Klaim Budaya dan Tips Menangkis Ancaman "Pencuri"
Publik Indonesia sedang panas oleh berita klaim Malaysia atas tari Tor-Tor dan alat musik Gondang Sambilan yang berasal dari Sumatra Utara. Ini bukan kali pertama Malaysia mengklaim budaya benda dan non benda negeri Indonesia sebagai milik mereka.
Seperti yang diketahui sebelumnya, Batik, Tari Pendet, Reog Ponorogo, lagu Sayang-sayange, juga pernah dimasukkan sebagai kekayaan budaya Malaysia dalam promosi wisata mereka. Sayang sekali memang, jika hal ini terus terjadi. Maraknya perdebatan dan berita televisi mengenai klaim budaya ini pun menggugah ingatan saya jauh ke masa lalu.
Sebagai anak perempuan, pada usia lima tahun, ibu mengikutsertakan saya dalam kegiatan les menari yang diadakan dua kali dalam seminggu. Awalnya, menari adalah sebuah keterpaksaan, tetapi setelah sekian lama, menari menjadi keasyikan tersendiri yang saya akrabi hingga lulus SMA. Meski kegiatan ini sempat tersendat beberapa waktu karena kesibukan belajar, tetapi menari tetap menjadi pilihan saya saat liburan panjang tiba.
Awalnya, yang diajarkan di sanggar menari saya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, adalah tari-tarian tradisional dan kreasi nusantara, mulai dari Serampang Dua Belas, Patah Sembilan, dan Tanjung Katung dari ranah Melayu, tari kreasi Bagong Kussudiarjo dari Jawa Tengah, Tari Sirih Kuning dan Topeng Gong dari Betawi, tari Panen dan Payung dari Sumatra Barat, tari Pendet dari Bali, Giring-giring dari Kalimantan, dan banyak lagi tarian yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Baru ketika duduk di bangku SMP, yang diajarkan lebih spesifik dimana saya mengambil dua kelas tari Betawi dan Jaipong.
Saat duduk di bangku SMA, saya mulai menghasilkan uang dari kegiatan menari dengan mengisi acara di pesta adat pernikahan dan di hotel-hotel yang menyuguhkan pentas tari tradisional kepada tamu-tamu wisatawan mancanegara. Saat itu, bukan hanya tarian, melainkan saya telah belajar pula memainkan calung dan angklung.
Dengan demikian, saya menyadari bahwa seni tradisional masih sangat diperlukan keberadaannya, sebagai bagian dari upacara adat yang sakral seperti pernikahan maupun demi kepentingan komersial seperti program hiburan di hotel-hotel di Jakarta.
Di bangku kuliah, saya pun belum melepaskan kecintaan akan seni budaya Indonesia. Saya berusaha membagi waktu antara jadwal perkuliahan di sore dan malam hari, sementara pada pukul delapan pagi hingga empat sore saya bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di bidang pembinaan dan pelestarian seni budaya tradisional Indonesia yang berkantor di kawasan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Lembaga ini dulu bernama Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) DKI Jakarta, sekarang Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) yang struktur kelembagaannya berada di bawah Gubernur DKI Jakarta, dan merupakan mitra dari Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Sesungguhnya, keberadaan BKKNI sebagai mitra Dinas Kebudayaan DKI Jakarta untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan nasional saat itu patut diapresiasi.
BKKNI menampung 33 wadah organisasi kesenian daerah dan sejenis seperti Lembaga Kebudayan Betawi (LKB), Lembaga Kebudayaan Riau-Jakarta (LKRJ), Wadah Organisasi Kesenian Jawa, Paguyuban Macapat Radya Agung (PMRA), sampai Lembaga Pengembangan dan Pelestarian Dongeng Indonesia (LPPDI), dan lain sebagainya.
Wadah-wadah organisasi kesenian inilah yang kemudian berhubungan langsung dan menaungi sanggar-sanggar seni yang ada di DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta saat itu melalui BKKNI memberikan pendanaan per tiga bulan untuk digunakan sebagai dana program pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional.
BKKNI dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta juga memberikan workshop bagi pengajar-pengajar tari dan seni untuk dapat memperkaya dan mengembangkan keahlian di bidangnya masing-masing.
Saya juga ingat pada tahun 2001-2002, BKKNI dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menggagas program pagelaran seni tradisional rutin di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) setiap hari Selasa pukul 9-11 pagi tanpa membebankan tarif masuk alias gratis.
