Pimpinan DPR Didesak Panggil SBY Soal Tingkat Korupsi Parpol
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak untuk menyiapkan langkah pemanggilan Presiden demi mendapat penjelasan atas pernyataannya soal korupsi Partai Demokrat (PD) masih berada di bawah tingkat korupsi dua partai lain.
"DPR seharusnya segera meminta klarifikasi agar masalah ini dapat dijelaskan kepada publik dengan baik," kata Wakil Ketua Komisi I, Tubagus Hasanuddin, di Jakarta, hari ini.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya merasa PD disudutkan dengan pemberitaan korupsi dibandingkan partai lainnya. Ia berkilah tidak hanya partainya yang terlibat kasus korupsi.
SBY membela diri dengan mengatakan korupsi yang dilakukan PD terhitung kecil dibandingkan partai politik lainnya. Menurut SBY, pada kasus korupsi DPRD provinsi tahun 2004-2012, ada 3,9 persen oknum PD yang melakukan tindakan korupsi.
Angka ini menempati peringkat kelima dengan presentase empat partai lainnya, peringkat pertama 34,6 persen, 24,6 persen, 9,2 persen dan, 5,3 persen.
Selain itu, pada kasus korupsi DPRD tingkat Kabupaten/Kota tahun 2004-2012 oknum Demokrat yang melakukan korupsi sebanyak 11,5 persen, berikutnya 27 persen dan 14,4 persen.
Sedangkan untuk korupsi pada tingkat menteri, DPR, gubernur, bupati dan walikota Demokrat juga di urutan ketiga dengan 8,6 persen, di bawah dua partai politik masing-masing 33,7 persen dan 16,6 persen.
Pada dasarnya menurut Hasanuddin, penyampaian data-data itu merupakan proses pembelajaran yang baik untuk rakyat, agar rakyat tahu partai mana saja yang kotor dan partai mana yang bersih. "Itu bermasalah ketika disampaikan tanpa penjelasan yang rinci," kata Hasanuddin.
Politisi asal PDI Perjuangan itu mengemukakan pada tataran arus bawah, data yang disampaikan SBY telah menimbulkan saling ejek dan saling curiga mencurigai.
"Untuk itulah kenapa SBY harus menjelaskan kepada publik rincian data tersebut. Darimana data itu didapat? Bagaimana tehnik atau cara menghitungnya? Dan partai mana saja yang dia maksud?," tuturnya.
Kalau tidak dijelaskan dengan rinci kepada publik, maka SBY sebagai kepala negara mendapat data yang salah dan menyebarkan kabar bohong.
"Bisa juga dianggap mengumbar fitnah untuk mengadu domba rakyat," tegas Hasanuddin.