Analisa Perdebatan Jokowi-Ahok di Metro TV
Ilustrasi (Foto: facebook.com/GUBERNURBARU) |
Musik Pengiring :
Pendukung Jokowi menampilkan musik bergaya anak muda, keras dan dinamis. Sementara musik pengiring Tim Foke bergaya acara bulan Puasa. Disini Jokowi sudah pasti menyasar pada segmen yang amat luas, tapi dipastikan dengan musik ini kelompok muda antara 17 tahun sampai 25 tahun mendukung total Jokowi, sementara sasaran musik Foke lebih kena di ibu-ibu majlis taklim dan orangtua konservatif.
Ruang Teater Perdebatan :
Ruang Teater kurang dipajang secara megah, pihak Metro TV gagal membangun studio yang dirancang sebagai perdebatan paling panas, mustinya interior adalah warna-warna terang, tapi ini kok malah warna kesukaannya si Suryopratomo alias Tommy, warna hitam atau gelap. Suryopratomo sendiri sebagai pembawa acara di Metro TV bagi saya kurang menarik dan kurang cerdas dalam mengelola garapan acara TV, kalah jauh dengan Budiarto Shambazy atau Wimar Witoelar yang mampu membawa aura hidup pada acara-acara serius. Ini kelemahan paling utama acara ini.
Pemandu Acara :
Pemandu acara diselamatkan dengan hadirnya Najwa Shihab, sementara Suryopratomo sangat kurang menarik, dengan wajah yang membosankan dan gaya yang kaku dia tidak mampu membangun nyawa dalam acara ini ke gemuruh pertarungan omong antar kandidat. Najwa memang memiliki reputasi menggiring lawan bicara, ia terbiasa bermain di situasi-situasi panas, untuk debat kandidat kali ini yang cukup riuh, bagi Najwa seperti sebuah pertempuran kecil, karena ia terbiasa dengan perdebatan sampai hampir adu pukul dan mampu mendamaikan, dalam debat ini Najwa seperti Oriana Fallaci yang memainkan tugasnya dengan baik, tapi saya melihat Suryopratomo kok malah mirip pelawak Eman Empat Sekawan kalo lagi pake kacamata.
Pertarungan Di Sesi Pertanyaan Isu Kemacetan :
Pertanyaan pertama adalah soal lalu lintas Jakarta, disini Foke mendapat kelemahan luar biasa, Foke memang realistis dalam melihat persoalan, tapi ingat disini adalah persoalan pencalonan Gubernur, bukan rapat dengan staf. Foke tidak mengindahkan kelemahannya yang bergaya Bossy, ia seakan berhadapan dengan para Kepala Suku Dinas, bukan dengan para warga yang sedang menonton dan tak perlu penjelasan teknis, seluruh uraian Foke menjawab pertanyaan Najwa adalah persoalan-persoalannya seperti angkot yang kecil, rebutan trayek gemuk dan kering, sampai pada uraian rinci angkutan, disini Foke memang realistis tapi dia menjawab dengan sikap menyerah pada keadaan, yang perlu diperhatikan juga jawaban separuh membentak Foke kepada Najwa, sikap seperti hendaknya jangan diperlihatkan ketika sedang berkampanye, totalitas kampanye adalah ‘wajah yang ramah’. . Di sesi ini Foke lemah.
Sementara Jokowi menjawab dengan amat revolusioner dan mampu berpikir jauh melompat ke depan, ia menjawab bukan saja persoalan macetnya, tapi persoalan tata kota. “Inti dari kemacetan adalah rumah pekerja ke tempat kerja para pekerja. Disini Jokowi mulai menitik beratkan bahwa Pusat Kota (downtown) tidak lagi menjadi area kaum kaya, area orang berduit, logikanya seperti tata kota Amerika Serikat dan Eropa,downtown diisi kelompok pekerja dan kelas bawah, sementara orang-orang kaya tinggal di pinggiran kota.
