Sulitnya Menemukan Hakim (yang) Agung
Proses wawancara calon hakim agung memasuki hari ketiga di Komisi Yudisial (25/4). Tahap ini merupakan rangkaian yang paling akhir dari kegiatan pengusulan hakim agung oleh KY untuk kemudian disampaikan ke DPR untuk mendapat persetujuan menjadi hakim agung terpilih.
Forum wawancara KY tentu sangat strategis sekaligus menjadi titik kritis untuk memilah dan kemudian memilih calon-calon yang benar-benar kompeten sebagai hakim agung.
Sebagai penjaga terakhir moral keadilan, posisi hakim agung sangatlah penting untuk diproteksi dari hal-hal negatif. Sosok hakim agung yang didambakan haruslah mapan secara kompetensi (keilmuan), memiliki kredibilitas yang tidak tercela, serta bebas dari semua kepentingan.
Cacat historis
Praktik buram perekrutan hakim agung pada masa orde baru tentu harus menjadi pelajaran berharga. Studi yang dilakukan oleh Sebastiaan Pompe dalam bukunya yang berjudul The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse menyebutkan bahwa sistem seleksi calon hakim agung sebelum reformasi merupakan suatu kooptasi internal yang canggih.
Absennya pengawasan publik dan pencalonan orang-orang dengan reputasi tercela menggambarkan proses perekrutan pada saat itu sangatlah korup secara fundamental (Pompe, 2005).
UU Mahkamah Agung sebelum perubahan (UU No. 14 Tahun 1985) menyebutkan mekanisme pengusulan hakim agung berada pada domain pemerintah dan DPR saja.
Pasal 8 Ayat (2) UU MA tersebut menyebutkan bahwa “Daftar nama calon hakim agung diajukan oleh DPR kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah DPR mendengar pendapat MA dan Pemerintah”. Pendapat tersebut diperoleh melalui suatu forum antara MA dan Departemen Kehakiman (Mah-Dep), ketika nama-nama calon hakim agung disaring secara tertutup.
Dalam ulasannya, Pompe juga menyebutkan peran Ketua MA dan aktor-aktor di Departemen Kehakiman saat itu menjadi sangat menentukan. Tak jarang, relasi yang bersifat paternalistik dan juga ekonomis menjadi hal yang biasa dalam bursa calon hakim agung tempo dulu.
Fakta adanya hubungan keluarga antara Ketua MA Purwoto Gandasubrata pada awal 1990-an dengan Direktur Jenderal Badan Peradilan Depkeh RI, Ny. Sugondo sangat memungkinkan dimuluskannya calon-calon yang berasal dari internal MA.
Hal demikianlah yang kemudian menjadi akar sejarah dari kelahiran KY sebagai lembaga yang kini memiliki otoritas dalam mengusulkan pengangkatan calon hakim agung.
Sebagai lembaga negara yang secara eksplisit dibunyikan dalam UUD 1945 (Pasal 24B), tentu KY memiliki kedudukan politis yang cukup kuat untuk bertindak secara mandiri dan profesional tanpa dipengaruhi oleh kekuatan politik DPR maupun pemerintah. Harapannya adalah, KY dapat menemukan hakim agung yang betul-betul dapat menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Bukan perkara mudah
Tentu mencari sosok hakim agung bukan perkara mudah. Tidak heran kenapa pada tahun 2011 lalu, KY hanya mampu menghasilkan 18 orang calon yang dianggap memenuhi persyaratan tersebut dari 45 orang yang lulus pada tahapan wawancara akhir.
Padahal, KY seharusnya mengajukan calon dengan ketentuan tiga orang untuk masing-masing lowongan yang tersedia (Pasal 18 Ayat 4 UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU KY), yakni 30 orang untuk memenuhi 10 lowongan hakim agung yang dibutuhkan MA.
Begitupun apa yang terjadi pada proses seleksi calon hakim agung pada tahun 2012 ini. Setelah tiga hari pelaksanaan wawancara tahap akhir, KY hanya menemukan setidaknya tiga dari 15 orang calon yang telah diuji yang dianggap relatif layak untuk diusulkan menjadi hakim agung.
