Perang Foke-Jokowi dalam Manajemen Pemasaran Politik

Minggu, Juli 15, 2012 , 1 Comments


Politik menjadi sebuah industri yang serupa dengan komoditi itu sejak pencalonan John F. Kennedy tahun 1960. Saat itu saingan J. F Kennedy (JFK) adalah Richard Nixon,  wakil Presiden AS sekaligus sohib kental Ike Eisenhower. Bagaimanapun Ike Eisenhower adalah Pahlawan Perang Amerika Serikat di Medan Eropa, Ike juga membawa AS kepada persoalan-persoalan kontrak bantuan besar Eropa, juga menjadikan AS sebagai kekuatan paling besar di dunia setelah pernyataannya mengadakan perang dingin lewat operasi intelijen setelah kematian Stalin.

Bagi rakyat AS, satu-satunya yang bisa mengalahkan Ike Eisenhower dan pesona-nya adalah Jenderal Douglas McArthur, tapi Jenderal McArthur sudah ditendang lama oleh Harry S. Truman karena persoalan Perang Korea, ini artinya : -Sebagai Presiden Ike Eisenhower meng-endorse wakilnya itu untuk masuk ke dalam persaingan politik.  Jelas Richard Nixon akan amat mudah melawan kandidat dari Partai Demokrat, seorang anak kemaren sore, Pahlawan Perang Dunia II yang berwajah bayi,  Pemuda tampan yang terkesan tak serius dan doyan main perempuan : John Fritzgerald Kennedy. Masa muda Nixon penuh kesusahan, ia pernah jadi badut di Pasar Malam, sementara masa muda JFK penuh romantisme anak gedongan.

Pada menjelang Kampanye, tim Nixon memandang remeh kubu JFK, tanpa dijual sekalipun rakyat AS akan memilih Nixon karena faktor ‘restu’ dari Ike Eisenhower. Beberapa kali polling di koran-koran menyebutkan Nixon lebih tinggi dari JFK.

Sementara di kubu JFK berpikir, “Kita jual produk yang tidak dikenal masyarakat, barangnya bagus tapi belum teruji”. Disini konsultan politik JFK  harus berbuat jenius dalam merumuskan persoalan-persoalan kampanye politik yang jauh berbeda.

“Untuk melawan kemapanan harus dengan ‘trik’ terobosan, dan terobosan terbaik adalah mencari media yang benar-benar baru”. Ternyata media yang baru adalah televisi. Disinilah kemudian JFK mendapatkan nilai lebih, - Wajah JFK jauh lebih tampan ketimbang Nixon yang berwajah kaku dan kikuk, JFK yang berasal dari kelas menengah atas, ayahnya adalah eks Dubes Amerika Serikat untuk Inggris serta dua kakeknya dari pihak ayah dan ibu adalah Penguasa Politik di Massachusets menjadikan ia berwajah priyayi, halus namun bergaya Irlandia “Kasar dan menukik”  Ketampanan Kennedy harus dijual seperti menjual wajah Clark Gabble. -Selain ketampanan JFK amat pintar bicara,  tim Kampanye JFK merumuskan bahwa Kennedy harus mengikuti dua gaya : -Gaya William Jennings Bryant dan Gaya Franklin Delano Roosevelt,  gaya pidato Bryan terletak pada sisi narasi penceritaan, bombastis yang sastrawi dan menghanyutkan. Sementara gaya pidato F.D Roosevelt adalah singkat tapi kata-katanya diulang terus sehingga dijadikan mesin propaganda alam bawah sadar,  teknik FDR ini sebenarnya juga dipakai Gobbels dalam merumuskan propaganda Hitler, dalam bahasa gaya FDR, kutipan-kutipan menjadi amat penting untuk menyederhanakan masalah seperti : -”Tak ada ketakutan yang harus ditakuti, kecuali rasa Takut itu sendiri”. J.FK diharuskan mendengarkan pidato-pidato pemimpin seluruh dunia, kesukaan pada teknik pidato inilah yang kelak membuat JFK ‘jatuh cinta’ pada Bung Karno yang dianggap gurunya, semasa kepemimpinan JFK, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat masuk ke dalam tahap paling harmonis sebagai ‘negara setara’.