Selain untuk memberi kesempatan kepada sanggar-sanggar yang bernaung di bawah wadah organisasi kesenian untuk tampil profesional di panggung bergengsi seperti GKJ, pagelaran seni ini juga ditujukan untuk menyediakan akses budaya bagi wisatawan mancanegara untuk mengenal budaya indonesia saat mereka datang ke Jakarta. Mereka tidak perlu repot mencari pertunjukan tradisional di hotel-hotel atau ke situs budaya lain yang menyajikan kesenian pada event-event tertentu saja, melainkan cukup ke GKJ. BKKNI dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta bekerja sama dengan biro-biro perjalanan wisata dan kedutaan-kedutaan untuk mencantumkan ‘Agenda Selasa’ di brosur atau flyer mereka.
Pementasan demi pementasan ditampilkan profesional dengan desain panggung yang tidak main-main. Sayangnya, kegiatan ini hanya berlangsung setahun, salah satunya disebabkan promosi melalui biro perjalanan tidak membuahkan hasil maksimal. Pengunjung yang datang sering kali hanya memenuhi setengah kapasitas tempat duduk dan setengahnya adalah kerabat atau kru dari pengisi acara.
Begitu pula saat Pekan Raya Jakarta dimulai, BKKNI dan Dinas Kebudayaan Jakarta merancang pertunjukan dengan tujuan memberi kesempatan kepada sanggar-sanggar kesenian di DKI Jakarta untuk menampilkan kekayaan seni budaya daerah asalnya masing-masing dan memasyarakatkan kesenian daerah di negeri sendiri.
Saya masih ingat, Lembaga Kesenian Sumatra Utara menampilkan gondang sabilungan dan tari-tarian adat, serta penyanyi-penyanyi bersuara merdu yang mengalunkan lagu-lagu Batak, begitu pula saat Paguyuban Musik Kolintang-Kawanua menampilkan pagelaran musik Kolintang yang dinamis dan merdu sambil mengiringi lagu-lagu daerah dan lagu pop modern.
Tetapi, lagi-lagi sangat disayangkan, stan BKKNI sering kali sepi pengunjung, kalaupun banyak penontonnya, mereka adalah kerabat para pengisi acara. Pengunjung PRJ saat itu lebih banyak memadati panggung yang menampilkan grup-grup musik kenamaan yang menggelar konsernya di sisi lain kawasan PRJ.
Meski dari dua contoh kegiatan tersebut responnya kurang memuaskan, tapi paling tidak ada upaya dari pemerintah, khususnya di DKI Jakarta, dan lembaga yang berada di bawah koordinasinya, untuk terus memperkenalkan dan melestarikan budaya Indonesia di negeri sendiri dan bagi wisatawan mancanegara. Apa yang dilakukan pemerintah saat itu baru bisa saya maknai lebih dalam saat ini, ketika kasus-kasus pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia marak terjadi.
Lantas saya berpikir, bagaimana bisa seni budaya seperti tari dan musik yang sudah saya kenal dan akrabi 28 tahun terakhir, tiba-tiba diakui oleh negara lain sebagai budaya mereka? Saya yang hanya ‘kenal’ saja merasa sedih dan sakit hati mendengarnya. Bagaimana dengan perasaan seniman-seniman tradisional yang sejak lahir hingga tua menjadikan seni budaya daerah mereka sebagai akar, tanah, air, udara, dan darah dalam hidup mereka? Tentu mereka tidak bisa menerima dan sangat tersakiti.
Sesungguhnya merekalah, orang-orang yang lahir, tumbuh, besar, dan mati dengan melestarikan budaya daerahnya, dan yang menerima nilai-nilai dan filosofi budaya tradisi dari ratusan generasi sebelumnya, yang merupakan pemilik sah budaya itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan klaim Malaysia atas budaya kita? Jika masyarakat Indonesia berang atas ulah Malaysia, sekarang saatnya berbenah diri dengan lebih menghargai dan mencintai budaya tradisional dan memberi kesempatan baginya untuk tampil sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Pemerintah juga harus lebih bersungguh-sungguh melakukan upaya pelestarian seni budaya tradisional baik di tingkat lembaga kesenian, seniman-seniman pelaku seni, maupun di kalangan masyarakat, baik berupa pendanaan dan pembinaan berkelanjutan, program budaya nasional, sampai pada kurikulum pendidikan.
Yang paling mendesak adalah mendaftarkan seluruh kekayaan budaya nusantara untuk mendapatkan hak paten ke UNESCO. Ironis memang, ketika kekayaan negara berupa uang triliunan hilang dalam korupsi, kekayaan budaya tradisional juga selalu terancam dicuri tetangga sendiri.
Nilla A. Asrudian
Penulis Lepas
Penulis Lepas