Berbagai Kasus Hukum di Kerajaan Bisnis Hary Tanoe
Dugaan suap petugas pajak Sidoarjo yang tengah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan satu-satunya kasus hukum yang mendera kerajaan bisnis Hary Tanoesoedibjo.
Kasus Sisminbakum
Oktober 2008, Kejaksan Agung mengumumkan dimulainya penyidikan dugaan korupsi di jasa pelayanan informasi dan pendaftaran perusahaan secara online, atau disebut Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).
Jasa ini dikelola negara, tentu saja, lebih tepatnya oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, peyelenggara atau provider-nya adalah PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Perusahaan yang menurut jaksa didirikan oleh saudara Hary, Hartono Tanoesoedibjo.
Ternyata, perusahaan atau individu yang mengakses Sisminbakum dikenakan tarif tanpa persetujuan DPR, dan pemasukan keuangan juga sebagian besar lari ke PT SRD, dengan pembagian 90 persen ke SRD 10 persen ke Kemenkumham.
Kelihatannya kasus yang mudah bagi jaksa: perusahaan swasta memungut bayaran atas jasa yang diberikan negara, tanpa persetujuan DPR, dan dengan pembagian pendapatan yang sangat tidak proporsional.
Pihak penasehat hukum para terdakwa berdalih bahwa hal seperti itu lumrah terjadi, negara tidak punya dana sehingga butuh investasi swasta untuk menjalankan proyeknya dengan sistem bagi hasil sampai kemudian dikembalikan penuh kepada negara. Analoginya seperti proyek jalan tol.
Namun tidak seperti jalan tol yang menelan dana triliunan rupiah, pembuatan Website Sisminbakum ini diperkirakan hanya menelan dana Rp500 juta, seperti terungkap dalam sebuah persidangan, sehingga mustahil KemenkumHAM tidak bisa mendapatkan dana.
Dengan modal cuma sebanyak itu, PT SRD meraup pemasukan Rp300 miliar lebih dari Sisminbakum antara 2001 dan 2008, menurut klaim Kejagung.
Hary dan Hartono beberapa kali dipanggil jaksa untuk dimintai keterangan. Hartono malah kemudian dijadikan tersangka.
Mantan Dirut SRD, Yohanes Waworuntu, sempat mengakui bahwa SRD menjadi mesin ATM untuk Bhakti Investama dan dua keluarga Tanoesoedibjo. Di awal penyidikan, Yohanes bahkan mengaku kalau dia dipaksa dua saudara itu untuk mengakui sebagai pemilik PT SRD.
Namun, perkara yang di atas kertas begitu gamblang ini terbukti sulit bagi Kejaksaan Agung di tingkat Mahkamah Agung, di mana beberapa terdakwa akhirnya dibebaskan.
Ada beberapa catatan dalam kasus ini, Hartono tidak pernah ditahan dan Hary sempat menemui Jampidsus waktu itu, Amari. Jaksa Agung ketika itu, Hendarman Supandji, tak membantah ada pertemuan 15 Juli 2010 itu. Dan puncak dari semua kontroversi itu, Jaksa Agung Basrief Arif menghentikan penuntutan kasus Sisminbakum.
Konflik TPI
Pada Desember tahun lalu, Penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Polda Metro Jaya juga memeriksa Hary dalam kapasitasnya sebagai Group President dan Chief Executive Officer PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC), atas tindak pidana yang berkaitan dengan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada 1 November 2011, Direktur Utama PT Citra Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) Dandy Nugroho Rukmana melaporkan Hary Tanoe ke Polda Metro Jaya. Laporan itu terdaftar bernomor LP/3805/XI/2011/PMJ/Dit Reskrimum. Laporan itu dipicu oleh dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan perubahan nama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) menjadi MNCTV. Padahal, saat itu, perkara sengketa kepemilikan saham masih diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan catata Laporan Posisi Keuangan Konsolidasi PT Bhakti Investama Tbk dan Entitas Anak Perusahaan yang beredar di kalangan wartawan, ada beberapa catatan restitusi perusahaan itu.
Pada tahun 2011, Perusahaan menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) pajak penghasilan badan tahun 2009 sebesar Rp465 juta dan beberapa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas Pajak Penghasilan Pasal 21, 23 dan 4(2) untuk masa pajak tahun 2008 dan 2009 sejumlah Rp189 juta. Perusahaan menerima pengembalian SKPLB bersih sebesar Rp266 juta.