Itu pun berasal dari calon-calon yang mengikuti seleksi hakim agung tahun lalu, namun gagal pada fit and propper test di DPR. (Kompas, 26/4). Sebegitu sulitnya KY menemukan sosok calon hakim agung dewasa ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas para hakim-hakim karier dan para intelektual hukum yang berminat menjadi hakim agung.
Perhatian khusus
Sejumlah jawaban tentu bisa dimunculkan terkait dengan persoalan berkenaan dengan pertanyaan di atas. Pertama, jabatan mulia sebagai hakim kini tidak lagi digandrungi oleh sebagian besar para insan hukum yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Jawabnya sederhana, karena profesi hakim yang memiliki tanggung jawab besar tidak setara dengan tingkat kesejahteraannya.
Fakta berkenaan dengan pendapatan pokok seorang hakim yang lebih rendah dari PNS tentu sangat mengecewakan. Tak heran kenapa mereka lebih memilih masuk firma-firma hukum yang bonafid ketimbang mengabdi menjadi sosok pengadil dimuka bumi.
Kedua, masih minimnya pengembangan sumber daya manusia bagi hakim-hakim Indonesia membuat tidak semua hakim, baik tingkat pertama maupun banding mendapatkan pengetahuan yang luas tentang pekembangan hukum.
Bisa dicek berapa jumlah hakim kita yang berkesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri, baik tingkat pascasarjana maupun doktoral dibanding dengan para advokat atau praktisi hukum lainnya. Rationya pasti masih lebih kecil didapat oleh hakim yang berjumlah kurang lebih 7000 orang tersebut.
Ketiga, kurikulum pendidikan tinggi hukum yang masih belum di-up-grade. Selama bertahun-tahun mahasiswa hukum masih dijejali dengan beban SKS, padahal sifat ilmu hukum merupakan ilmu praktis yang langsung berhubungan dengan penyelesaian suatu masalah di tengah-tengah masyarakat. Alhasil, alumni hukum butuh waktu lama untuk mengsinkronkan antara teori dan praktik ketika ia masuk dalam dunia profesi hukum, terutama hakim.
Keempat, persoalan tumpukan perkara yang merupakan persoalan laten di MA. Bayangan setiap orang yang akan maju sebagai calon hakim agung adalah bagaimana menuntaskan tumpukan perkara yang ada, membuat sebagian orang enggan untuk mengabdikan sebagai hakim agung.
Sebagai contoh misalnya, di tahun 2012 ini, hakim agung dalam kamar perdata yang berjumlah hanya 18 orang (enam majelis) harus menuntaskan sebanyak 2708 perkara. Bagaimana mungkin hakim agung dapat menghasilkan putusan yang bagus (landmark decision) apabila terus dihantui oleh banyaknya tumpukan perkara yang harus diselesaikan.
Sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian besar terhadap semua kondisi peradilan di republik ini. Komitmen pemerintah untuk memberikan kesejahteraan hakim harus segera diimplementasikan dengan tolak ukur yang jelas. Perbaikan mendasar harus segera dilakukan sampai pada taraf paradigma, karena apabila cabang kekuasaan kehakiman ini rusak, maka akan berdampak signifikan bagi cabang kekuasaan negara lainnya.
Dalam waktu dekat, KY akan memutuskan siapa yang layak untuk dicalonkan menjadi hakim agung. Untuk saat ini, perlu langkah-langkah yang sedikit pragmatis demi menyelamatkan puncak kekuasaan kehakiman tersebut.
KY harus punya sikap menolak nama-nama yang dianggap tidak layak pada seleksi tahun lalu dan nama-nama yang berlatar belakang bukan dari pidana dan perdata untuk menyelesaikan problem tumpukan perkara dikamar tersebut.
