Nalar Instrumental Politisi
Belum lama ini (24/4/2012), rakyat Indonesia ramai membicarakan video di situs Youtube yang isinya menggambarkan aksi penolakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, PPI Berlin, dan Nahdatul Ulama (NU) Cabang Istimewa Jerman, atas kedatangan Komisi 1 DPR RI beserta keluarga dan rombongannya ke Jerman. Setidaknya terdapat 10 anggota fraksi dari partai-partai politik di parlemen yang datang pada waktu itu.
Dalam pernyataan penolakan, intinya mereka menuntut tiga hal, yaitu transparansi dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri beserta biaya yang dikeluarkan; Anggota DPR juga diminta untuk melaporkan kunkernya kepada rakyat melalui situs DPR ataupun media massa; dan terakhir mereka meminta kepada wakil rakyat untuk tidak menghamburkan duit rakyat yang tidak kecil jumlahnya.
Setelah penolakan ini selesai disampaikan, mereka kemudian melakukan aksi walk-out. Langkah ini mereka ambil karena selama ini dialog dengan para wakil rakyat dipandang tidak membuahkan hasil apa pun.
Dengan sikap ini, mereka berharap para wakil rakyat nantinya menjadi sadar dan lebih serius dalam menjalankan amanah yang telah mereka terima dari rakyat.
Pertanyaannya adalah, apakah para wakil rakyat ini menyadari tuntutan yang dimaksud. Kebanyakan para wakil rakyat tidak menyadari. Bahkan Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR TB Hasanuddin mengatakan bahwa kebiasaan membawa keluarga ke luar negeri saat kunker tak perlu dipersoalkan. Karena hal seperti itu, baginya, juga terjadi di pemerintahan.
Pola pikir seperti ini yang justru membuat para wakil rakyat (politisi) menjadi semakin tuli untuk mendengar kritik dari mana pun, karena yang dipikirkan hanyalah tujuannya sendiri. Dalam tradisi ilmu pengetahuan, pola pikir seperti ini yang sering disebut sebagai nalar instrumental, yang mengabaikan nurani demi kepentingan pribadi.
Istilah nalar instrumental itu sendiri menjadi populer sejak para pemikir mazhab Frankfurt membahas soal ini di dalam karya-karyanya. Beberapa di antaranya yang paling penting adalah karya Theodor Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment (1944), karya Max Horkheimer, Eclipse of Reason (1947), dan karya Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (1964).
Bagi para pemikir mazhab Frankfurt ini, nalar instrumental adalah suatu logika pemikiran dan cara memandang dunia. Artinya dunia dilihat hanya sebagai sebuah instrumen, melihat unsur-unsurnya sebagai alat-alat, dan dengan instrumen itulah, tujuan-tujuan yang diinginkan akan mudah untuk dicapai.
Jelasnya, nalar instrumental hanya tertarik dengan menemukan bagaimana mengerjakan sesuatu, dan bukan dengan apa yang seharusnya dikerjakan. Dalam contoh yang paling sederhana, sosiolog Inggris yang juga seorang psikoterapis, Ian Craib (1984), pernah mengilustrasikan bagaimana ilmu pengetahuan dapat memberikan kita pengetahuan untuk dapat menghasilkan aliran-aliran listrik.
Tetapi di dalam mendapatkan pengetahuan tentang listrik itu tidak dipersoalkan apakah hal itu digunakan untuk menerangkan rumah atau untuk menyiksa manusia. Dalam konteks inilah, nalar instrumental menjadi problematis karena yang disebut sebagai tujuan itu tidak dipersoalkan dampak negatifnya.
Sering dikatakan, khususnya dalam wacana demokrasi Barat, bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan kita alat yang paling efisien untuk mencapai suatu tujuan, tetapi tujuan itu harus diputuskan oleh orang-orang lain, yakni oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis (Ian Craib, 1984).
Masalahnya adalah apakah tujuan dari wakil rakyat ini memang sudah sesuai dengan keinginan rakyatnya. Dalam kasus kunker wakil rakyat kita di Jerman, hal ini jelas tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, karena sebagaimana disinggung PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU cabang istimewa Jerman, rendahnya urgensi dari kunjungan tersebut.
Fakta
Meskipun para politisi yang ada di DPR membela diri dengan memandang kunker ke luar negeri sebagai agenda yang telah ditetapkan, tapi faktanya tujuan dari kunker tersebut sama sekali tidak menunjukkan urgensi yang dimaksud.