Tapi JFK tak cukup melawan Nixon dengan pidato, ada kelebihan luar biasa Nixon di mata tim kampanye JFK yaitu : - Daya ingat luar biasa Nixon dan fanatiknya kelas menengah AS pada kubu Ike Eisenhower, kelas menengah AS dan kaum mapan melihat JFK akan ngawur berhadapan dengan Sovjet Uni, sementara haluan Ike Eisenhower amat jelas, apalagi saat itu Ike sudah menciptakan landasan-landasan dasar politik di Asia dalam penghadangan Komunis di bawah komando Dulles bersaudara. Disinilah Nixon akan mendulang banyak keberuntungan.

Satu-satunya kelemahan di kubu Nixon adalah ia tak mencermati soal ‘pencitraan’. Saat itu rakyat AS sedang masuk masa perdamaian, bukan masa perang, generasi AS bukan generasi Volunteer penyandang senjata, tapi generasi Marlon Brando dengan kaos singlet putihnya dan jeans, kenangan kolektif mereka lebih ke James Dean yang kebut-kebutan di jalan dengan mobil Impala ketimbang ke  Audy Leon Murphy yang mampu menghantam tank Jerman dan membunuh puluhan tentara Jerman.

‘Jaman sudah berubah’ dari jaman penuh darah menjadi jaman penuh artifisial. Pencitraan JFK yang pahlawan perang di Pasifik dipoles sedikit, tapi pencitraan JFK mewakili jaman kemapanan AS dipotret habis, asal usul keluarganya,  posisi dua kakeknya dari pihak ayah dan ibu di umbar ke publik, seraya menyembunyikan keinginan ayahnya semasa menjadi Dubes AS untuk Inggris yang menolak ikut campur AS ke dalam perang Eropa pada masa Hitler, dan penolakannya ini disampaikan di depan Raja Inggris.

Akhirnya tim kampanye Jack (nickname JFK), masuk ke dalam tahap penting. Konsultan Politik mengarahkan Jack bergerilya ke kota-kota, Jack tiba-tiba muncul di pasar, Jack naik gerobak dengan isi jerami dan berpidato di atasnya, Jack masuk ke lorong-lorong kumuh New York.  Sementara Nixon masih bergaya kaku, ia hanya menyapa masyarakat kelas menengah, ia tak masuk ke dalam lumpur rakyat, ia menjaga jarak.

Kubu Nixon masih menganggap penting koran, seluruh koran dihidupkan oleh berita-berita politik dengan proyek terbesar Ike Eisenhower : ‘Penghadangan Komunis’, sementara sentimen anti komunis bergaya Joseph McCarthy terus ditiupkan.

Sementara JFK melihat : “Ketika kubu Nixon membawa api permusuhan, saya justru ingin mendobrak perdamaian lewat agenda-agenda kerja bersama”. Ucapan ini dipengaruhi oleh ulasan artikel politik tentang Konferensi Asia Afrika 1955 serta pidato Sukarno dari Indonesia tentang ‘Politik Ko-Eksistensi” : Politik saling Mengakui Keberadaan.  -Kelak dalam pertemuannya dengan Sukarno dan membahas soal Irian Barat, Politik Ko-Eksistensi ini kemudian menjadi pembicaraan mereka berdua-.  “Ketika Nixon ingin memecah dunia menjadi lawan dan kawan,  Kennedy menjadikan dunia satu dalam alam pembebasan”.
Ketika berdebat di Radio,  JFK kalah telak dengan Nixon,  JFK masih kelihatan awam sekali dengan politik luar negeri AS, ia dinilai terlalu utopis. Namun tim sukses JFK melihat bahwa hadirnya media baru yaitu : Televisi, akan membongkar keadaan. - Saat itu tim JFK menuntut kepada Komisi Pemilihan Umum AS untuk tidak menggunakan make up di televisi,  Nixon akhirnya tidak pakai make up, tapi JFK yang berwajah lembut dan tampan itu menggunakan make up tipis -sebuah trik kecurangan yang manis-.  Disini beberapa kali JFK diarahkan oleh pengarah gayanya bagaimana tampil di depan kamera Televisi, dicari sudut yang tepat. JFK tidak boleh menguraikan pidato yang njlimet, tapi gunakan bahasa yang berulang-ulang : Perang politik 1960 bukan perang Program tapi Perang Pencitraan, Perang gaya bahasa, karena dibalik program terletak gaya bahasa.

