Mencermati Politik Luar Negeri Putin

Kamis, Mei 24, 2012 0 Comments



Asrudin
Ada yang menarik untuk dianalisis dari politik luar negeri Rusia, setelah Vladimir Putin dilantik menjadi presiden untuk ketiga kalinya pada (7/5) lalu. Yakni perintah Putin untuk membangun kekuatan Angkatan Laut (AL) Rusia.

Putin juga memerintahkan agar angkatan bersenjata Rusia segera dilengkapi dengan berbagai sistem persenjataan modern, agar pada tahun 2020 mendatang sekitar 70 persen dari kekuatan militer Rusia sudah terdiri dari sistem persenjataan baru.

Selain itu Putin pun memerintahkan agar membentuk beberapa lembaga eksekutif  baru di tingkat federal yang akan bertanggung jawab terhadap pemesanan dan implementasi pesanan sektor pertahanan. Jumlah personel kontrak di angkatan bersenjata Rusia rencananya juga akan ditambah sebanyak 50.000 personel setiap tahun.

Terkait dengan hal itu, apa sebetulnya yang sedang diagendakan Putin dalam politik luar negerinya? Spekulasi para pengamat hubungan internasional umumnya menilai ini sebagai bagian dari strategi Rusia untuk membendung pengaruh Amerika Serikat (AS) dalam panggung politik internasional.

Meski begitu, Putin membantah tuduhan itu dengan mengeluarkan dekrit kepada Kementerian Luar Negeri Rusia agar tetap bertahan dengan persyaratan traktat pengurangan senjata strategis (START) antara Rusia-AS.

Politik Luar Negeri Putin

Selama kurun waktu pasca Perang Dunia II, hubungan internasional didominasi oleh pertikaian Timur-Barat: perebutan kekuasaan di antara dua negara adi kuasa, AS, dan Uni Soviet (US). Era ini yang kemudian dikenal sebagai Perang Dingin.

Tentu saja, jika kita ingin memahami situasi hubungan internasional pada masa Perang Dingin, adalah penting untuk memahami politik luar negeri US dan politik luar negeri AS.

Sejak era Perang Dingin, meskipun ancaman keamanan US tampak jelas adalah AS, namun tidak ada satu pola umum yang dapat menjelaskan seperti apa politik luar negeri US (sekarang Rusia).

Bahkan Winston Churchill (1948) dalam The Gathering Storm pernah mengatakan bahwa ciri utama politik luar negeri Uni Soviet (US) itu merupakan “tebakan yang terbungkus dalam misteri sebuah teka-teki.”

Banyak analis yang menyebut, bahwa doktrin politik luar negeri US di masa Perang Dingin lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan ideologi. Tapi ada juga yang mengatakan politik luar negeri US lebih merupakan masalah “paham kekaisaran yang terbungkus mantel”.

Namun pastinya ciri utama yang membedakan politik luar negeri US dengan negara-negara lainnya (khususnya AS) di masa Perang Dingin adalah sebuah doktrin resmi yang telah diterima secara umum, yakni Marxisme dan Leninisme.

Seiring perkembangan waktu, sejak runtuhnya US pada 1991, dan bertransformasi menjadi Rusia sampai dengan saat ini, politik luar negeri Rusia lebih banyak dicirikan dengan kepentingan militer-strategis dan ekonomi. Di antara berbagai kepentingan tersebut adalah keinginan US untuk membangun pelabuhan bebas es, keamanan batas wilayah dengan membentuk sejumlah negara bawahan, memiliki sumber energi sendiri, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Peter R. Baehr (1994), Profesor Hubungan Internasional dari Universitas Amsterdam, kebutuhan akan keamanan wilayah (yang lebih baik) selalu menjadi ciri politik luar negeri US. Dalam kaitan ini, Baehr menggunakan istilah “US yang selalu merasa terkepung.” Oleh sebab itu pertimbangan keamanan selalu menjadi yang utama dalam agenda politik luar negeri US.

Kebutuhan akan keamanan ini didorong oleh pengalaman agresi dari negara luar pada masa lalu. Yang terpenting di antara pengalaman masa lalu tersebut adalah serbuan Napoleon pada abad 19, serbuan Jerman dalam Perang Dunia I dan II, dan intervensi AS dan sekutunya selama dan setelah Revolusi Bolshevik pada 1917.

Merujuk pada asumsi Baehr, politik luar negeri Putin yang menginginkan Rusia membangun kekuatan AL dan sistem persenjataan modern adalah sebuah kebutuhan akan keamanan wilayah yang lebih baik karena didorong  oleh pengalaman agresi pihak luar di masa lalu.

Dalam pidato di hadapan ribuan tentara Rusia pada momen perayaan hari Kemenangan (9/5/2012) karena menyerahnya pasukan Nazi kepada tentara Rusia di Berlin pada 9 Mei 1945 silam, Putin mengatakan, “dengan pengorbanan besar rakyat dan tentara Rusia dalam melawan pasukan Nazi Jerman selama Perang Dunia II, membuat Rusia memiliki hak moral untuk menjadi kuat dan menjadi kekuatan utama keamanan global.”

Meski dalam pidato tersebut, Putin tidak menyebut negara lain selain Nazi Jerman sebagai musuh, namun pernyataan Putin diduga diarahkan kepada AS di tengah ketegangan di antara kedua negara terkait keinginan keras AS menggelar perisai misil Eropa.

Pernyataan Putin disampaikan seminggu setelah Kepala Staf Umum Rusia Nikolai Makarov mengatakan, akan menggunakan kekuatan destruktif jika situasi terus memburuk karena sikap AS yang tetap akan memasang sistem pertahanan rudal di Eropa.

Celakanya, AS justru menyikapi ancaman tersebut dengan tetap akan membangun sistem pertahanan itu meski Putin (Rusia) menolaknya. Hal ini diperburuk dengan keengganan AS untuk memberikan jaminan keamanan tertulis kepada Rusia bila misil-misil itu tidak ditujukan ke Rusia.

Mentalitas Perang Dingin

Akibat dari sikap AS yang demikian, menjadi wajar apabila Putin berambisi menjadikan Rusia sebagai kekuatan utama keamanan global dengan membangun sistem persenjataan modern dalam 20 tahun mendatang. Tujuannya tidak lain adalah untuk membangun keseimbangan kekuatan terhadap AS.  

Apalagi AS terus terlihat melakukan penempatan sistem pertahanan di banyak negara lainnya. Belum lama ini (10/5), kabar dari Washington mengatakan AS berencana akan menempatkan kapal perangnya di Singapura mulai tahun 2013. AS juga akan meningkatkan kehadirannya di Filipina dan Thailand sebagai bagian dari strateginya di Asia-Pasifik.

Dalam kaitannya dengan kehadiran militer AS itu, pihak Beijing bahkan mengatakan hal ini adalah bukti "mentalitas Perang Dingin" dari Washington. Pun rencana Putin untuk melakukan penyimbangan kekuatan terhadap AS dengan memodernisasi sistem persenjataannya juga dapat dipahami sebagai “mentalitas Perang Dingin” dari pihak Moskow.

Menyikapi “mentalitas Perang Dingin” antara AS dan Rusia?penting bagi Indonesia untuk menerapkan kembali doktrin politik luar negeri bebas aktif. Hal ini mendesak dilakukan, agar Indonesia dapat bebas dari tekanan AS dan Rusia dan aktif untuk menentukan sikap sendiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
 
Penulis: Asrudin
Penulis di Lingkaran Survei Indonesia

DAVINA NEWS

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.