah. Ia memang masih jualan tahu di pasar, tetap pakai baju longgar dengan kerudung lebar, dan ngaji di surau Kyai Maksum sehabis asar. Tapi ada yang membuatku gelisah, ia punya hobi baru: joging.
“Biar seger, Mas, sehat,” katanya sambil mengelap keringat, waktu aku tanya kemarin pagi. Mukanya berseri-seri. Matanya yang bulat, yang sejak dulu aku kagumi itu, berkilat penuh semangat. ”Tapi kamundak sempat salat subuh, to, Kus. Dosa,” kataku sengit.
”Siapa bilang. Aku mampir ke masjid alun-alun, Mas. Malah bisa jamaahan segala. Kata Mas, pahalanya 70 kali lipat,” jawabnya enteng. Meskipun suaranya tetap lembut, aku tidak suka dengan nadanya yang lugas itu. Kus seperti sudah punya jawaban dari tiap pertanyaan yang kuajukan.
Semua perubahan ini bermula sejak ia dipinjami komik sama tukang ikan, teman barunya di pasar. Aku tak tahu komik macam apa. Yang kuingat, sehari setelah membaca komik itu, Kus keramas pagi-pagi sebelum subuh. Tumben. Kus paling malas keramas pagi-pagi – rambutnya tebal, susah kering – kecuali jika malam sebelumnya kami ’kumpul’. Dan aku ingat betul, malam itu kami tidak ’kumpul’.
”Kok keramas, Kus,” tanyaku ketika berpapasan di dekat sentong, tempat wudu.
”Iya Mas…biar bersih…” kata Kus mesam-mesem.
”Memangnya habis kotor-kotoran,” komentarku kenceng. Radar curigaku mulai berdering.
”Wis tah Mas, nanti aku cerita. Sana subuh dulu, sudah mau syuruk. Bangunnya mbok pagian dikit, biar kita bisa subuhan sama-sama,” jawabnya enteng.
Begitu selesai salat, ditemani singkong rebus, aku menagihnya bercerita.
”Tadi malam aku mimpi, Mas…” katanya. Hatiku gelisah: apa hubungan mimpinya dengan keramas subuh-subuh? Singkong rebus jadi susah sekali kutelan.
”Mimpi apa,” tanyaku. Meskipun mencoba bersabar, aku tak bisa menyembunyikan suaraku yang serak, dan menyelidik.
”Mimpi jadi pelukis, Mas,” jawabnya.
”Lalu?”
”Aku nggambar model. Lelaki…” kata Kus.
Aku merasa mukaku panas. Pasti, tukang ikan itu. Kurang ajar. Katanya dia lulusan pondok. Ah, pondok apaan, masak diajari baca komik segala. Pondok Sontoloyo. Pagi yang sejuk tak mampu mendinginkan hatiku yang terbakar cemburu.
”Terus?” tanyaku keras.
”Lha kok modelnya ndak pakai baju, Mas… Ndak pakai celana juga. Gondal-gandul begitu...”
Sumpah, seumur hidup baru sekali itu aku melihat pipi Kus yang montok, merona merah sekali – mungkin karena malu. Ia kelihatan cantik banget. Tapi karena hatiku sudah terlanjur gusar, kecantikannya malah membuatku semakin geram.
Sejak bermimpi cabul itu, Kus mulai joging...
***
Aku tidak bisa lagi membiarkan Kus terus-terusan petentengan dengan ulahnya. Setelah beberapa kali joging, baca komik dan novel, ia mulai pintar membantah. Ini sudah keterlaluan.
Dia harus segera dihentikan sebelum hatinya dibutakan setan. Siang itu aku sengaja tak masuk kantor. Begitu dia pulang dari pasar, aku menyeretnya ke surau Kyai Maksum.
”Kamu itu sudah kerasukan setan, Kus. Ndak bener. Ayo, kamu mesti dirukyah...”
”Kamu ngomong apa, to, Mas. Setan apaan? Sudah sana, aku mau mandi, mau lihat pertunjukan. Habis asar nanti, Siman ngajak kita nonton drama. Ia mau bikin grup teater di pasar, katanya, biar kita sadar hak-hak kita.”
Jangkrik! Siman, Siman, Siman. Lagi-lagi nama tukang ikan itu yang disebut. Tanpa pikir panjang aku gelandang dia ke surau Kyai Maksum. Ia berontak, tapi mana mungkin tenaganya bisa menandingi kegusaranku.
