Akankah Terulang Lagi?
Ayah Rangga Cipta Nugraha, berharap anaknya merupakan korban yang terakhir. Rangga adalah salah satu korban yang tewas akibat penganiayaan usai pertandingan antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung, Minggu (27/5).
Tragedi di hari Minggu kemarin kian mencoreng muka sepak bola Indonesia. Pada saat para elite di atas berseteru demi klaim yang paling berhak menjadi pemegang kenal sepak bola Tanah Air. Kisruh di atas, rusuh di bawah.
Sontak, imbauan damai meluncur dari berbagai pihak. Semua menyesali dan mengutuk peristiwa menyedihkan ini. Mengenai kondisi ini, PSSI menyatakan agar semua pihak saling introspeksi diri.
Semua memiliki harapan serupa dengan ayahanda almarhum Rangga. Semoga ini menjadi yang terakhir. Karena, sejatinya sepak bola adalah hiburan. Seharusnya, orang ke stadion untuk mendapat kegembiraan, bukan pulang hanya membawa nama.
Banyak yang mempertanyakan soal keamanan. Laga Persija kontra Persib selalu panas yang memiliki catatan perseteruan. Tapi, mengapa tragedi tetap terjadi? Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mengatakan ada suporter yang tidak dapat mengendalikan diri saat mendukung klub kesayangannya. Bukankah tugas kepolisian untuk bisa mengendalikan suporter tersebut?
Terkait korban tewas dan luka, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Rikwanto Rikwanto menegaskan, petugas kepolisian telah bekerja maksimal mengamankan pertandingan Persija lawan Persib. "Petugas sudah siaga di pintu utama masuk stadion maupun luar stadion," ujar Rikwanto.
Terus Berulang
Melihat ke belakang, ini bukanlah tragedi pertama yang terjadi. Ini bukanlah pertama kali nyawa seseorang seperti tak ternilai. Ya, sepak bola Indonesia memang sedemikian karut-marutnya. Kerusuhan demi kerusuhan berdasar fanatisme buta terus terjadi tanpa bisa diantisipasi, apalagi dihentikan.
Sepanjang tahun ini, tercatat ada sembilan nyawa melayang. Selain tiga korban kemarin, pada Maret lalu lima suporter Persebaya meninggal dunia setelah dianiaya di Lamongan. Dua bulan sebelumnya, pada Januari, bentrokan antara suporter Sriwijaya FC yang terjadi usai pertandingan melawan Persiba Balikpapan, seorang remaja berusia 18 tahun juga harus kehilangan nyawa. Ia tewas dengan tiga luka tusukan di punggung. Berulang dan terus berulang.
Tidak sedikit yang menilai, terus berulangnya tragedi seperti ini merupakan cerminan lemahnya penegakan hukum sekaligus gambaran buruknya dunia persepakbolaan nasional.
Hingga saat ini, belum ada tindakan riil dari pihak-pihak yang terkait, kepolisian, PSSI, atau penyelenggara kompetisi. Semua mengatakan prihatin dan akan membentuk tim pencari fakta. bandingkan dengan apa yangterjadi di Yunani pada 2007 silam. Saat itu, pemerintah Yunani langsung menutup semua stadion menyusul kematian seorang suporter dalam sebuah kerusuhan. Tidak hanya itu, semua agenda olahraga ikut dihentikan.
Dari sisi hukum, ini adalah sebuah pembunuhan, menghilangkan nyara orang lain. Hukum harus tegak. Di ranah apapun, sepak bola atau bukan, pembunuhan tetaplah pembunuhan.
Tragedi memilukan ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, kepolisian, PSSI, penyelenggara kompetisi, klub, kelompok suporter, hingga pribadi suporter. Tugas pertama tentunya bagi kepolisian untuk menangkap pelaku. Selanjutnya, mengevaluasi penanganan massa. Pembenahan parameter keamanan, tata kelola suporter, prosedur penonton, fasilitas keamanan stadion dal lainnya.
Apa yang dilakukan Inggris di era 1980-an bisa menjadi contoh. Mereka belajar dari dua tragedi buruk, Heysel dan Hillsborough. Stadion dibenahi, fasilitas dan sistem pengamanan diperbarui, hukum diperberat. Lambat laun, meski tidak terhapus tuntas, suporter yang dulunya ganas mampu dijinakkan. Bahkan, kini mereka bisa menikmati permainan di lapangan tanpa pagar pembatas.
Jangan lagi ada tragedi. Jangan lagi ada darah yang tumpah. Jangan lagi ada nyawa yang melayang.