Revisi UU Ketenagakerjaan Sudah Mendesak
Pemerintah didesak sudah saatnya untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Alasannya, pengaturan kebutuhan hidup layak (KHL) yang tercermin dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan belum berpihak pada kesejahteraan buruh. Terutama mengenai pengaturan pekerja alihdaya (outsourching) seperti diatur Pasal 59 dan Pasal 66 Ayat 2a.
"Pasal-pasal tersebut mengebiri hak-hak pekerja. Seharusnya dihapus atau direvisi dari UU," kata Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono, dalam seminar memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di Jakarta, hari ini.
Aloysius mengemukakan masalah KHL merupakan satu hal serius yang perlu terus diperhatikan dan diperjuangkan. Hal itu hanya dapat dipecahkan dengan revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurutnya, outsourching pekerja itulah yang tidak elok, tetapi terus dilaksanakan. “Boleh dibilang, outsourching itu merupakan sistem perbudakan modern, di mana perusahaan jasa tenaga kerja mengendalikan pekerja untuk perusahaan pemakai (user)," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal FSP RTMM Sudarto mengatakan persoalan KHL sangat menentukan nasib hidup para buruh. Oleh sebab itu, persoalan ini harus mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder terkait.
“Persoalan KHL ini perlu terus diperjuangkan demi kesejahteraan para buruh dan keluarganya ke depan,” ujar Sudarto, dalam kesempatan yang sama.