Datangi Komnas HAM, Tertuduh PKI Minta Pemulihan Nama Baik
Rela datang jauh-jauh dari Klaten, Jawa Tengah dengan menggunakan kereta malam, Petrus Sadino datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk memperjuangkan pengakuan negara atas ketidakadilan yang terjadi pada dirinya puluhan tahun silam.
Petrus, pria kelahiran asli Klaten, 59 tahun lalu, adalah salah satu korban 'salah tangkap' yang dilakukan sejumlah aparat tentara baik TNI maupun kepolisian pada tahun 1968 silam.
Ditemui di Komnas HAM, siang tadi, pria paruh baya ini menceritakan kronologis 'salah tangkap' dan penganiayaan yang dialaminya selama dua tahun mendekam di penjara.
"Para tentara itu sebenarnya mencari om saya, namun karena nama om saya, yaitu Sadimo, sangatlah mirip dengan nama saya, mereka langsung menuding saya adalah om saya. Mereka tak mau tahu dan dengar penjelasan saya," jelasnya.
Diceritakan Petrus, pamannya adalah bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sejak kejadian 30 September 1965 diburu keberadaannya oleh tentara Indonesia karena dianggap sebagai komunis, pengkhianat bangsa.
"Mereka menangkap saya, yang waktu itu masih SMP, dan menuduh saya sebagai pimpinan organisasi Pemuda Rakyat, dimana logikanya? Saya kan masih SMP, masa sudah bisa menjadi pimpinan? Tapi mereka tidak mau dengar itu," ungkap dia.
Petrus lalu ditangkap dan mengalami penganiayaan hingga membuat dirinya pingsan dan baru tersadar ketika dirinya sudah berada didalam penjara di Solo, Jawa Tengah.
"Saya disiksa, dipukuli dengan kursi hingga kursi kayu itu hancur berantakan," ceritanya sambil menunjukkan bekas luka penyiksaan yang masih membekas di kepala dan kakinya tersebut.
Tidak hanya ditahan selama dua tahun dengan alasan yang tidak jelas, pembebasan Petrus dari penjara pun juga demikian, "ada pernyataan bahwa mereka belum cukup bukti untuk menahan saya, lalu mengapa saya ditahan sampai dua tahun?"
Diceritakan Petrus, pada tahun 1968, seluruh kampung tempat dia tinggal ditangkap dan dibantai seluruhnya, hingga hanya menyisakan satu orang saja dikampungnya, yakni seorang tukang kayu.
Tidak hanya sampai disitu, intimidasi terhadap mereka juga berlanjut hingga kepada keturunan mereka.
"Anak-anak susah masuk sekolah, susah jadi pegawai negeri karena garis keturunan kita," kata pria yang kini bekerja sebagai wiraswasta meubel ini.
Namun dirinya saat ini mengaku bersyukur, karena di Klaten sendiri, seluruh anak-anak yang memiliki garis keturunan anggota PKI tidak begitu sulit menjadi PNS. "Sebagian sudah bisa menjadi PNS, itu pun karena kebijakan (pemimpin) setempat. Tapi kalau didaerah lain seperti Pekalongan ya masih sulit."
Petrus bersama 32 korban lainnya datang ke Komnas HAM untuk menunggu hasil rapat paripurna yang digelar komisioner Komnas HAM berkaitan dengan keputusan hasil tim investigasi Komnas HAM terkait dengan kasus Penganiayaan tahun 65/66 dan dugaan adanya pelanggaran HAM berat di dalamnya.