Akhir Pekan Bersama Lie
“Leoni, coba kamu hubungi Lie Tangkepayung buat minta foto-fotonya ikut pameran” pinta Mba Kiki suatu siang di tengah rapat darurat membahas tema dan konsep acara yang harus segera di presentasikan ke EO pameran.
Lie..
Tang..
Kep..
Payung..
Nama yang perlu saya konfirmasi berkali-kali pada Mba Kiki, mengenai cara penyebutan dan penulisannya. “Nanti aku kenalin deh lewat facebook, jadi kalian bisa saling kontek-kontekan.”
Hem, nama yang unik dalam hati saya. Dan perkenalan pun berlanjut di Facebook hingga saya mengetahui bahwa Lie saat ini bekerja untuk WWF di Papua. Dulu sebelum saya berkenalan dengan Lie di Facebook, saya mengira Lie adalah orang Papua asli, apalagi setelah menerima kiriman CV dari Lie yang mencatat sejarah lahir dan riwayat akademisnya di Papua.
Rasa penasaran yang saya bawa penuh dengan tanda tanya hingga akhirnya kami berjabat tangan di Jakarta. Ternyata Lie keturunan Toraja, ayahnya adalah pejuang Trikora yang ditugaskan ke Papua, memutuskan untuk kemudian menetap di sana. Nama Tangkepayung adalah nama marga di Toraja, ungkapnya menjawab keraguan saya.
Melibatkan Lie dan fotografer lingkungan hidup lainnya dalam kegiatan pameran satgas REDD+ sebetulnya adalah ide spontan yang tejadi dalam sehari. Mungkin karena kami sendiri berada di dalam kelompok kerja komunikasi dan pelibatan para pihak, objektif kami tidak muluk-muluk dan rumit seperti kebanyakan para konseptor kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan dan pembangunan kapasitas.
Dalam proses pemetaan pemangku kepentingan, media massa menjadi salah satu stakeholders target kegiatan komunikasi kami, lalu kami berpikir, kenapa tidak kita coba melibatkan mereka sebagai bagian dari Satgas REDD+ untuk sama-sama menyebarkan pesan kelestarian lingkungan hidup.
Seandainya pesan tentang usaha pelestarian lingkungan hidup itu diceritakan dan disampaikan oleh para jurnalis dan fotografer lingkungan hidup, tentu akan semakin menarik. Karena saya percaya a picture tells thousand words, dan pena lebih tajam daripada pedang. Keduanya adalah media yang sangat ampuh dalam penyampaian pesan, terlebih apabila bisa menginspirasi hingga terjadi perubahan sikap dan perilaku dari si penerima pesan.
Saya selalu tertarik dengan konsep citizenship journalism, dan new media menjadi salah satu alat yang tepat untuk mendukung terciptanya aktivitas jurnalisme rakyat yang dinamis. Jika berbicara mengenai new media, kita semua sadar bahwa kalangan muda adalah segmen yang sangat dekat dengan internet, sosial media, dan mobile technology.
Menginspirasi mereka menggunakan media-media tersebut untuk menyampaikan pesan lingkungan adalah langkah yang menurut saya paling efektif. Hingga pesan mengenai: Hutan, Lahan Gambut, Manusia dan Budaya tercetus sebagai pesan umum yang ingin disampaikan.
Kerja ala Bandung Bondowoso berbuah respon yang baik dari teman-teman jurnalis dan fotografer. Banyak di antaranya yang mau menyumbangkan foto bertema hutan, lahan gambut, manusia dan budaya untuk ikut ditampilkan dalam booth pameran.
Foto-foto milik Tantyo Bangun, Martin Hardiono, dan Lie Tangkepayung menjadi media yang kuat untuk menyampaikan pesan lingkungan kepada para kaum muda, khususnya pelajar. Tidak hanya itu, mereka juga dengan sukarela mau berbagi pengalaman mereka mengenai semangat berpetualang menjelajahi seluk-beluk hutan dan pedalaman Indonesia untuk mendapatkan foto-foto yang menggambarkan sejuta cerita mengenai alam, manusia, dan budaya.