Dalam agenda dinasnya, Komisi 1 di Jerman dijadwalkan memiliki tiga tujuan kegiatan. Pertama, menggelar pertemuan dengan parlemen Jerman, kemudian berkunjung ke pabrik tank Leopard, dan satu lagi adalah menggelar ramah-tamah di KBRI.
Tapi faktanya selama dua hari kunjungan ke Jerman (23-25 April 2012), mereka terlihat pelesiran ke Kaufhaus des Westens (KaDeWe), pusat perbelanjaan termewah di Kudam, Berlin Barat dan ke Lafayette, salah satu galeri perbelanjaan ternama di Berlin.
Dalam pernyataan penolakan, intinya mereka menuntut tiga hal, yaitu transparansi dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri beserta biaya yang dikeluarkan; Anggota DPR juga diminta untuk melaporkan kunkernya kepada rakyat melalui situs DPR ataupun media massa; dan terakhir mereka meminta kepada wakil rakyat untuk tidak menghamburkan duit rakyat yang tidak kecil jumlahnya.
Setelah penolakan ini selesai disampaikan, mereka kemudian melakukan aksi walk-out. Langkah ini mereka ambil karena selama ini dialog dengan para wakil rakyat dipandang tidak membuahkan hasil apa pun.
Dengan sikap ini, mereka berharap para wakil rakyat nantinya menjadi sadar dan lebih serius dalam menjalankan amanah yang telah mereka terima dari rakyat.
Pertanyaannya adalah, apakah para wakil rakyat ini menyadari tuntutan yang dimaksud. Kebanyakan para wakil rakyat tidak menyadari. Bahkan Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR TB Hasanuddin mengatakan bahwa kebiasaan membawa keluarga ke luar negeri saat kunker tak perlu dipersoalkan. Karena hal seperti itu, baginya, juga terjadi di pemerintahan.
Pola pikir seperti ini yang justru membuat para wakil rakyat (politisi) menjadi semakin tuli untuk mendengar kritik dari mana pun, karena yang dipikirkan hanyalah tujuannya sendiri. Dalam tradisi ilmu pengetahuan, pola pikir seperti ini yang sering disebut sebagai nalar instrumental, yang mengabaikan nurani demi kepentingan pribadi.
Istilah nalar instrumental itu sendiri menjadi populer sejak para pemikir mazhab Frankfurt membahas soal ini di dalam karya-karyanya. Beberapa di antaranya yang paling penting adalah karya Theodor Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment (1944), karya Max Horkheimer, Eclipse of Reason (1947), dan karya Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (1964).
Bagi para pemikir mazhab Frankfurt ini, nalar instrumental adalah suatu logika pemikiran dan cara memandang dunia. Artinya dunia dilihat hanya sebagai sebuah instrumen, melihat unsur-unsurnya sebagai alat-alat, dan dengan instrumen itulah, tujuan-tujuan yang diinginkan akan mudah untuk dicapai.
Jelasnya, nalar instrumental hanya tertarik dengan menemukan bagaimana mengerjakan sesuatu, dan bukan dengan apa yang seharusnya dikerjakan. Dalam contoh yang paling sederhana, sosiolog Inggris yang juga seorang psikoterapis, Ian Craib (1984), pernah mengilustrasikan bagaimana ilmu pengetahuan dapat memberikan kita pengetahuan untuk dapat menghasilkan aliran-aliran listrik.
Tetapi di dalam mendapatkan pengetahuan tentang listrik itu tidak dipersoalkan apakah hal itu digunakan untuk menerangkan rumah atau untuk menyiksa manusia. Dalam konteks inilah, nalar instrumental menjadi problematis karena yang disebut sebagai tujuan itu tidak dipersoalkan dampak negatifnya.
Sering dikatakan, khususnya dalam wacana demokrasi Barat, bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan kita alat yang paling efisien untuk mencapai suatu tujuan, tetapi tujuan itu harus diputuskan oleh orang-orang lain, yakni oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis (Ian Craib, 1984).
Masalahnya adalah apakah tujuan dari wakil rakyat ini memang sudah sesuai dengan keinginan rakyatnya. Dalam kasus kunker wakil rakyat kita di Jerman, hal ini jelas tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, karena sebagaimana disinggung PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU cabang istimewa Jerman, rendahnya urgensi dari kunjungan tersebut.
