"Eco-cultural City" Jokowi
Eco-cultural city adalah salah satu konsep pengembangan kota yang menggabungkan nuansa budaya ramah lingkungan. Sebuah konsep yang saat ini dinilai ”sangat mahal” untuk diimplementasikan mengingat pengembangan kota, terutama di Jawa, mayoritas lebih mengedepankan kepentingan ekonomi.Di bawah kepemimpinan Wali Kota Jokowi, kota Solo berusaha dikembangkan menjadi eco-cultural city dengan konsep makronya ”Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu”. Untuk mewujudkan konsep tersebut dia mengawali dengan mengembalikan fungsi awal lokasi-lokasi yang saat ini sudah beralih peruntukan.
Pada tahun pertama, Wali Kota menata kawasan perkantoran dan sejumlah sekolah menjadi proyek percontohan, dari berpagar tembok permanen atau masif menjadi pagar hidup. Ada beberapa keuntungan dari pagar hidup tersebut, yakni selain mendapatkan pengamanan berlapis, juga membuat lingkungan lebih sejuk dan terlihat asri.
Awal 2011, Jokowi menerapkan strategi co-creation, yaitu melibatkan warga secara aktif dalam pembangunan melalui pembukaan sayembara desain kota. Lewat sayembara rancang bangun itu, ia berhasil merangkul warganya dari beragam profesi untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota.
Pemkot bahkan mengeluarkan SK Wali Kota untuk melindungi bangunan bernilai kesejarahan tinggi (heritage). Waktu itu, sedikitnya ada 87 bangunan yang disahkan masuk dalam cagar budaya, dan tak bisa diganggu gugat. Seandainya pemilik atau pengelola baru aset itu ingin mengubah bentuk atau fungsi, harus sepersetujuan Pemkot.
Yang pjuga atut menjadi contoh bagi semua pemimpin kota/ kabupaten adalah cara Pemkot merelokasi pedagang kaki lima (PKL), yang dilakukan tanpa menimbulkan bentrokan dan kekerasan. Jokowi menunjukkan bahwa relokasi dapat dilakukan melalui cara persuasif dan manusiawi.
Melalui intervensi sosial berupa pendekatan kelompok dan pendekatan personal yang cukup lama, yaitu 54 kali pertemuan dengan mengajak makan siang dan makan malam pihak-pihak yang berkepentingan, Pemkot berhasil merelokasi pedagang kecil tanpa menimbulkan bentrokan dan kekerasan, bahkan berkesan sangat manusiawi.
Kebijakan Prolingkungan
Termasuk kesediaan Pemkot memperlebar akses jalan, dan memberi garansi omzet di tempat baru. Sedikitnya 1.000 pedagang kaki lima akhirnya bersedia pindah, membong-kar sendiri tempat usahanya dalam waktu 2 hari. Pemkot menyiapkan 45 truk secara gratis, dan pedagang sendiri yang menaikkan bekas bongkaran kios ke atas truk. Bahkan sebagai penanda, kepindahan pedagang, diiringi prajurit keraton.
Hal ini membuat pedagang merasa lebih dihargai dan dimanusiakan. Orang Jawa menyebutnya cara nguwongke wong. Dalam kirab itu, pedagang membawa kentong sebagai simbol kemakmuran. Ini merupakan cara-cara berbudaya, sesuai dengan konsep kota ekobudaya.
Dengan mempertahankan pasar tradisional, serta membuat kawasan dan kantong pedagang kaki lima, Pemkot pun bisa memetik keuntungan dari aspek ekonomi sekaligus tata ruang. Dari sisi PAD, pasar tradisional mampu menyumbang pemasukan hingga Rp 18,2 miliar/ tahun, melebihi PAD dari hotel yang hanya Rp 7 miliar, parkir Rp 1,8 miliar, serta terminal dan reklame masing-masing Rp 4 miliar.
Dari sisi tata ruang, program itu membuat kota Solo lebih terlihat rapi, memberi ruang terbuka hijau lebih banyak, seperti Solo pada masa lalu. Pedagang juga melihat yang diberikan Pemkot memberinya keuntungan sangat besar. Di lokasi baru mereka mendapat tempat yang representatif, izin usaha, plus seragam, semuanya gratis.
Atas keberhasilannya menata Solo, tak heran jika kota itu mendapat penghargaan ”Green City” dari The La Tofi School of CSR karena Jokowi dianggap berhasil mengembangkan kebijakan yang prolingkungan melalui semua aspek pembangunan. (10)
Oleh Anita Ulifah, mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Undip, penerima beasiswa unggulan Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kemendikbud
Sumber: suaramerdeka