Tren Menulis Keroyokan
“Aku ingin jadi penulis, Mbak. Gimana ya caranya bisa diterbitkan?” Kalau setiap mendengar kalimat itu saya dapat seratus ribu, hari ini saya udah bisa membeli mobil deh.
Tapi biasanya, seringnya, ucapan itu cuma sebatas ucapan tanpa dilanjutkan jadi aksi. Kalau keinginan yang besar bisa terwujud hanya karena kita menginginkannya, lebih baik saya jualan lampu Aladin.
Waktu berlalu, saat bertemu lagi dengan orang yang kepingin jadi penulis itu, basa-basi saya tanya, “Gimana tulisannya? Udah sampai mana?” Langsung muncul beragam alasan, antara lain, “Aduh, baru sedikit nih, aku nggak ada waktu buat nulis.” Atau “Bingung nih, kok rasanya aku writer’s block?”
Biasanya saya cuma memutar bola mata mendengar pernyataan alasan macam itu, tapi kini beruntunglah kalian semua yang “cuma” menulis satu-dua karya tapi kepingin bisa diterbitkan.
Belakangan, dengan adanya konsep self-publishing, juga fenomena Twitter, pengarang bisa bergabung dan membuat kumpulan cerita beramai-ramai. Konsepnya bisa apa saja, bisa membentuk satu tema dalam antologi. Atau bahkan tema bisa dicari-cari, dikumpulkan dan dikonsep setelah penulisnya dikumpulkan karena mereka seleb di twitter alias mereka yang banyak followernya.
Omnibus belakangan ini jadi barang langka. Mari jeda sebentar untuk menjelaskan beda antologi dan omnibus.
Antologi, menurut KBBI adalah kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang. Jadi bisa kumpulan cerita beramai-ramai.
Sementara omnibus adalah kumpulan tulisan satu pengarang dengan topik yang serupa. Contohnya, omnibus karya Sir Arthur Conan Doyle atau Jules Verne. Bahkan bisa jadi tiga novel dari satu pengarang dirangkum jadi satu buku membentuk omnibus.
Mulai dari pengarang abege yang menulis kisah remaja teenlit secara keroyokan, sampai mereka yang sudah malang melintang jadi seleb twitter dan profesi lain di waktu senggang ikut meramaikan tren ini.
Di satu sisi, menulis keroyokan ini bisa membangkitkan semangat dan memicu mereka yang memang punya dorongan untuk menjadi penulis profesional. Tapi di sisi lain, memandang nama mereka tercetak indah di buku menimbulkan efek pongah berlebihan hingga tak bisa move-on dari karyanya, lalu menganggap satu-dua cerpen yang ada di buku yang ditulis keroyokan itu sebagai karya monumentalnya yang legendaris.
Dampaknya adalah, karya-karya semacam ini bisa menggelincirkan si penulis untuk puas diri dan merasa aman. Padahal menulis, menurut saya, adalah satu kegiatan yang butuh rasa lapar… Apa tuh kata Steve Jobs yang sering banget dikutip? “Stay Hungry. Stay foolish”.
Saat penulis merasa karyanya sudah bagus banget dan keren sekali, dia akan habis. Penulis harus terus menggali rasa lapar yang memberinya kegelisahan dan dorongan untuk menulis.
Saya tidak bilang menghasilkan karya keroyokan itu buruk. Salah satu sisi baiknya adalah menerbitkan sebuah karya beramai-ramai bisa menjadi satu referensi saat menghasilkan karya berikut… yang semoga adalah karya utuh yang ditulisnya sendiri.
Percayalah, menulis secara keroyokan rasanya takkan sebangga menghasilkan satu buku utuh sendirian.
Menulis, ke mana pun tujuan akhirnya, adalah perjalanan sepi yang harus kita lakukan sendirian, bukan hura-hura gegap gempita beramai-ramai.
Menulis bukan tentang mencari ketenaran, menghasilkan uang berlimpah, atau eksis punya banyak teman di dunia nyata atau maya. Menulis adalah tentang bagaimana menghasilkan sesuatu yang membuat jiwa kita kaya – dan semoga bisa memperkaya jiwa orang lain – serta melalui perjalanan sepi itu tanpa merasa kesepian.
