Indonesia dalam Fenomena Jokowi-Ahok: Egaliter Vs Inlander
Supaya tidak terjebak eforia berkepanjangan, kita perlu melihat Jokowi - Ahok secara lebih proporsional.
Ingat, sehebat apapun duet itu, mereka tidak mungkin tampil seperti sekarang ini jika bukan karena PDIP dan Gerindra dan itu jelas bukanlah makan siang gratis. Kedua partai ini tahu bahwa koalisi mereka mengusung Jokowi - Ahok sudah lebih dari cukup untuk melawan koalisi pendukung Foke - Nara yang memang lagi jeblog semua di mata rakyat, termasuk konstituen mereka sendiri di tingkatan menengah ke bawah. Duet PDIP - Gerindra mengharap konsekuensi timbal baliknya dari rakyat nanti di 2014, tentu saja. PDIP dan Gerindera tahu bahwa dengan memposisikan dirinya sebagai oposisi mereka bisa leluasa menghujat, dalam tanda kutip, kebijakan pemerintah, atau minimalnya mereka terhindar dari kritisi publik yang selama ini terbukti memang sering mempengaruhi elektabilitas; khusus dalam proyek Jokowi - Ahok ini target duet PDIP - Gerindra adalah munculnya citra heroik berkat telah menemukan dan mempromosikan sepasang manusia yang didambakan rakyat Jakarta.
Anggap saja Jokowi - Ahok menang di putaran kedua walaupun diterjang badai black campaign SARA, korupsi, termasuk teror di kota Solo, pertanyaan menariknya adalah apakah dengan demikian rasionalitas rakyat Jakarta (dan bangsa ini pada umumnya jika ditarik ke atas) dalam memilih pemimpinnya sudah sematang rakyat di negara yang demokrasinya jauh lebih mapan dan akuntabel? Memang ada sejumlah prestasi mengagumkan Jokowi - Ahok ketika memimpin daerahnya sehingga rakyat Jakarta ikutan terkesima, tapi apakah peran rasionalitas itu lebih besar ketimbang semangat “asal bukan Foke”? Perlu survei untuk menjawabnya secara ilmiah, tapi dengan kemenangan putaran pertama saja sudah terlihat indikasi besarnya bahwa konstituen di lapis menengah bawah sudah tidak mau lagi dicocok-hidung begitu saja oleh para elitnya. Ketika berkata “Kader PPP yang nyolok Jokowi - Ahok akan dikenai sanksi”, Surya Darma Ali bukan tidak tahu kenapa putaran pertama kalah, dia cuma arogan saja, terbelenggu oleh kultur feodal PPP, dan feodalisme ulama pada umumnya. Gertak sambal elit partai kepada kader-kadernya seperti itu juga sudah terjadi beberapa kali di putaran pertama, dan bukan PPP saja pelakunya, dan tetap kalah pula.
Fenomena kemenangan putaran pertama Jokowi - Ahok ditafsirkan aneka macam. Dalam konteks Golkar misalnya, itu cermin protes kader Golkar di lapis menengah bawah terhadap pencapresan sepihak, dalam tanda kutip, Aburizal Bakrie. Beberapa hari berikutnya Jusuf Kalla secara terbuka menyatakan dukungannya pada Jokowi - Ahok yang kemudian dinafikan sebagai sikap pribadi oleh para elit pro Ical lainnya, bukan kebijakan partai. Lantas kemarin, sepertinya karena kebingungan, kubu Golkar pro Ical berkata mendukung Foke - Nara “… tapi kami tidak bisa menjamin bahwa kader-kader kami juga ikut mendukung Foke - Nara”. Dalam konteks PPP, itu bisa dibaca sebagai pembangkangan Santri terhadap para Kyainya, begitu pun bagi internal PKS yang makin hari makin terkuak pragmatismenya, aportunismenya, dan hipokrasinya yang tidak sejalan dengan deklarasinya sebagai partai inklusif. Hanya dengan argumen “demi persatuan dan kesatuan umat” Hidayat Nur Wahid mendeklarasikan dukungannya pada Foke - Nara, seakan tidak tahu, atau tidak peduli, begitu banyak kader PKS di lapis menengah bawah yang membelot ke Jokowi - Ahok di putaran pertama.