Di depan TV, JFK menang.   Diperkirakan 40% massa yang tadinya berniat memilih Nixon diperkirakan beralih ke JFK,  hanya gara-gara penampilan dimana JFK sewaktu di Televisi berpenampilan bak aktor sementara Nixon seperti pegawai pulang kerja ke rumah sore-sore sehabis dimarahin boss-nya di kantor, pucat dan berkeringat.

Disinilah letak kecerdasan tim JFK dalam melihat nilai lebih, Nixon kalah tipis hanya gara-gara Make Up tipis.

Lalu bagaimana dengan pertarungan antara Jokowi dan Foke?
Menjual Jokowi gampang, karena bagaimanapun Jokowi adalah barang bagus, pertanyaannya “Karakteristik konsumen Politik di Indonesia sulit diubah” orang Indonesia terkenal dengan rasa nyaman-nya, ‘Biarpun gaya kepemimpinan Jelek, kalau sudah merasa nyaman dia akan menang terus” ini yang terjadi pada SBY, dan kasus Megawati yang gagal. 

SBY mampu membangun ruang nyaman dalam dirinya, sementara Megawati terus menerus menghadirkan kekesalan pribadinya ke ruang publik, sehingga nilai lebih Prabowo dihajar habis karena kaku-nya sikap Megawati. -Sejelek apapun pemberitaan Demokrat, kalau SBY maju lagi dalam pemilu 2014 tak ada yang bisa melawan SBY.  Dalam hal ini SBY sudah menemukan ‘titik sentuh’ alam bawah sadar orang Indonesia yaitu : Kenyamanan, wajah kebapakan dan citra pelindung.


Cilakanya kepintaran Jokowi tidak dicounter secara jelas oleh kubu Foke. Ketimbang menghajar Jokowi lewat program kampanye agenda keberhasilan Jokowi yang intens dan hegemonik, mereka malah bermain di ruang-ruang sempit seperti isu kesukuan, politik uang dan sindiran-sindiran yang nyelekit. 

Padahal Foke ini sudah cukup pantas merebut hati kelas menengah, dan anehnya apakah tim Foke tak sadar karakter kelas menengah kita : “Karakter kelas menengah Indonesia terutama Jakarta, tak senang dengan isu SARA, tak menyukai isu-isu perbedaan agama, mereka lebih senang kebudayaan, mereka lebih senang gaya hidup yang berbhinneka, kelas menengah tak menyukai isu-isu buruh tapi lebih berminat pada persoalan-persoalan kebebasan keyakinan, mereka tak peduli dengan kematian TKI tapi senang pada Irshad Manji “ disinilah Foke justru bunuh diri, ia membuang-buang massa kelas menengah, ingat ada 35% kemarin yang dibuang pada Pilkada 2012,  dan massa itu tidak memilih Faisal Basri yang berasal dari Independen, andai Tim Kampanye Foke bisa secara cerdik berubah gaya narasi politiknya massa itu bisa diambil.  

Massa terpenting Foke adalah justru kaum kelas menengah-mapan bukan kelompok-kelompok yang dirasakan spekulatif seperti kelompok garis keras agama yang ternyata massa-nya sedikit tapi suaranya keras di tengah publik.

Suara kelas menengah Foke diraup dengan Jokowi yang sudah membidik massa rakyat banyak.  Dalam ilmu Pemasaran Politik yang mirip dengan Marketing Produk dikenal paham Kottler, yaitu STP - Segmentatif, Targeting dan Positioning -. Disini Jokowi dengan cerdas membangun pola-pola bidikannya yang heterogen dan campur aduk, dia uraikan dengan cerdas segmentatif.  

Segmen Jokowi adalah kelas bawah yang banyak, ciri khas kelas rakyat banyak adalah emosional, mereka tak paham dengan uraian bergaya auditorium kampus seperti yang dilakukan Faisal Basri, tapi mereka paham pragmatisme. Jokowi dengan tepat mendefinisikan dirinya seperti ini, ia ke Pasar Senen dan membangun ruang emosional. Disini Foke kepleset bukannya Foke melawan dengan aksi tandingan ke Pasar yang lebih mapan malah dia berucap : “Cuman Pegang-Pegang Cabe” saat nyindir Jokowi.