"If you want to be a writer, you must do two things above all, read and write a lot." - Stephen King
Hetih Rusli
Editor Buku
Tapi biasanya, seringnya, ucapan itu cuma sebatas ucapan tanpa dilanjutkan jadi aksi. Kalau keinginan yang besar bisa terwujud hanya karena kita menginginkannya, lebih baik saya jualan lampu Aladin.
Waktu berlalu, saat bertemu lagi dengan orang yang kepingin jadi penulis itu, basa-basi saya tanya, “Gimana tulisannya? Udah sampai mana?” Langsung muncul beragam alasan, antara lain, “Aduh, baru sedikit nih, aku nggak ada waktu buat nulis.” Atau “Bingung nih, kok rasanya aku writer’s block?”
Biasanya saya cuma memutar bola mata mendengar pernyataan alasan macam itu, tapi kini beruntunglah kalian semua yang “cuma” menulis satu-dua karya tapi kepingin bisa diterbitkan.
Belakangan, dengan adanya konsep self-publishing, juga fenomena Twitter, pengarang bisa bergabung dan membuat kumpulan cerita beramai-ramai. Konsepnya bisa apa saja, bisa membentuk satu tema dalam antologi. Atau bahkan tema bisa dicari-cari, dikumpulkan dan dikonsep setelah penulisnya dikumpulkan karena mereka seleb di twitter alias mereka yang banyak followernya.
Omnibus belakangan ini jadi barang langka. Mari jeda sebentar untuk menjelaskan beda antologi dan omnibus.
Antologi, menurut KBBI adalah kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang. Jadi bisa kumpulan cerita beramai-ramai.
Sementara omnibus adalah kumpulan tulisan satu pengarang dengan topik yang serupa. Contohnya, omnibus karya Sir Arthur Conan Doyle atau Jules Verne. Bahkan bisa jadi tiga novel dari satu pengarang dirangkum jadi satu buku membentuk omnibus.
Mulai dari pengarang abege yang menulis kisah remaja teenlit secara keroyokan, sampai mereka yang sudah malang melintang jadi seleb twitter dan profesi lain di waktu senggang ikut meramaikan tren ini.
Di satu sisi, menulis keroyokan ini bisa membangkitkan semangat dan memicu mereka yang memang punya dorongan untuk menjadi penulis profesional. Tapi di sisi lain, memandang nama mereka tercetak indah di buku menimbulkan efek pongah berlebihan hingga tak bisa move-on dari karyanya, lalu menganggap satu-dua cerpen yang ada di buku yang ditulis keroyokan itu sebagai karya monumentalnya yang legendaris.
Dampaknya adalah, karya-karya semacam ini bisa menggelincirkan si penulis untuk puas diri dan merasa aman. Padahal menulis, menurut saya, adalah satu kegiatan yang butuh rasa lapar… Apa tuh kata Steve Jobs yang sering banget dikutip? “Stay Hungry. Stay foolish”.
Saat penulis merasa karyanya sudah bagus banget dan keren sekali, dia akan habis. Penulis harus terus menggali rasa lapar yang memberinya kegelisahan dan dorongan untuk menulis.
Saya tidak bilang menghasilkan karya keroyokan itu buruk. Salah satu sisi baiknya adalah menerbitkan sebuah karya beramai-ramai bisa menjadi satu referensi saat menghasilkan karya berikut… yang semoga adalah karya utuh yang ditulisnya sendiri.
Percayalah, menulis secara keroyokan rasanya takkan sebangga menghasilkan satu buku utuh sendirian.
Menulis, ke mana pun tujuan akhirnya, adalah perjalanan sepi yang harus kita lakukan sendirian, bukan hura-hura gegap gempita beramai-ramai.
Menulis bukan tentang mencari ketenaran, menghasilkan uang berlimpah, atau eksis punya banyak teman di dunia nyata atau maya. Menulis adalah tentang bagaimana menghasilkan sesuatu yang membuat jiwa kita kaya – dan semoga bisa memperkaya jiwa orang lain – serta melalui perjalanan sepi itu tanpa merasa kesepian.
"If you want to be a writer, you must do two things above all, read and write a lot." - Stephen King
Hetih Rusli
Editor Buku