UI, UGM atau Orang Indonesia?
Dunia pendidikan Indonesia terutama Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) tiba-tiba saja dikagetkan dengan pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie. Dua perguruan tinggi ternama ini disebut sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan koruptor. Sontak kekagetan ini membawa dampak, bagi para alumnus almamater maupun Marzuki sendiri. Tak lama lagi Marzuki harus menghadapi gugatan yang sudah dilimpahkan kepada pengadilan oleh David Tobing seorang alumnus UI.
Saya merasakan banyak hal ketika mendengar berita tersebut. Satu perasaan yang dominan adalah geli. Geli melihat banyak dialog di sejumlah media yang membahas soal ini. Geli melihat pihak yang naik pitam dan membawa ke pengadilan. Geli melihat pernyataan Marzuki Alie sendiri. Termasuk geli membayangkan nasib pendidikan yang secara langsung membentuk karakter orang Indonesia sendiri.
Pendidikan sebagai proses internalisasi
Sejatinya, pendidikan memiliki makna yakni sebuah proses internalisasi untuk melakukan sesuatu yang benar. Sendi-sendi pendidikan Indonesia yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara juga menyebut kurang lebih demikian apa yang dimaksud dengan pendidikan.
Pendidikan bukan saja tugas sekolah. Dalam pendidikan, rumah tangga adalah sekolah dan sekolah adalah perpustakaan. Di rumah, seorang anak mengalami internalisasi nilai-nilai moral dan di sekolah ia mendapatkan identifikasi-identifikasi serta pemahaman dari pengetahuan nilai yang terinternalisasikan di rumah.
Jika menganalisa pernyataan Marzuki Alie, tanpa banyak tingkah dan dilatarbelakangi oleh apa pun, kita bisa menemukan makna sebuah harapan akan pendidikan yang baik bagi Indonesia. Saya meminjam ucapan Effendi Gazali dalam siaran Apa Kabar Indonesia di sebuah televisi (8/5). Gazali mengungkapkan opininya bahwa pernyataan Alie harus dilihat dalam konteks yang lengkap meski jelas ada logika yang tidak lengkap dalam pernyataan tersebut.
Dalam konteks ini, bisa saja Marzuki Alie ingin mengungkapkan kekesalannya terhadap semakin banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Kasus-kasus ini melibatkan sejumlah orang yang "kebetulan" berasal dari sejumlah lembaga pendidikan tinggi terbaik yang ada.
Apa pun maksud dan konteks dari pernyataan Marzuki Alie, kita harus belajar memahami: sikap dan perilaku adalah hasil internalisasi dalam proses pendidikan. Pendidikan yang dimaksud ialah yang saya sebut sebelumnya: rumah tangga dan sekolah. Marzuki Alie dapat dinilai keliru dalam hal pernyataannya yang frontal menyebut dua perguruan tinggi tersebut, tetapi di sisi lain kita bisa mengambil hikmah dan nilai positif dari pernyataan itu: introspeksi.
Pernyataannya: apakah ada koruptor yang tidak sekolah? Kita bisa menjawab sendiri. Seperti halnya yang dikatakan Marzuki Alie dalam rekaman lengkap pidatonya bahwa para koruptor adalah orang-orang pintar. Saya akan mengatakan setuju, karena perilaku korupsi menuntut kepintaran dan kejelian untuk berbuat korupsi.
Tetapi sekaligus kita boleh tidak setuju jika korupsi terjadi karena orang berada pada posisinya sebagai pejabat. Jabatan bisa dijalankan tanpa korupsi. Banyak orang yang berhasil memimpin tanpa harus korupsi. Perilaku korupsi disebabkan pendidikan karakter dan moral yang tidak memadai. Opini saya terakhir ini mau menyanggah pernyataan Zainal Arifin alumnus UGM yang mengatakan bahwa orang korupsi bukan karena pengetahuan tetapi karena jabatannya.
Sekali lagi, perilaku korupsi adalah hasil internalisasi pendidikan kejujuran yang tidak memadai. Dan internalisasi itu bukanlah seratus persen pekerjaan sebuah lembaga pendidikan formal tetapi juga lembaga pendidikan informal bernama keluarga atau rumah tangga.
Universitas Indonesia dan Gadjah Mada tidak pernah menghendaki lulusannya akhirnya menjadi koruptor di kemudian hari. Hitung-hitung, kuliah empat tahun dibandingkan dengan proses internalisasi di tempat lain adalah alasan mengapa lembaga pendidikan tidak boleh seratus persen disalahkan.
Introspeksi
Pernyataan Marzuki Alie bukanlah masalah kesalahan berkomunikasi tetapi harus dilihat sebagai persoalan mengungkapkan isi hati. Kita tahu sejumlah nama tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Ada oknum guru besar ekonomi, ada oknum anggota DPR yang terkenal cerdas, cantik, pemenang konteks yang mengusung 3B, bahkan anak akademisi dan masih banyak lagi oknum yang tersandung korupsi. Mereka adalah orang-orang terdidik bahkan menyandang gelar pendidikan hingga yang paling pamungkas.
Jika korupsi adalah sebuah perilaku, maka kita tidak perlu berdebat panjang lebar tentang siapa yang salah dan "mengapa lembaga saya disebut demikian". Indonesia sekarang hanya memerlukan sebuah sinergi untuk berbuat kebenaran. Sudah terlalu banyak sinergitas tetapi bukanlah sinergitas untuk membina moral bangsa tetapi justru sebuah persekongkolan untuk merampok bangsa ini.
Pesta olahraga terbesar ASEAN yang misinya membina mental manusia supaya sehat rohani dan jasmani digelar dengan sukses tetapi berujung kasus proyek korupsi pembangunan Wisma Atlet. Kita mungkin tidak akan lupa pernah memiliki oknum mantan Ketua KPU bergelar guru besar yang tersangkut korupsi KPU.
Kita juga jelas-jelas mengetahui bahwa ada korupsi dalam pembahasan anggaran di Kementerian Pendidikan yang notabene lembaga pendidik bangsa. Kita juga tidak lupa dengan seorang guru besar yang terlibat plagiarisme. Kita tetap tahu dari sejumlah survei bahwa Kementerian Agama disebut sebagai lembaga pemerintahan yang paling korup. Semua yang saya sebut ini melibatkan orang-orang yang berpendidikan! Mereka pernah bersekolah di perguruan tinggi, apa pun itu. Mereka sekolah dengan benar. Rapor mereka nilainya sangat bagus. Tetapi?
Bukan saatnya menyoroti UI dan UGM. Saatnya kita menyoroti sistem pendidikan kita. Jika sekarang bangsa ini masih berkutat pada pusaran korupsi yang sangat hebat, berarti ada yang salah dari sistem pendidikan kita. Tepat jika dalam konteks ini mengatakan pernyataan Marzuki Alie tidak keliru. Kita perlu berkaca diri.
Saya, Marzuki Alie, DPR, UI, UGM dan segenap bangsa Indonesia harus bersinergi membangun sebuah sistem pendidikan moral yang baik agar Indonesia bebas korupsi. Apa pun itu, UI maupun UGM adalah Indonesia. Tidak tepat jika mengatakan para koruptor itu lulusan UI dan UGM. Lebih tepat, tetapi tentu sungguh memalukan jika kita mengakui dan menyebut: para koruptor itu orang Indonesia!
Michael Carlos Kodoati
Peneliti FreeIndonesia
Peneliti FreeIndonesia