Cerita Mas Tantyo Bangun mengenai rumah panjang terpanjang di sungai Uluk Palin, Kapuas Hulu dan magisnya tarian pria Dayak Kenyah di tengah Hutan Setulang, Kalimantan Timur, hingga cerita si Jonas dari Papua dan puncak tertinggi Jaya Wijaya yang tertutup salju milik Lie Tangkepayung semuanya membawa atmosfer alam dan hutan menjadi begitu dekat bagi peserta pameran yang sebagian besar adalah pelajar. Padahal jika ditanya berapa orang yang pernah ke pedalaman hutan Kalimantan atau Papua, tak satu pun dari mereka yang mengacungkan tangan.
Saya pun penasaran mengajukan pertanyaan pada Mas Tantyo di depan peserta pameran. “Mas, kenapa sih Mas Tantyo mau capek-capek dan jauh-jauh melakukan perjalanan berhari-hari ke pedalaman dengan medan yang sulit untuk ditempuh dan infrastruktur serta fasilitas yang tidak memadai untuk mengambil sebuah foto?”
Dia pun menjawab dengan tenang “Kalau tidak ada yang merekam dan mendokumentasikan, tidak akan pernah ada yang tahu bahwa hal-hal itu ada di sekitar kita. Siapa yang akan membawa pengetahuan dari dalam sana untuk disampaikan pada adik-adik yang hadir di sini. Bisa jadi adik-adik makin tidak tahu bahwa hal-hal itu ada di sana dan menjadi bagian yang terkait dengan ekosistem hidup kita.”
Lagi-lagi saya menangkap adanya motivasi sederhana yang tumbuh dari kepekaan manusia untuk menjaga keberlanjutan suatu ekosistem hidup, suatu pandangan akan perlunya menjaga dan mengonservasi alam demi masa depan. Bahwa apa yang kita miliki dan nikmati saat ini bukan hanya menjadi milik kita pribadi, untuk kita nikmati sendiri.
Di hari terakhir kegiatan pameran, Lie berbagi cerita dan pengalaman yang inspiratif mengenai “Mengenal dan Mencintai Alam Melalui Fotografi” dari alam yang membesarkannya, tanah Papua. Diawali dengan sapaan foto anak-anak berseragam sekolah SD dengan latar belakang pemandangan laut berwarna biru tosca.
Saya tertegun dengan foto ini, begitu kontras antara objek foto dengan latar belakangnya. Foto itu bercerita bagaimana murid Papua bersekolah di alam, dan tampaklah bahwa alam yang menjadi ruang kelas mereka, alam yang memberikan mereka pengetahuan.
Foto-foto Lie sebagian besar menggambarkan bentangan alam Papua, salah satunya pemandangan puncak Cartenz Piramid di atas awan, satu dari tujuh gunung tertinggi di Asia Tenggara. “Kalau mau mendapatkan foto seperti itu, harus mengambil penerbangan dari Jakarta ke Jayapura yang transit ke Bali dan Timika,” ungkapnya membagi pengalamannya mendapatkan momen foto tersebut.
“Duduk di sebelah kiri badan pesawat jangan di belakang sayapnya. Jika sedang beruntung, dan cuaca sedang bagus, dengan awan yang tidak terlalu penuh, maka puncak Cartenz akan muncul di antara awan langit dini hari.” Informasi berharga yang mungkin saja dibutuhkan oleh fotografer lain yang sedang melakukan perjalanan ke Papua.
Fotografi, karya jurnalistik yang bisa menjadi duta penyampaian pesan lingkungan. Memberikan kesempatan pada para fotografer untuk berbagi semangat dalam memotet alam bisa menjadi salah satu kegiatan yang mendukung pendidikan lingkungan, karena untuk mencapai perubahan paradigma mengenai pengelolaan lingkungan, haruslah dimulai dari pengenalan akan manusia dan budaya sebagai rantai ekosistem yang terkait di dalamnya.