Lalu Jokowi menjawab lagi dengan Jabodetabek Authority, sebuah entitas baru yang merupakan koordinator dari berbagai wilayah penyangga DKI untuk bersama-sama menghadapi persoalan Jakarta, ini kelebihan luar biasa Jokowi, ia mampu memanajemen silahturahmi sekaligus menggerakkan kekuatan-kekuatan yang macet untuk dinamis dalam menyelesaikan persoalan, ini berarti penawaran Jokowi malam ini bukan saja kepada warga DKI tapi juga kepada Pemda Bekasi, Depok, Tangerang dan Bogor. Pada sesi pertanyaan pertama, Jokowi menang total, ia amat percaya diri dan bersikap ramah. Ini juga menjungkirbalikkan amatan saya sebelumnya bahwa Jokowi bakal tidak runtut ketika berbicara panjang lebar, ternyata Jokowi adalah seorang komunikator ulung.
Isu Kedua : Kumuh
Pada isu kedua ini, Foke melepaskan diri dari kesulitannya untuk bersikap tegang, ia sudah cenderung rileks, lemparan pertanyaan pertama kali dilemparkan ke Jokowi, dan secara mengejutkan Jokowi membawa sebuah kertas desain simpel tentang rumah panjang, yang mirip dengan gaya Betang (Dayak) untuk renovasi perumahan kumuh, yang dijadikan studi kasus oleh Jokowi adalah kampung di wilayah Bukit Duri. Jokowi dengan rinci menjelaskan ini, namun ia agak kurang dalam intonasi, visi Jokowi amat memikat bagi kalangan bawah. Di titik ini Jokowi jelas melakukan segmentatif perebutan simpati kepada rakyat kecil, pesan yang disampaikan Jokowi tepat sasaran. Tapi lemah dalam artikulasi.
Foke menjawab setelah Jokowi menunjukkan rumah contoh, Foke amat cerdas disini, ia membawa persoalan air, ia menjelaskan secara rinci soal air di Jakarta, ia berkata : “Kita bangun 4 Trilyun” bukan 24 milyar doang. Disini Foke menggebuk usaha kecil Jokowi dengan rencana strategis raksasa, walaupun pesannya tidak sampai ke segmentasi kelompok masyarakat yang hidup di wilayah kumuh, Foke mampu membawa grand strategi jangka panjang dengan amat manis. Disini posisi : Imbang antara Foke dan Jokowi.
Isu ke III : Kesra (Kesejahteraan Rakyat)
Nara sangat membosankan ketika menjelaskan soal kesra, ia amat formalitas dan apa yang ia uraikan tidak hidup. Ia berucap soal Koperasi dan agenda penyalurannya, mustinya disini ia harus bicara bagaimana koperasi bisa menghidupkan banyak orang, tidak hanya berhenti pada entitas koperasi, karena di mata rakyat banyak, koperasi hanyalah gambaran gedung, bukan problem keseharian mereka. Di sesi ini Nara kalah total.
Kelemahan artikulasi Jokowi pada sesi rumah kumuh, dihajar balik oleh A Hok yang secara cerdas pada sesi kesra ini menjadi bintang panggung, A Hok dengan cerdas dan bergaya anak muda yang meletup-letup bercerita soal Puskesmas di DKI hanya empat yang rawat inap, “Jadi semua orang numpuk di RSUD”. Lalu A Hok membaca cerita soal Ambulance, biaya masuk RS sampai tidur di RS gratis, itu yang saya lakukan di Belitung. A Hok mampu membangun debat masuk ke dalam ruang rakyat sehari-hari, di sesi ini A Hok menang total.
Isu ketiga : Tata Kelola Pemerintahan
Disini Jokowi bicara amat hidup sekali, ia bukan saja menjelaskan bagaimana detil manajemen pemerintahan kota yang efektif tapi juga bisa membuat jargon yang akan dikenang lama dalam disiplin manajemen pemerintahan kota : “Birokrasi yang mengikuti Sistem, bukan Sistem yang ikut Birokrasi” disini Jokowi berusaha menjungkir balikkan, bahwa sistemlah yang berkuasa, bukan pegawai Pemda DKI.
Di sesi ini Foke lagi-lagi menunjukkan kelemahannya, ia menjabarkan kesulitan dan masalah dalam sistem yang tidak begitu saja mudah dibenahi, tapi harus perlu waktu. Foke tidak masuk ke alam solusi, ia sama sekali tidak melakukan penawaran politik pada sesi ini.
Di sesi ini : Jokowi menang total.
