"Esuk Dhele Sore Tempe"
Harga kedelai yang semula Rp 5.500 kini Rp 8.000/ kilogram. Kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton, dan 1,6 juta ton di antaranya untuk produksi tahu dan tempe. Dari jumlah itu Indonesia mengimpor sekitar 1,5 juta ton kedelai/ tahun dengan bea masuk 5%.
Usai mogok produksi, perajin tahu dan tempe berencana menaikkan harga jual. Tahu yang biasanya dijual Rp 101.000/ 10 kg menjadi Rp 110.000. Tempe yang biasanya Rp 3.000/ potong menjadi Rp 4.000, dan yang semula Rp 6.000 menjadi Rp 8.000, sesuai besarnya.
Amerika Serikat, negara andalan Indonesia dalam mengimpor kedelai, kini dilanda kemarau panjang yang berdampak gagalnya panen dan mengakibatkan pasokan kedelai menurun sehingga harga melonjak sesuai hukum supply and demand. Menko Perekonomian Hatta Radjasa berjanji menjaga ketersediaan kedelai dengan memastikan tidak ada spekulan yang bermain. Sementara Wakil Ketua DPR Pramono Anung mendesak Menteri Perdagangan Gita Wiryawan segera mencari solusi atas mahalnya harga kedelai.
Janji memang mudah diucapkan. Soal realisasi, bisa dilupakan. Tak terkecuali janji elite pemerintahan, yang kadang esuk dhele sore tempe (pagi kedelai sore tempe) alias tidak konsisten. Bahkan dalam urusan kedelai, pemerintah bisa terlihat lebih bodoh daripada keledai. Kelangkaan bahan baku tahu dan tempe itu tidak sekali ini saja terjadi, tetapi menjadi semacam siklus tahunan. Namun begitu siklus itu datang, pemerintah selalu kebakaran jenggot sambil berjanji memperbaiki tata niaga kedelai, termasuk Hatta Rajasa yang melontarkan janji sama.
Kandungan Gizi
Bung Karno pernah menyampaikan semacam olok-olok tentang tempe yang dianggapnya lembek. Dalam sebuah pidato, dia mengatakan, “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi cita-cita.”
Namun tak dapat dimungkiri, tahu dan tempe telah menjadi kebutuhan penting rakyat. Konon, tempe telah menyelamatkan jutaan rakyat dari ancaman gizi buruk dan busung lapar pada 1945-1960. Konon pula, tempe telah menyelamatkan pejuang Indonesia ketika ditawan Jepang pada Perang Dunia II. Bung Karno malah penggemar berat. Ada dua jenis makanan yang tak boleh luput dari Istana, yakni gulai daun singkong dan tempe goreng.
Secara medis, tempe berpotensi melawan radikal bebas sehingga menghambat proses penuaan dan mencegah penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes mellitus, dan kanker). Tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, dan hipertensi.
Tempe adalah sumber vitamin B yang sangat potensial. Vitamin yang terkandung antara lain B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Tempe juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah cukup. Jumlah mineral besi, tembaga, dan seng dalam tiap 100 gram tempe berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 miligram.
Penelitian Universitas North Carolina, AS, menemukan bahwa genestein dan fitoestrogen pada tempe dapat mencegah kanker prostat dan payudara. Sementara kandungan gizi pada 100 gram tahu adalah 68 kalori energi, 7,8 gram protein, 4,6 gram lemak, dan 124 miligram kalsium.
Mengapa elite pemerintah tidak pernah cerdas mengantisipasi siklus tahunan kelangkaan kedelai? Sebetulnya cerdas karena dapat dipastikan pernah makan tahu atau tempe. Persoalannya, elite pemerintah terjebak pada sindrom esuk dhele sore tempe alias tidak pernah konsisten. (10)
Oleh Karyudi Sutajah Putra, Tenaga Ahli Anggota DPR
Sumber: suaramerdeka