Jokowi Mimpi Naik Kereta
Jokowi saat mengikuti pengajian di Jakarta | Iwan Piliang |
Bulan Ramadan menjadi momen berharga bagi Wali Kota Surakarta, Joko Widodo. Betapa tidak, kesempatan bertemu warga kota yang dia pimpin bertambah seiring kebiasaannya menjalankan ibadah tarawih di masjid-masjid kampung.
“Sejak dulu saya biasa shalat di masjid mana pun, terutama shalat Jumat. Kalau bulan puasa, tentu kesempatan itu akan semakin besar, mengingat tarawih dilakukan setiap hari,” ungkapnya.
Pria yang biasa disapa Jokowi ini menambahkan, berbaur dengan masyarakat di tempat umum, seperti masjid, sangat mengesankan. Apalagi jika mereka tidak mengetahui wali kota ternyata berada di tengah-tengah kerumunan. “Biasanya, setelah shalat warga baru tahu kalau saya ada di antara mereka. Terus mereka biasanya bilang, lho ada Pak Jokowi di sini to.”
Pria berusia 51 tahun ini mengakui betapa berharganya kesempatan tersebut. “Tanpa rasa canggung, masyarakat langsung mengajak membahas banyak hal, menyampaikan keluhan atau memberi saran. Obrolan ringan itu biasanya berkembang menjadi inspirasi desain kebijakan pengembangan kota,” urai Jokowi.
Perjumpaan dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk kaum dhuafa, menambah kekayaan batin Jokowi. “Empati muncul dari pertemuan-pertemuan itu. Saya bisa merasakan penderitaan mereka dan motivasi untuk berbuat sesuatu muncul dari perasaan empati tersebut. Apalagi selama ini saya yakin, kekayaan spiritual bisa memengaruhi performa seseorang.”
Karena itu, sangatlah wajar bila Jokowi menganggap warga yang dipimpinnyalah salah satu kunci sukses membangun Solo, sejak pertama kali menjabat wali kota pada 2005. “Suara masyarakat itu suara realitas. Nggak dibuat-buat. Jauh berbeda dengan Musrenbangkot, Musrenbangkel, atau apalah itu namanya. Menjaga jarak dengan mereka tentu akan menghasilkan desain kebijakan yang tidak benar. Karena merekalah sasaran utama sebuah pembangunan kota,” urai dia.
Filosofi kepemimpinan Jokowi pun muncul dari medium komunikasi informal tersebut. Sikap “sok pintar” jauh dari kamus kepemimpinannya. “Yang pinter itu sebenarnya rakyat, bukan pemimpin. Makanya, jadi pemimpin itu jangan keminter,” tegasnya tanpa bermaksud menggurui.
Sebagai kepala keluarga, suami Iriana dan bapak tiga anak itu juga mengaku, bulan penuh berkah adalah saat-saat yang begitu dia nantikan. “Biasanya kami disibukkan dengan urusan masing-masing sehingga jarang bertemu. Tapi selama puasa, kesempatan untuk sahur atau buka bersama terbuka lebar. Bagaimanapun juga, saya ini kan seorang ayah,” tuturnya.
Pengusaha mebel ini terkenang pengalaman spiritualnya tatkala menjalankan ibadah umroh tahun 2002. “Saat itu saya ketiduran setelah shalat subuh. Saya baru bangun setelah mimpi naik kereta kencana dari Loji Gandrung ke Balai Kota. Entah ini pertanda apa, yang jelas saya masih ingat mimpi itu sampai sekarang,” kata dia sembari tersenyum.
Redaktur: Yudi Dwi Ardian/Fatimah Azizah
Sumber: suaramerdeka