Pada sesi saling bertanya :
Foke menyerang posisi psikologis soal ‘Roso’ soal ‘Konflik Batin’ ini pertanyaan jenial, tapi tidak ada kaitannya dengan medan perang, dan Jokowi menjawab juga dengan lamban, tapi ini cerdasnya Jokowi ia menjawab dengan lamban untuk menghindarkan jebakan, jangan sampai ada lontaran-lontaran yang mengikat dirinya dengan masa kontrak kerja Kota Solo, padahal soal itu sudah diselesaikan lewat keputusan bersama dan kerelaan rakyat Solo. -Jokowi menjawabnya harusnya dengan dramatis : “Apakah rakyat Solo sendiri tidak bangga produk orang Solo seperti saya memimpin kota Jakarta, pastinya bangga nah kebanggaan inilah yang saya hidupkan bagi orang Solo juga berkah bagi kota Jakarta nantinya”. Di sesi ini Jokowi nampak lemah dan tidak mempersiapkan kemungkinan pertanyaan itu.
Jokowi sudah tepat melempar pertanyaan ke Foke soal Monorel, MRT dan Busway. Mustinya Jokowi mengejar lebih keras dan sadis, karena tiga soal itulah titik kelemahan Foke paling mendasar. Soal Monorel adalah soal kegagalan Foke menyelesaikan dengan pihak swasta, soal MRT hanya sebatas rencana dan Busway yang manajemennya berantakan karena penumpukan terjadi dimana-mana, di momen pertanyaan ini Jokowi kurang brutal menyerang Foke dan lebih banyak tertawa. Harusnya brutal seperti Obama menyerang McCain soal politik perang orang-orang Republik dalam debat politik 2009.
Kelemahan Jokowi dalam saling lempar pertanyaan diselamatkan lagi oleh A Hok, di sesi ini Nara secara mengejutkan mengucapkan dialek Cina gaya Betawi : “Haiyyaaaa… A Hok”. Bahasa ini sebenarnya bukan SARA tapi semacam poyokan (kata-kataan) orang Betawi jaman dulu, seperti Padang Singkek, Batak Karung, atau Jawa Kowek. Secara cerdas provokasi lawakan Nara dibalas oleh A Hok dengan gaya Cina Glodok, bukan Cina Sudirman yang intelek dan kerja di kantor-kantor sepanjang boulevard, tapi dengan gaya Cina Glodok yang lugas, mampu menjelaskan persoalan dengan simpel dan segera menyelesaikan transaksi tanpa tawar menawar berlarut-larut, kick keras A Hok di sesi ini adalah “Kalau pemerintahan pusat nggak becus ya harus diambil dari kampung-kampung, kalo pemain bola kampung jago yang dia bisa menggantikan pemain nasional yang nggak becus” ucapan A Hok ini menutup sesi saling lempar pertanyaan dengan kemenangan di A Hok.
Perdebatan kali ini memiliki bintang panggungnya adalah A Hok yang amat mempesona, saya jadi teringat Soe Hok Gie dalam diri A Hok, sebagai pemimpin ia mampu menjelaskan lumpur keseharian rakyat banyak dan persoalan-persoalannya dengan lugas. Ini artinya kecepatan bertindak dalam politik pro rakyat sudah dibuktikan oleh A Hok.
Pertanyaan penutup untuk saling memuji gagal dilakukan masing-masing pihak mustinya di sesi ini baik Foke atau Jokowi mengambil capital gain atas sesi saling memuji atau melihat positif lawan. Namun ini tidak dilakukan Foke, dan Jokowi terpancing juga jadi sesi saling melihat hal positif gagal memperlihatkan kedewasaan masing-masing calon.
Dalam perdebatan kali ini saya memperhatikan arah dukungan pada Jokowi-A Hok semakin membludak terutama dari Golput yang kemarin tidak memilih, yang menjadi titik dalam pemilihan Golput dilihat dari acara ini adalah : -Kemampuan Jokowi membawa penawaran politik untuk mengubah Jakarta secara total, sementara di pihak Foke yang paling fatal ia secara terus menerus menjabarkan masalah bukan solusi sehingga kondisi Jakarta yang berantakan saat ini jadi terancam status quo atau statis tidak kemana-mana, ini yang kemudian jadi pesan perdebatan kali ini.
Pilihan 20 September 2012 terserah anda………
Penulis: Anton DH Nugrahanto
Sumber: Kompasiana