Paling bagus dalam fenomena kemenangan Jokowi - Ahok di putaran pertama itu, dalam pandangan saya, adalah bahwa itu menunjukkan munculnya spirit egaliter di kalangan kader pada lapis menengah ke bawah. Demokrasi memang sangat butuh spirit egaliter, itulah sebabnya terjadi “cultural shock” parah ketika diterapkan di sini dan berjalan terseok-seok.
Para elit partai, di lain pihak, terlepas dari faktor usia dan apapun latar belakangnya, masih terbelenggu oleh feodalisme, bahkan inlanderisme. Makna inlander yang selama ini dibatasi pada apapun yang bersumber dari inferioritas terhadap orang “bule” sebetulnya sudah mengejawantah jauh lebih dari itu. Kalau ada yang tidak berani mengkritik para penggede hanya semata karena merasa lebih rendah kelas sosialnya ketimbang mereka, bisa dipastikan jauh di lubuk hatinya dia juga tergolong orang yang minder setiap kali ketemu bule walaupun bahasa Inggrisnya “casciscus”, dan lebih dari separoh hidupnya dihabiskan menimba ilmu di rumah Paman Sam. Para inlander tidak suka pada kerabatnya yang “nggak tahu diri” begitu, atau temannya, siapapun, sebab inlander memang tidak suka pada siapapun yang berani mengkritisi higher class. “Omonganmu terlalu tinggi. Memangnya kamu siapa, ngaca dong!”, begitu kurang lebih ciri inlander.
Inlander adalah mereka yang perilakunya terpengaruh, atau dikendalikan, oleh kesadaran terhadap adanya perbedaan kelas sosial. Karena menderita penyakit mental inlander, mereka minder terhadap semua manusia yang di atasnya, sekaligus menghendaki semua yang di bawahnya minder pula kepadanya sehingga tersinggung ketika perilaku yang dibawah pada “nggak sadar kelas”, alias tidak tahu diri, menurut ukuran persepsinya sendiri. Perilaku arogan terhadap yang di bawah itu bukti dirinya minder sama yang di atas, sudah rumusannya begitu. Mentalitas inlander ini juga merintangi munculnya kandidat dari jalur independen yang tidak memilik cukup basis primordial-feodal. Penyakit mental inlander adalah anak kandung kultur feodalisme. Sebaliknya kaum egaliter memandang semua manusia sama, bukan berarti tidak mengakui adanya perbedaan kelas sosial dalam hidup ini, hanya saja perbedaan itu tidak dijadikannya halangan, jarak, apalagi tembok pemisah.
Ibarat lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya, virus inlanderisme tidak bisa hidup dalam kultur egaliter, memang beda habitat. Demokrasi bisa saja berjalan dalam lingkungan inlanderisme, tapi tidak tanpa kemunafikan, hasilnya demokrasi formalistik alias basa basi. Jika diperhatikan, itu esensi sistemiknya tidak jauh beda dari Orde Baru dulu, bedanya kali ini peran tangan besinya dipegang oleh kaum radikalis Islam. Kalau bahasan ini saya belokkan lebih jauh ke arah umat Islam di negeri ini dalam konteks Islam sebagai ajaran yang berprinsip egaliter “kedudukan setiap manusia di muka bumi ini sama di mata Tuhan” tentu lebih menarik, tapi sebaiknya lain kali saja karena fakta di lapangan sekarang masih terlalu banyak variabel anomalinya, dan terlalu banyak inlandernya, yang akan menjadikannya polemik tanpa arti.
Penulis: Eko Armunanto
Sumber: Kompasiana.com