Pada tanggal 15 Juni 2009, Perusahaan menerima SKPLB pajak penghasilan badan tahun 2007. SKPLB tersebut juga menetapkan laba fiskal Perusahaan tahun 2007 sebesar Rp55.173 juta dimana dalam laporan keuangan konsolidasi tahun 2008 merupakan rugi fiskal sebesar Rp249.831 juta. Perusahaan mengajukan surat keberatan atas SKPLB tersebut dan pada tanggal 19 Februari 2010, Perusahaan menerima surat keputusan penolakan atas keberatan tersebut. Selanjutnya Perusahaan mengajukan banding dan pada bulan Juli 2011, berdasarkan Surat Putusan dari Direktur Jendral Pajak No. KEP:0047/WPJ.07/KP.0803/2011, keputusan banding diterima seluruhnya.
Pada tanggal 27 April 2010, MNI memperoleh SKPLB PPh Badan sebesar Rp905 juta dan SKPKB PPN, PPh 21, PPh 23 dan PPh 4(2) dengan jumlah Rp133 juta. Lebih bayar PPh Badan tersebut digunakan untuk melunasi kurang bayar pajak lainnya, dan sisanya akan dikompensasi dengan SKPKB PPN tahun 2006 sebesar Rp 780 juta.
Pada bulan April 2010, CTPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia) menerima SKPKB untuk semua jenis pajak tahun 2008, dengan jumlah pajak kurang bayar sebesar Rp16.027 juta. CTPI telah mengajukan keberatan atas liabilitas pajak tersebut dan sampai dengan tanggal penerbitan laporan keuangan konsolidasian, keberatan masih dalam proses.
Pada tanggal 27 Maret 2009, MNI memperoleh SKPLB PPh Badan untuk tahun buku 2007 sebesar Rp686 juta dan SKPKB Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPh pasal 21 dan PPh pasal 23 dengan jumlah Rp123 juta. Lebih bayar PPh Badan tersebut digunakan untuk melunasi kurang bayar pajak lainnya, dan sisanya akan dikompensasi dengan SKPKB PPN tahun 2006.
Pada tanggal 31 Agustus 2009, MNI mengajukan permohonan banding atas SKPKB PPN tahun 2006 sebesar Rp1.885 juta dan sampai dengan tanggal penerbitan laporan keuangan konsolidasian, MNI belum menerima keputusan apapun yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Pada tahun 2011, 2010 dan 2009, IAT menerima beberapa SKPKB untuk berbagai pajak penghasilan masing-masing untuk tahun pajak 2009, 2008 dan 2006 dengan jumlah kurang bayar masing-masing sebesar Rp14.828 juta, Rp6.519 juta dan Rp2.114 juta. Atas beberapa SKPKB pajak penghasilan tahun 2006, IAT telah mengajukan keberatan dan banding dan telah membayar sebagian dari SKPKB tersebut sejumlah Rp4.500 juta yang dicatat ada Aset Lain-lain dalam laporan keuangan konsolidasian. Sampai dengan 31 Desember 2011, pengajuan banding masih dalam proses. Atas SKPKB berbagai pajak penghasilan tahun 2008, IAT telah mengajukan keberatan yang sampai dengan 31 Desember 2011, masih dalam proses.
Sedangkan untuk SKPKB beberapa pajak penghasilan tahun 2009 telah diterima oleh IAT dan telah dilunasi sebagian sejumlah Rp 1.210 juta.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008 pengganti UU Pajak No. 7/1983, tarif pajak badan adalah sebesar 28% yang berlaku efektif 1 Januari 2009 dan sebesar 25% yang berlaku efektif 1 Januari 2010. Aset dan Liabilitas pajak tangguhan disesuaikan dengan tarif pajak yang berlaku pada periode ketika aset direalisasikan dan liabilitas diselesaikan berdasarkan tarif pajak yang akan ditetapkan.
Pada tanggal 31 Desember 2011, 2010 dan 2009, Perusahaan dan entitas anak mengakui aset pajak tangguhan atas akumulasi rugi fiskal masing-masing sebesar Rp206.179 juta, Rp184.450 juta dan Rp176.955 juta.