Ucapan Foke ini jelas jeblokan luar biasa kampanye-nya. Foke yang terus menerus membidik sindiran pribadi Jokowi  seperti : ‘Pendatang’, ‘Masih ke Jakarta aja Nyasar’, ‘Kampung Sebelah’ dan lain-lain membuat Jokowi tak perlu bekerja keras, karena ternyata Foke sudah menjadi Public Relation-nya Jokowi.

Sindiran-sindiran itu justru meraup suara banyak Jokowi. Kelemahan utama Jokowi adalah sikap bombastis-nya, tapi ini berhasil ditutupi dengan gaya sederhana dan enteng.

Target Jokowi pada Putaran I, berhasil sebenarnya kalau Foke diam saja, dan tim konsultasi politik-nya merumuskan apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak, bagaimana cara menghadapi kultur Jawa maka Foke sudah menang. Sayang kultur Jawa-nya Jokowi dilawan, untuk masyarakat modern, jargon-jargon : Ente Jual, Ane Beli adalah kultur yang amat kontra dengan kepribadian kelas menengah Jakarta yang senang berdamai, senang berkenalan dan kongkow-kongkow. 

Seharusnya Foke belajar dari kubu SBY bagaimana membangun struktur kongkow-kongkow dari kelas menengah, sementara Jokowi berhasil menembus struktur kongkow-kongkow kelas rakyat banyak dan kelas anak muda. Ketimbang seperti sekarang perang di isu Politik Uang seperti yang dituduhkan Foke, sebaiknya tim konsultan Politik Foke lebih fokus pada pembawaan agenda kelanjutan pemerintrahan kota, ketimbang masuk ke area emosional, secara emosional dan suasana kebatinan, kubu Jokowi sudah menang.

Sementara dari Positioning, Jokowi dengan tepat merumuskan dirinya di tengah masyarakat, ia masuk dengan cantelan ingetan kolektif,  dia masuk ke Jakarta dengan simbolik Esemka : ” Ini lho…hasil kerja saya, ini lho produk Pemerintahan saya, ini lho Politik Berdikari”. Sementara Foke tidak melawan apa-apa saat Jokowi masuk ke Gerbang Djakarta seperti tentara Nazi berbaris di depan arc de triomphe gerbang kota Paris sementara rakyat Paris hanya bengong, itulah yang dilakukan Foke, ia hanya bengong dan berkata lemas “Mungkin saya kurang bisa jualan di media seperti sebelah”. Bukannya ke sentra-sentra industri di Jakarta atau mengagendakan bentuk pembangunan ekonomi, Foke malah bersikap sinis tapi pasrah.

Komunikasi Politik penting, Komunikasi Massa adalah Raja dalam Perpolitikkan Modern,  seorang politisi yang berdurasi panjang harus memiliki positioning yang jelas, SBY adalah salah satu contoh politisi yang punya positioning, ia amat jelas memposisikan dirinya, saking jelasnya ia gagal menciptakan kader di Partai Demokrat, sementara Jokowi amat cerdas melihat ini, ia membentuk ingatan bawah sadar banyak orang, dalam positioning bisa nggak seorang politisi masuk ke dalam ruang ingatan anak-anak, kalau bisa maka politisi itu bisa memenangkan sejarah, dan anak-anak di Jakarta menjadi demam Jokowi hanya karena positioning yang sederhana dan jelas yaitu : Baju Kotak-Kotak.

Ini seperti posisi September 1944 saat Bung Karno merumuskan baju apa yang ia harus pakai. “Maka aku memilih bajuku sendiri, yang dijahit dengan sederhana, gabungan jas dan kemeja, dengan empat kantung besar, kelak orang menyebutku itu sebagai ‘Jas Sukarno”.

Positioning adalah memposisikan kenangan dengan jelas bukan saja momentum tapi lintas generasi, apakah itu baju kotak-kotak, celana A Rafiq atau Jas Sukarno……

DaVina News

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.