Kalaupun nantinya sulit untuk menemukan orang-orang yang benar-benar memenuhi syarat, tidak ada salahnya KY untuk tidak memenuhi jumlah kuota yang akan diusulkan ke DPR, seperti yang dilakukan di tahun lalu. Ingat, masa depan keadilan hukum di republik ini tentu akan berawal dari pemilihan orang-orang yang tepat, meskipun harus berjuang menemukannya bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Forum wawancara KY tentu sangat strategis sekaligus menjadi titik kritis untuk memilah dan kemudian memilih calon-calon yang benar-benar kompeten sebagai hakim agung.
Sebagai penjaga terakhir moral keadilan, posisi hakim agung sangatlah penting untuk diproteksi dari hal-hal negatif. Sosok hakim agung yang didambakan haruslah mapan secara kompetensi (keilmuan), memiliki kredibilitas yang tidak tercela, serta bebas dari semua kepentingan.
Cacat historis
Praktik buram perekrutan hakim agung pada masa orde baru tentu harus menjadi pelajaran berharga. Studi yang dilakukan oleh Sebastiaan Pompe dalam bukunya yang berjudul The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse menyebutkan bahwa sistem seleksi calon hakim agung sebelum reformasi merupakan suatu kooptasi internal yang canggih.
Absennya pengawasan publik dan pencalonan orang-orang dengan reputasi tercela menggambarkan proses perekrutan pada saat itu sangatlah korup secara fundamental (Pompe, 2005).
UU Mahkamah Agung sebelum perubahan (UU No. 14 Tahun 1985) menyebutkan mekanisme pengusulan hakim agung berada pada domain pemerintah dan DPR saja.
Pasal 8 Ayat (2) UU MA tersebut menyebutkan bahwa “Daftar nama calon hakim agung diajukan oleh DPR kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah DPR mendengar pendapat MA dan Pemerintah”. Pendapat tersebut diperoleh melalui suatu forum antara MA dan Departemen Kehakiman (Mah-Dep), ketika nama-nama calon hakim agung disaring secara tertutup.
Dalam ulasannya, Pompe juga menyebutkan peran Ketua MA dan aktor-aktor di Departemen Kehakiman saat itu menjadi sangat menentukan. Tak jarang, relasi yang bersifat paternalistik dan juga ekonomis menjadi hal yang biasa dalam bursa calon hakim agung tempo dulu.
Fakta adanya hubungan keluarga antara Ketua MA Purwoto Gandasubrata pada awal 1990-an dengan Direktur Jenderal Badan Peradilan Depkeh RI, Ny. Sugondo sangat memungkinkan dimuluskannya calon-calon yang berasal dari internal MA.
Hal demikianlah yang kemudian menjadi akar sejarah dari kelahiran KY sebagai lembaga yang kini memiliki otoritas dalam mengusulkan pengangkatan calon hakim agung.
Sebagai lembaga negara yang secara eksplisit dibunyikan dalam UUD 1945 (Pasal 24B), tentu KY memiliki kedudukan politis yang cukup kuat untuk bertindak secara mandiri dan profesional tanpa dipengaruhi oleh kekuatan politik DPR maupun pemerintah. Harapannya adalah, KY dapat menemukan hakim agung yang betul-betul dapat menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Bukan perkara mudah
Tentu mencari sosok hakim agung bukan perkara mudah. Tidak heran kenapa pada tahun 2011 lalu, KY hanya mampu menghasilkan 18 orang calon yang dianggap memenuhi persyaratan tersebut dari 45 orang yang lulus pada tahapan wawancara akhir.
Padahal, KY seharusnya mengajukan calon dengan ketentuan tiga orang untuk masing-masing lowongan yang tersedia (Pasal 18 Ayat 4 UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU KY), yakni 30 orang untuk memenuhi 10 lowongan hakim agung yang dibutuhkan MA.
Begitupun apa yang terjadi pada proses seleksi calon hakim agung pada tahun 2012 ini. Setelah tiga hari pelaksanaan wawancara tahap akhir, KY hanya menemukan setidaknya tiga dari 15 orang calon yang telah diuji yang dianggap relatif layak untuk diusulkan menjadi hakim agung.