Siang itu, Kyai Maksum yang sedang terkantuk-kantuk, anteng saja mendengar laporanku. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam. ”Kalau bojomu joging, malah bagus, Le. Asal ngaji dan salatnya ndak goyah, tidak apa-apa. Nabi juga mengajari kita berkuda, agar kita sehat.”
“Tapi dia juga baca-baca buku kafir, Mbah. Baca komik, novel. Sekarang malah mau main drama segala. Tolonglah, Mbah, dia sudah dikuasai setan, mesti dirukyah.”
Kus mau angkat bicara, tapi segera kubentak. ”Wis kamu ndak usah ngomong. Nurut sama suamimu,” kataku keras.
Kyai Maksum, ulama sepuh itu, buru-buru menengahi. “Yo wis, begini Le. Mari kita sama-sama baca Al-Fatihah, sambil berdoa agar kita dijauhkan dari godaan setan, dan dilindungi Gusti Allah,” katanya kalem.
Aku ingin protes, tapi Pak Kyai langsung mengangkat tangan memimpin doa. Aku nurut saja.
Entah doa apa yang dipanjatkan Pak Kyai, sejak itu Kus kembali waras. Dia tidak pernah joging lagi, tidak baca novel, tidak komik. Ke mana-mana ia cuma membawa Buku Yasin. Tadarusannya juga makin gentur.
Sehabis isya, dia kini melahap satu, bahkan dua juz. Aku bersyukur. Meskipun wajahnya kini sering muram, kurang bersemangat, aku tak peduli. Yang penting: istriku sudah kembali ke jalan yang lempeng. Alhamdulillah.
***
Seminggu setelah Kus libur joging dan baca novel, aku menemukannya keramas lagi, subuh-subuh. Aku kaget.
”Mimpi lagi, Kus?”
Sambil menunduk, ragu-ragu, dia mengangguk.
“Nggambar lelaki telanjang lagi?”
Dia menggeleng tegas. Lalu tiba-tiba ia menegakkan wajahnya, menatapku dengan berani.
“Aku mimpi jadi penari, Mas, dikelilingi banyak lelaki. Mereka semua telanjang, melukis aku...”
****
Sudah seminggu ini, Kus berubah. Ia memang masih jualan tahu di pasar, tetap pakai baju longgar dengan kerudung lebar, dan ngaji di surau Kyai Maksum sehabis asar. Tapi ada yang membuatku gelisah, ia punya hobi baru: joging.
“Biar seger, Mas, sehat,” katanya sambil mengelap keringat, waktu aku tanya kemarin pagi. Mukanya berseri-seri. Matanya yang bulat, yang sejak dulu aku kagumi itu, berkilat penuh semangat. ”Tapi kamundak sempat salat subuh, to, Kus. Dosa,” kataku sengit.
”Siapa bilang. Aku mampir ke masjid alun-alun, Mas. Malah bisa jamaahan segala. Kata Mas, pahalanya 70 kali lipat,” jawabnya enteng. Meskipun suaranya tetap lembut, aku tidak suka dengan nadanya yang lugas itu. Kus seperti sudah punya jawaban dari tiap pertanyaan yang kuajukan.
Semua perubahan ini bermula sejak ia dipinjami komik sama tukang ikan, teman barunya di pasar. Aku tak tahu komik macam apa. Yang kuingat, sehari setelah membaca komik itu, Kus keramas pagi-pagi sebelum subuh. Tumben. Kus paling malas keramas pagi-pagi – rambutnya tebal, susah kering – kecuali jika malam sebelumnya kami ’kumpul’. Dan aku ingat betul, malam itu kami tidak ’kumpul’.
”Kok keramas, Kus,” tanyaku ketika berpapasan di dekat sentong, tempat wudu.
”Iya Mas…biar bersih…” kata Kus mesam-mesem.
”Memangnya habis kotor-kotoran,” komentarku kenceng. Radar curigaku mulai berdering.
”Wis tah Mas, nanti aku cerita. Sana subuh dulu, sudah mau syuruk. Bangunnya mbok pagian dikit, biar kita bisa subuhan sama-sama,” jawabnya enteng.
Begitu selesai salat, ditemani singkong rebus, aku menagihnya bercerita.
”Tadi malam aku mimpi, Mas…” katanya. Hatiku gelisah: apa hubungan mimpinya dengan keramas subuh-subuh? Singkong rebus jadi susah sekali kutelan.
