Prijanto dan Politik Kesederhanaan
Prijanto | Koran Rakyat |
Memang tak baik menyulut api amarah justru di awal bulan Syawal, ketika bermaaf-maafan seharusnya ditradisikan. Tetapi, pemaafan bukan berarti pembenaran atas kelupaan terhadap peristiwa keruh di masa lampau. Peristiwa yang semestinya menjadi pelajaran dan memberi bukti untuk penyusunan kebijakan.
Justru di awal Syawal ini saya membaca buku Prijanto dalam bentuknya yang terpotong-potong di situs pribadinya. Ada gugatan yang lirih di dalamnya, keras tapi tak menggema. Saya membaca kepedihan di dalamnya, campuran antara aroma semangat keadilan dan busuknya sakit hati. Buku itu sesungguhnya telah lama diluncurkan, dibuka ke publik sebagai pembelajaran atas upayanya mengundurkan diri dari jabatan wakil gubernur DKI Jakarta. Ia membela diri, ia menuding, kemudian ia pasrah.
Tak ada yang peduli di mana Prijanto sekarang. Namanya mengkerut di antara pertarungan Foke vs Jokowi yang semakin hari semakin tak beretika. Padahal, ia sosok yang baik untuk menjadi pemimpin. Lurus dan tertib, karakter yang persis dibangun dari barak militernya. Ia yang dulu tak pernah memikirkan karir politik di puncak kepemimpinan ibukota, dipasangkan untuk menjadi boneka. Setidaknya, begitulah yang ia rasakan dalam penuturannya. Membaca tulisannya seperti membaca duka yang tak pernah tuntas bahwa politik di negeri ini tak mengizinkan kesederhanaan. Ia rumit dan memang diciptakan untuk menjadi rumit.
Mengikuti prosedur yang telah disusun adalah kesederhanaan, tetapi politik membuat terjemahannya menjadi rumit. Ia menjadi penuh penafsiran dan prasangka. Ia tampak absurd dan sulit dipahami justru ketika semestinya ia begitu mudah untuk dimengerti. Benarlah Napoleon ketika ia berucap bahwa absurditas dalam politik bukanlah sebuah kecacatan. Absurditas boleh jadi adalah seni. Publik boleh tak paham, tetapi kafilah seniman politik harus selalu berlalu meski selalu digonggong dalam setiap manuvernya.
Prijanto mungkin bukan seniman politik. Kalaupun seniman, pastilah ia realis murni yang mengerti bahwa dunia harus dijalani secara lurus dan sederhana, apa adanya. Tak perlu ada yang disembunyikan, apalagi disalahgunakan. Kesederhanaan yang membuat seseorang mampu bersikap tegas. Kesederhanaan pula yang menjadikan seseorang tetap menjejak di bumi. Siapakah yang tak pernah mendengar kesederhanaan Muhammad yang menjadikannya pemimpin politik termasyhur di dunia, juga kesederhanaan Gandhi yang memaknai tindakan yang benar sebagai langkah politik terbaik?
Pertarungan politik hari ini tidak mengizinkan Prijanto hadir di arena. Bahkan, sejarahnya pun seperti terlupakan. Riwayat perjuangannya sebegitu mudah diabaikan dan tidak menjadi pertimbangan politik bahwa ada kecacatan birokrasi dalam lima tahun terakhir. Memang tak ada satu orang pun yang menjamin uraiannya akan terbukti, berbanding terbalik dengan keyakinan partai-partai politik yang berani menanggung risiko mengusung sang incumbent. Sejarah masa lalu seolah tak punya peranan dalam bentukan sejarah masa depan. Ia bisa dengan mudah dihapus dengan sekadar kontrak politik. Pemaafan atas kelamnya sejarah adalah absurditas yang dapat dengan mudah dimaklumi para seniman politik.
Membaca Prijanto dan pertarungan politik ibukota hari ini seperti memaknai kalimat Galbraith dalam suratnya kepada John F Kennedy bahwa “…politik bukanlah seni kemungkinan. Ia adalah perkara memilih antara bencana dan kenikmatan.” Adalah hal yang teramat sulit untuk mencari siapa yang berani berduka dalam bencana hari ini. Seperti sulitnya mencari siapa yang berani berpolitik secara sederhana, mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat tanpa mencampuradukkan dengan apapun.
Jika kesederhanaan politik itu telah habis tak bersisa, biarlah saja Prijanto mengingat keterlelapannya dalam mobil tanpa AC di Taman Suropati lima tahun lalu. Karena begitu pula terlalu banyak yang terlelap untuk dapat segera bermimpi tentang kekuasaan yang ‘sekadar’ lima tahun itu.