Lie..
Tang..
Kep..
Payung..
Nama yang perlu saya konfirmasi berkali-kali pada Mba Kiki, mengenai cara penyebutan dan penulisannya. “Nanti aku kenalin deh lewat facebook, jadi kalian bisa saling kontek-kontekan.”
Hem, nama yang unik dalam hati saya. Dan perkenalan pun berlanjut di Facebook hingga saya mengetahui bahwa Lie saat ini bekerja untuk WWF di Papua. Dulu sebelum saya berkenalan dengan Lie di Facebook, saya mengira Lie adalah orang Papua asli, apalagi setelah menerima kiriman CV dari Lie yang mencatat sejarah lahir dan riwayat akademisnya di Papua.
Rasa penasaran yang saya bawa penuh dengan tanda tanya hingga akhirnya kami berjabat tangan di Jakarta. Ternyata Lie keturunan Toraja, ayahnya adalah pejuang Trikora yang ditugaskan ke Papua, memutuskan untuk kemudian menetap di sana. Nama Tangkepayung adalah nama marga di Toraja, ungkapnya menjawab keraguan saya.
Melibatkan Lie dan fotografer lingkungan hidup lainnya dalam kegiatan pameran satgas REDD+ sebetulnya adalah ide spontan yang tejadi dalam sehari. Mungkin karena kami sendiri berada di dalam kelompok kerja komunikasi dan pelibatan para pihak, objektif kami tidak muluk-muluk dan rumit seperti kebanyakan para konseptor kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan dan pembangunan kapasitas.
Dalam proses pemetaan pemangku kepentingan, media massa menjadi salah satu stakeholders target kegiatan komunikasi kami, lalu kami berpikir, kenapa tidak kita coba melibatkan mereka sebagai bagian dari Satgas REDD+ untuk sama-sama menyebarkan pesan kelestarian lingkungan hidup.
Seandainya pesan tentang usaha pelestarian lingkungan hidup itu diceritakan dan disampaikan oleh para jurnalis dan fotografer lingkungan hidup, tentu akan semakin menarik. Karena saya percaya a picture tells thousand words, dan pena lebih tajam daripada pedang. Keduanya adalah media yang sangat ampuh dalam penyampaian pesan, terlebih apabila bisa menginspirasi hingga terjadi perubahan sikap dan perilaku dari si penerima pesan.
Saya selalu tertarik dengan konsep citizenship journalism, dan new media menjadi salah satu alat yang tepat untuk mendukung terciptanya aktivitas jurnalisme rakyat yang dinamis. Jika berbicara mengenai new media, kita semua sadar bahwa kalangan muda adalah segmen yang sangat dekat dengan internet, sosial media, dan mobile technology.
Menginspirasi mereka menggunakan media-media tersebut untuk menyampaikan pesan lingkungan adalah langkah yang menurut saya paling efektif. Hingga pesan mengenai: Hutan, Lahan Gambut, Manusia dan Budaya tercetus sebagai pesan umum yang ingin disampaikan.
Kerja ala Bandung Bondowoso berbuah respon yang baik dari teman-teman jurnalis dan fotografer. Banyak di antaranya yang mau menyumbangkan foto bertema hutan, lahan gambut, manusia dan budaya untuk ikut ditampilkan dalam booth pameran.
Foto-foto milik Tantyo Bangun, Martin Hardiono, dan Lie Tangkepayung menjadi media yang kuat untuk menyampaikan pesan lingkungan kepada para kaum muda, khususnya pelajar. Tidak hanya itu, mereka juga dengan sukarela mau berbagi pengalaman mereka mengenai semangat berpetualang menjelajahi seluk-beluk hutan dan pedalaman Indonesia untuk mendapatkan foto-foto yang menggambarkan sejuta cerita mengenai alam, manusia, dan budaya.
