Irshad Manji: Waspadai Imperialisme Baru
Mengalami secara langsung penolakan pemikiran reformisnya oleh kelompok Muslim di negara dengan populasi pemeluk agama Islam terbesar di dunia, negara yang juga sering dikatakan memiliki keseimbangan antara keislaman dan demokrasi, aktivis Muslim asal Kanada, Irshad Manji mengatakan, demokrasi di Indonesia tidak mengarah ke titik yang diinginkan.
"[Indonesia sepertinya] mengarah ke [kondisi serupa] Pakistan ketimbang ke arah demokrasi yang sesungguhnya," kata Manji saat berbincang dengan Beritasatu.com, Minggu (6/5), usai pembubaran paksa diskusi bukunya oleh Front Pembela Islam (FPI) di Salihara, akhir pekan lalu.
Manji mengaku, selama ini ia percaya dan sering menganjurkan pembacanya yang ingin melihat contoh keseimbangan umat beragama yang berarti, untuk datang ke Indonesia.
"Tetapi, demokrasi yang sesungguhnya ternyata tidak terjadi di sini," katanya, sambil menambahkan, sejak era reformasi di Indonesia lebih dari 10 tahun, sudah jelas terjadi otoritas yang berbeda dan baru.
FPI dan kelompok Muslim radikal lain menuduh Manji mempromosikan homoseksualitas kepada penganut Muslim di Indonesia melalui bukunya, Allah, Liberty, and Love: The Courage to Reconcile Faith and Freedom.
Perempuan keturunan India dan Mesir yang tinggal di Kanada ini mengatakan, ketika ia tiba di Indonesia baru-baru ini, ia merasakan adanya getaran konservatisme yang lebih kuat dibanding kunjungan terakhirnya pada 4 tahun lalu.
Meski kelompok Muslim radikal sering mengeluhkan merebaknya pengaruh imperialisme asing oleh Amerika Serikat (AS), Manji mengungkap, ada bentuk imperialisme lain yang menyusup ke Indonesia dan lebih perlu diwaspadai.
"Jika Anda berbicara mengenai imperialisme, percaya pada saya, bukan AS atau Israel yang menjadi permasalahan di belahan dunia ini, tetapi Arab Saudi," katanya.
Manji menambahkan, pembatasan cara berpakaian perempuan di Indonesia yang terus dipermasalahkan adalah bentuk impor dan penyebaran paksa aliran Islam Wahabbi.
Manji mengatakan, sebagian besar teman di akun Facebook-nya yang sepaham dengannya berasal dari negara Indonesia, namun ia menyadari itu bukan berarti sebagian besar populasi masyarakat Islam di Indonesia tertarik dengan interpretasi liberalnya.
Nomine Emmy Award untuk film dokumenter Faith Without Fear ini mengatakan, setiap manusia punya hak untuk mengekspresikan pandangannya, tetapi tak ada yang berhak memaksakan pandangannya itu kepada orang lain.
"Itu adalah bentuk pluralisme. Saya tidak mengatakan ekstremis atau fundamentalis tidak boleh ada, mereka juga punya hak untuk menyuarakan pandangannya, tetapi yang mereka tidak miliki adalah hak untuk mencuri pilihan orang lain yang punya sudut pandang berbeda dan mereka yang ingin mendengar pandangan lain itu," kata Manji.
Perempuan berambut pendek ini mengungkap lagi, "Saya tahu saya tidak memiliki hak untuk menghentikan mereka untuk berkhotbah sesuai pandangannya dan saya bisa menerimanya. Saya tidak punya hak untuk melakukan hal itu, karena di Al Quran tercantum, para pengikut [Islam] harus memahami, hanya Allah yang memiliki kebenaran hakiki. Saya paham, butuh kerendahan hati [untuk mengakui hal ini], tetapi mereka (FPI) tidak bisa menerima hal itu."
Namun, upaya untuk mengurangi kekuatan garis keras Muslim ini sebaiknya jangan hanya berfokus pada perubahan cara pikir mereka, karena hal itu sudah terbentuk.
"Sebaiknya buat gerakan yang difokuskan untuk mendukung yang tak terdukung. Jangan berikan kekuatan bagi kekuatan Muslim garis keras ini dengan berfokus pada mereka. Dukunglah mereka yang tak terdengar, itulah misi saya selama ini," kata Manji.