UU Pencucian Uang Masih 'Ompong'
Ikhtiar penegakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang disahkan Oktober 2010, masih menemui banyak kendala -- di antaranya karena miskinnya laporan dari penyedia jasa keuangan.
"Laporan dari agen properti maupun pialang saham, misalnya, belum optimal," kata Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf kepada Beritasatu.com pada Jumat 15 Juni 2012, di Jakarta.
UU TPPU menyebutkan bahwa penyedia jasa keuangan seperti bank, perusahaan efek, manajer investasi, dan penyedia barang seperti agen properti dan dealer mobil, diwajibkan untuk menerapkan prinsip pengenalan pengguna jasa (konsumen), terutama untuk transaksi Rp 100 juta ke atas.
Selain itu, penyedia jasa keuangan juga diwajibkan memberikan laporan kepada PPATK jika terdapat transaksi tunai di atas Rp 500 juta atau transaksi yang dianggap 'mencurigakan'. Transaksi mencurigan mencakup semua transaksi yang menyimpang dari karakteristik, profil, dan kebiasaan pola transaksi konsumen (nasabah) yang bersangkutan. "Namun, sampai sejauh ini belum ada laporan dari agen-agen properti, misalnya," kata Jusuf.
UU TPPU dibuat untuk membatasi ruang gerak pelaku tindak pidana korupsi dan kejahatan lain. Dengan UU ini, pelaku tindak pidana akan kesulitan 'membelanjakan' uang hasil kejahatan. Untuk mendorong laporan transaksi yang mencurigakan, menurut Jusuf, PPTAK akan terus menggiatkan sosialisasi dan kerjasama dengan pihak penyedia jasa keuangan atau penyedia barang/jasa seperti agen properti, broker pasar saham, atau dealer mobil.
Selain itu, PPATK juga akan merumuskan bentuk sanksi kepada penyedia jasa keuangan yang tak menyampaikan laporan kepada PPATK. Dalam UU TPPU bentuk sanksi yang dimaksud hanya berupa sanksi administratif.
Selain miskinnya laporan dari penydia jasa keuangan, penegakan UU TPPU belum maksimal karena UU ini belum sepenuhnya dipakai dalam pemberantasan korupsi. "Kami sedang meminta KPK untuk menggunakan UU ini," kata Jusuf lagi.
Pasal 5 UU tersebut menyebut bahwa setiap orang yang menerima hibah, pembayaran atau penitipan uang yang 'diduga' merupakan uang hasil tindak pidana, dapat dipenjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak satu miliar. "Jika KPK menggunakan UU TPPU, mereka yang menerima uang yang dicurigai sebagai hasil korupsi, bisa langsung disidik," kata Jusuf lagi.