Fakta
Meskipun para politisi yang ada di DPR membela diri dengan memandang kunker ke luar negeri sebagai agenda yang telah ditetapkan, tapi faktanya tujuan dari kunker tersebut sama sekali tidak menunjukkan urgensi yang dimaksud.
Dalam agenda dinasnya, Komisi 1 di Jerman dijadwalkan memiliki tiga tujuan kegiatan. Pertama, menggelar pertemuan dengan parlemen Jerman, kemudian berkunjung ke pabrik tank Leopard, dan satu lagi adalah menggelar ramah-tamah di KBRI.
Tapi faktanya selama dua hari kunjungan ke Jerman (23-25 April 2012), mereka terlihat pelesiran ke Kaufhaus des Westens (KaDeWe), pusat perbelanjaan termewah di Kudam, Berlin Barat dan ke Lafayette, salah satu galeri perbelanjaan ternama di Berlin.
Dari kejauhan, rupanya anggota PPI telah mengawasi kedatangan para wakil rakyat tersebut. Untuk memantaunya, PPI Berlin bahkan membentuk tim untuk menginvestigasi kegiatan wakil rakyat tersebut selama di Jerman.
Dari hasil investigasi tersebut, Presidium PPI Berlin Wony Utami mengungkapkan, bahwa ada sepuluh anggota Komisi 1 yang ke Jerman. Sebagian dari mereka tiba di Jerman pada Senin, 23 April 2012 lalu dan sebagian lagi sehari kemudian.
Menurut Wony, pada saat tiba, sebagian dari mereka ditemukan berjalan-jalan ke KaDeWe dan Lafayette. Di antara mereka, bahkan ada yang membeli dasi dan baju. Ada juga yang menenteng tas belanjaan.
Parahnya lagi rombongan para wakil rakyat ini tidak hanya menginap di hotel berbintang lima: Intercontinental Hotel. Mereka juga membawa serta istri, suami, ataupun anaknya. Hal ini yang tentu menyayat hati rakyat, mengingat kunker tersebut dilakukan dengan menggunakan uang rakyat.
Dalam konteks ini, tujuan rupanya telah menjadi instrumen dalam pikiran para wakil rakyat. Bagi mereka, kunjungan kerja adalah sebuah instrumen untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya, yakni pelesiran untuk berbelanja atau sekadar melakukan kunjungan wisata.
Dengan melihat fakta ini, adalah perlu untuk menggugat nalar instrumental para wakil rakyat. Dalam hal ini langkah PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU cabang istimewa Jerman patut didukung.
Dan bila perlu rakyat juga ikut mendesak pimpinan DPR untuk tidak mengizinkan anggotanya melakukan kunker ke luar negeri, kecuali hanya untuk keperluan mendesak seperti kepentingan pembahasan rancangan undang-undang dan tugas Badan Kerja Sama Antar Parlemen.
Itu pun dengan catatan semua ini harus dilakukan secara transparan melalui sosialisasi ke rakyat, baik dengan menggunakan situs DPR ataupun media massa. Ditambah lagi dengan tidak dibolehkannya membawa istri, suami, ataupun anak.
Dalam konteks ini, tujuan rupanya telah menjadi instrumen dalam pikiran para wakil rakyat. Bagi mereka, kunjungan kerja adalah sebuah instrumen untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya, yakni pelesiran untuk berbelanja atau sekadar melakukan kunjungan wisata.
Dengan melihat fakta ini, adalah perlu untuk menggugat nalar instrumental para wakil rakyat. Dalam hal ini langkah PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU cabang istimewa Jerman patut didukung.
Dan bila perlu rakyat juga ikut mendesak pimpinan DPR untuk tidak mengizinkan anggotanya melakukan kunker ke luar negeri, kecuali hanya untuk keperluan mendesak seperti kepentingan pembahasan rancangan undang-undang dan tugas Badan Kerja Sama Antar Parlemen.
Itu pun dengan catatan semua ini harus dilakukan secara transparan melalui sosialisasi ke rakyat, baik dengan menggunakan situs DPR ataupun media massa. Ditambah lagi dengan tidak dibolehkannya membawa istri, suami, ataupun anak.
Penulis: Asrudin
Penulis di Lingkaran Survei Indonesia
Penulis di Lingkaran Survei Indonesia