Membaca Selera Publik dalam Pilkada
Ilustrasi |
Persaingan antara Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi) tak hanya soal figur, tetapi juga partai pendukung.
Menjelang putaran kedua Pilkada Jakarta yang akan digelar 20 September 2012, suasana politik di Ibu Kota kian menghangat. Mulai dari lobi antarpartai pendukung, ragam strategi tim sukses tiap kandidat, hingga isu primordial turut mewarnai pilkada kali ini.
Persaingan antara Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi) tak hanya soal figur, tetapi juga partai pendukung. Foke yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Nara) didukung oleh Demokrat, Golkar, PPP, PKS, Hanura, dan sejumlah partai lain. Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tetap diusung PDI-P dan Gerindra. Dengan jumlah yang timpang ini, mampukah Foke-Nara mengungguli Jokowi-Ahok yang unggul pada putaran pertama?
Dengan pengalaman menjadi kepala daerah, calon petahana memiliki peluang lebih besar untuk menang lantaran telah memupuk ”modal” sejak lima tahun sebelumnya. Popularitas, jaringan birokrasi, dukungan dana, dan mobilisasi massa sudah ada dalam genggaman ketika mereka berkuasa. Dengan logika seperti ini, idealnya semua pilkada yang diikuti oleh calon petahana akan dimenangi oleh mereka.
Faktanya, tidak sedikit calon petahana yang akhirnya kalah ketika kembali mencalonkan diri dalam pilkada. Kekalahan calon petahana tersebut mungkin karena figur mereka kurang pas dengan ”selera” publik saat pilkada digelar. Bisa juga dipicu oleh perbedaan orientasi partai politik pengusung dalam memilih calon yang berbuntut pada perpecahan. Kedua hal ini dianggap sebagai faktor utama yang memicu kekalahan sejumlah calon petahana dalam pilkada.
Sebagai contoh, pada Pilkada Kebumen tahun 2010, dua calon petahana yang maju, yakni Bupati Kebumen Nashiruddin Al Mansyur dan Wakil Bupati Rustriyanto, kalah. Rustriyanto yang berpasangan dengan dr Rini yang diusung PDI-P kalah setelah bertarung dalam putaran kedua.
29 pilkada dua putaran
Catatan Litbang Kompas menunjukkan, dalam kurun 2008-2011 terdapat 29 pilkada yang berlangsung dua putaran. Dari jumlah tersebut, lima calon petahana maju ke putaran kedua dan memenangi pilkada. Di Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan, misalnya, calon petahana memenangi kursi bupati untuk kedua kalinya dalam dua putaran. Adapun di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, dan Kabupaten Bangli, Bali, calon petahana yang sebelumnya wakil bupati yang akhirnya terpilih sebagai bupati.
Kekalahan sejumlah calon petahana dalam pilkada merefleksikan resistensi masyarakat terhadap figur-figur yang dianggap gagal memimpin daerahnya. Sebaliknya, masyarakat lebih menginginkan figur yang cocok dengan kepentingan mereka. Penilaian bahwa figur lebih menentukan kemenangan seorang calon ketimbang partai politik terbukti dalam sejumlah pilkada. Banyak calon petahana yang maju bersama partai besar justru kalah di basis mereka sendiri.
Peta tersebut mengisyaratkan pertarungan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung ketat. Kedua pasangan memiliki peluang sama. Namun, hanya mereka yang mampu membaca ”selera” publik dan menampilkan diri sesuai selera itulah yang akan mendulang kemenangan. Kini waktu untuk merebut suara publik kurang dari satu bulan.
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber: Kompas