”Mimpi apa,” tanyaku. Meskipun mencoba bersabar, aku tak bisa menyembunyikan suaraku yang serak, dan menyelidik.
”Mimpi jadi pelukis, Mas,” jawabnya.
”Lalu?”
”Aku nggambar model. Lelaki…” kata Kus.
Aku merasa mukaku panas. Pasti, tukang ikan itu. Kurang ajar. Katanya dia lulusan pondok. Ah, pondok apaan, masak diajari baca komik segala. Pondok Sontoloyo. Pagi yang sejuk tak mampu mendinginkan hatiku yang terbakar cemburu.
”Terus?” tanyaku keras.
”Lha kok modelnya ndak pakai baju, Mas… Ndak pakai celana juga. Gondal-gandul begitu...”
Sumpah, seumur hidup baru sekali itu aku melihat pipi Kus yang montok, merona merah sekali – mungkin karena malu. Ia kelihatan cantik banget. Tapi karena hatiku sudah terlanjur gusar, kecantikannya malah membuatku semakin geram.
Sejak bermimpi cabul itu, Kus mulai joging...
***
Aku tidak bisa lagi membiarkan Kus terus-terusan petentengan dengan ulahnya. Setelah beberapa kali joging, baca komik dan novel, ia mulai pintar membantah. Ini sudah keterlaluan.
Dia harus segera dihentikan sebelum hatinya dibutakan setan. Siang itu aku sengaja tak masuk kantor. Begitu dia pulang dari pasar, aku menyeretnya ke surau Kyai Maksum.
”Kamu itu sudah kerasukan setan, Kus. Ndak bener. Ayo, kamu mesti dirukyah...”
”Kamu ngomong apa, to, Mas. Setan apaan? Sudah sana, aku mau mandi, mau lihat pertunjukan. Habis asar nanti, Siman ngajak kita nonton drama. Ia mau bikin grup teater di pasar, katanya, biar kita sadar hak-hak kita.”
Jangkrik! Siman, Siman, Siman. Lagi-lagi nama tukang ikan itu yang disebut. Tanpa pikir panjang aku gelandang dia ke surau Kyai Maksum. Ia berontak, tapi mana mungkin tenaganya bisa menandingi kegusaranku.
Siang itu, Kyai Maksum yang sedang terkantuk-kantuk, anteng saja mendengar laporanku. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam. ”Kalau bojomu joging, malah bagus, Le. Asal ngaji dan salatnya ndak goyah, tidak apa-apa. Nabi juga mengajari kita berkuda, agar kita sehat.”
“Tapi dia juga baca-baca buku kafir, Mbah. Baca komik, novel. Sekarang malah mau main drama segala. Tolonglah, Mbah, dia sudah dikuasai setan, mesti dirukyah.”
Kus mau angkat bicara, tapi segera kubentak. ”Wis kamu ndak usah ngomong. Nurut sama suamimu,” kataku keras.
Kyai Maksum, ulama sepuh itu, buru-buru menengahi. “Yo wis, begini Le. Mari kita sama-sama baca Al-Fatihah, sambil berdoa agar kita dijauhkan dari godaan setan, dan dilindungi Gusti Allah,” katanya kalem.
Aku ingin protes, tapi Pak Kyai langsung mengangkat tangan memimpin doa. Aku nurut saja.
Entah doa apa yang dipanjatkan Pak Kyai, sejak itu Kus kembali waras. Dia tidak pernah joging lagi, tidak baca novel, tidak komik. Ke mana-mana ia cuma membawa Buku Yasin. Tadarusannya juga makin gentur.
Sehabis isya, dia kini melahap satu, bahkan dua juz. Aku bersyukur. Meskipun wajahnya kini sering muram, kurang bersemangat, aku tak peduli. Yang penting: istriku sudah kembali ke jalan yang lempeng. Alhamdulillah.
***
Seminggu setelah Kus libur joging dan baca novel, aku menemukannya keramas lagi, subuh-subuh. Aku kaget.
”Mimpi lagi, Kus?”
Sambil menunduk, ragu-ragu, dia mengangguk.
“Nggambar lelaki telanjang lagi?”
Dia menggeleng tegas. Lalu tiba-tiba ia menegakkan wajahnya, menatapku dengan berani.
“Aku mimpi jadi penari, Mas, dikelilingi banyak lelaki. Mereka semua telanjang, melukis aku...”
****
Penulis: Dwi Setyo