Survei : Keluarga dan Sekolah Gagal Jauhkan Anak dari Kejahatan
Sejumlah kejahatan yang melibatkan anak sebagai tersangka, terdakwa maupun pelaku dalam berbagai tindak pidana menunjukkan bahwa anak adalah korban dari realitas sosial di sekitarnya.
Peredaran narkoba, maraknya pornografi anak dan tayangan kekerasan di media merupakan sebagian dari berbagai hal yang mempengaruhi anak untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut.
Hal ini disimpulkan oleh tim Litbang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dari hasil surveinya terhadap 100 anak yang bermasalah dengan hukum dalam periode Januari 2010 - Januari 2012 di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Tangerang dan Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta.
"Keluarga dan insitusi pendidikan gagal menjauhkan anak dari kejahatan, ini terlihat dari sejumlah anak yang terlibat hukum adalah mereka yang masih mempunyai keluarga dan duduk di bangku sekolah," ujar anggota tim Litbang LBH Jakarta, Muhammad Isnur dalam presentasi hasil surveinya di kantor LBH Jakarta, Rabu (11/4).
Sebanyak 96 responden mengakui masih memiliki orangtua dan 41 persen sempat menjalani pendidikan tingkat sekolah menengah atas, diikuti oleh 37 persen yang pernah mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama.
Ketika mereka harus menjalani masa penahanan yang panjang, kesehatan fisik dan mental mereka pun mengalami gangguan, ujar Isnur.
Hal ini ditunjukkan dengan 60 persen responden mengaku mengalami penyakit gatal-gatal atau penyakit kulit dan 44 persen menderita batuk-batuk.
Gangguan fisik dan mental lain yang dialami mereka juga termasuk kepala pusing dan berkunang-kunang, sulit tidur di malam hari, lebih cepat marah, ketakutan yang terus-menerus, sesak nafas bahkan terinfeksi HIV/AIDS.
Isnur juga mengatakan minimnya fasilitas rumah tahanan diperparah dengan kecenderungan aparat penegak hukum untuk menahan anak memperparah pelanggaran hak anak selama berada dalam tahanan.
"Sejumlah fasilitas dasar dalam kondisi tidak bisa diakses oleh anak, seperti air bersih, tempat bermain dan klinik kesehatan," ujar Isnur, sambil menambahkan bahwa 51 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak tersedianya fasilitas air bersih dan 35 persen mengatakan tidak tahu mengenai fasilitas bermain, bahkan 3 persen menyatakan tidak ada atau tidak tahu ada fasilitas klinik kesehatan di rumah tahanan.
Hak anak yang berhadapan dengan hukum juga semakin dilanggar karena sejumlah aparat penegak hukum menganggap penayangan identitas anak di media bukan masalah yang harus dihentikan, dengan jaksa penuntut umum menyetujui penayangan berbagai identitas anak berupa wajah, nama asli, wajah keluar dan nama asli keluarga.
"Akibatnya anak mengalami stigmasisasi ketika berada dalam proses hukum," ujar Isnur.