Itu pun berasal dari calon-calon yang mengikuti seleksi hakim agung tahun lalu, namun gagal pada fit and propper test di DPR. (Kompas, 26/4). Sebegitu sulitnya KY menemukan sosok calon hakim agung dewasa ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas para hakim-hakim karier dan para intelektual hukum yang berminat menjadi hakim agung.
Perhatian khusus
Sejumlah jawaban tentu bisa dimunculkan terkait dengan persoalan berkenaan dengan pertanyaan di atas. Pertama, jabatan mulia sebagai hakim kini tidak lagi digandrungi oleh sebagian besar para insan hukum yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Jawabnya sederhana, karena profesi hakim yang memiliki tanggung jawab besar tidak setara dengan tingkat kesejahteraannya.
Fakta berkenaan dengan pendapatan pokok seorang hakim yang lebih rendah dari PNS tentu sangat mengecewakan. Tak heran kenapa mereka lebih memilih masuk firma-firma hukum yang bonafid ketimbang mengabdi menjadi sosok pengadil dimuka bumi.
Kedua, masih minimnya pengembangan sumber daya manusia bagi hakim-hakim Indonesia membuat tidak semua hakim, baik tingkat pertama maupun banding mendapatkan pengetahuan yang luas tentang pekembangan hukum.
Bisa dicek berapa jumlah hakim kita yang berkesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri, baik tingkat pascasarjana maupun doktoral dibanding dengan para advokat atau praktisi hukum lainnya. Rationya pasti masih lebih kecil didapat oleh hakim yang berjumlah kurang lebih 7000 orang tersebut.
Ketiga, kurikulum pendidikan tinggi hukum yang masih belum di-up-grade. Selama bertahun-tahun mahasiswa hukum masih dijejali dengan beban SKS, padahal sifat ilmu hukum merupakan ilmu praktis yang langsung berhubungan dengan penyelesaian suatu masalah di tengah-tengah masyarakat. Alhasil, alumni hukum butuh waktu lama untuk mengsinkronkan antara teori dan praktik ketika ia masuk dalam dunia profesi hukum, terutama hakim.
Keempat, persoalan tumpukan perkara yang merupakan persoalan laten di MA. Bayangan setiap orang yang akan maju sebagai calon hakim agung adalah bagaimana menuntaskan tumpukan perkara yang ada, membuat sebagian orang enggan untuk mengabdikan sebagai hakim agung.
Sebagai contoh misalnya, di tahun 2012 ini, hakim agung dalam kamar perdata yang berjumlah hanya 18 orang (enam majelis) harus menuntaskan sebanyak 2708 perkara. Bagaimana mungkin hakim agung dapat menghasilkan putusan yang bagus (landmark decision) apabila terus dihantui oleh banyaknya tumpukan perkara yang harus diselesaikan.
Sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian besar terhadap semua kondisi peradilan di republik ini. Komitmen pemerintah untuk memberikan kesejahteraan hakim harus segera diimplementasikan dengan tolak ukur yang jelas. Perbaikan mendasar harus segera dilakukan sampai pada taraf paradigma, karena apabila cabang kekuasaan kehakiman ini rusak, maka akan berdampak signifikan bagi cabang kekuasaan negara lainnya.
Dalam waktu dekat, KY akan memutuskan siapa yang layak untuk dicalonkan menjadi hakim agung. Untuk saat ini, perlu langkah-langkah yang sedikit pragmatis demi menyelamatkan puncak kekuasaan kehakiman tersebut.
KY harus punya sikap menolak nama-nama yang dianggap tidak layak pada seleksi tahun lalu dan nama-nama yang berlatar belakang bukan dari pidana dan perdata untuk menyelesaikan problem tumpukan perkara dikamar tersebut.
Kalaupun nantinya sulit untuk menemukan orang-orang yang benar-benar memenuhi syarat, tidak ada salahnya KY untuk tidak memenuhi jumlah kuota yang akan diusulkan ke DPR, seperti yang dilakukan di tahun lalu. Ingat, masa depan keadilan hukum di republik ini tentu akan berawal dari pemilihan orang-orang yang tepat, meskipun harus berjuang menemukannya bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Penulis: Refki Saputra
Peneliti Indonesian Legal Roundtable