Cerita Mas Tantyo Bangun mengenai rumah panjang terpanjang di sungai Uluk Palin, Kapuas Hulu dan magisnya tarian pria Dayak Kenyah di tengah Hutan Setulang, Kalimantan Timur, hingga cerita si Jonas dari Papua dan puncak tertinggi Jaya Wijaya yang tertutup salju milik Lie Tangkepayung semuanya membawa atmosfer alam dan hutan menjadi begitu dekat bagi peserta pameran yang sebagian besar adalah pelajar. Padahal jika ditanya berapa orang yang pernah ke pedalaman hutan Kalimantan atau Papua, tak satu pun dari mereka yang mengacungkan tangan.
Saya pun penasaran mengajukan pertanyaan pada Mas Tantyo di depan peserta pameran. “Mas, kenapa sih Mas Tantyo mau capek-capek dan jauh-jauh melakukan perjalanan berhari-hari ke pedalaman dengan medan yang sulit untuk ditempuh dan infrastruktur serta fasilitas yang tidak memadai untuk mengambil sebuah foto?”
Dia pun menjawab dengan tenang “Kalau tidak ada yang merekam dan mendokumentasikan, tidak akan pernah ada yang tahu bahwa hal-hal itu ada di sekitar kita. Siapa yang akan membawa pengetahuan dari dalam sana untuk disampaikan pada adik-adik yang hadir di sini. Bisa jadi adik-adik makin tidak tahu bahwa hal-hal itu ada di sana dan menjadi bagian yang terkait dengan ekosistem hidup kita.”
Lagi-lagi saya menangkap adanya motivasi sederhana yang tumbuh dari kepekaan manusia untuk menjaga keberlanjutan suatu ekosistem hidup, suatu pandangan akan perlunya menjaga dan mengonservasi alam demi masa depan. Bahwa apa yang kita miliki dan nikmati saat ini bukan hanya menjadi milik kita pribadi, untuk kita nikmati sendiri.
Di hari terakhir kegiatan pameran, Lie berbagi cerita dan pengalaman yang inspiratif mengenai “Mengenal dan Mencintai Alam Melalui Fotografi” dari alam yang membesarkannya, tanah Papua. Diawali dengan sapaan foto anak-anak berseragam sekolah SD dengan latar belakang pemandangan laut berwarna biru tosca.
Saya tertegun dengan foto ini, begitu kontras antara objek foto dengan latar belakangnya. Foto itu bercerita bagaimana murid Papua bersekolah di alam, dan tampaklah bahwa alam yang menjadi ruang kelas mereka, alam yang memberikan mereka pengetahuan.
Foto-foto Lie sebagian besar menggambarkan bentangan alam Papua, salah satunya pemandangan puncak Cartenz Piramid di atas awan, satu dari tujuh gunung tertinggi di Asia Tenggara. “Kalau mau mendapatkan foto seperti itu, harus mengambil penerbangan dari Jakarta ke Jayapura yang transit ke Bali dan Timika,” ungkapnya membagi pengalamannya mendapatkan momen foto tersebut.
“Duduk di sebelah kiri badan pesawat jangan di belakang sayapnya. Jika sedang beruntung, dan cuaca sedang bagus, dengan awan yang tidak terlalu penuh, maka puncak Cartenz akan muncul di antara awan langit dini hari.” Informasi berharga yang mungkin saja dibutuhkan oleh fotografer lain yang sedang melakukan perjalanan ke Papua.
Fotografi, karya jurnalistik yang bisa menjadi duta penyampaian pesan lingkungan. Memberikan kesempatan pada para fotografer untuk berbagi semangat dalam memotet alam bisa menjadi salah satu kegiatan yang mendukung pendidikan lingkungan, karena untuk mencapai perubahan paradigma mengenai pengelolaan lingkungan, haruslah dimulai dari pengenalan akan manusia dan budaya sebagai rantai ekosistem yang terkait di dalamnya.
Penulis: Leoni Rahmawati
Online & Social Networking Specialist