Ngapain Sih Dukung Jokowi?
Jokowi |
Seru, hiruk pikuk, ramai, dan kusutnya kampanye cagub DKI usai sudah, kini kampanye halus para pendukung mulai pindah ke media sosial, sebuah tren baru. Keren! Para cagub kini tinggal berdoa dan meminta restu dari banyak pihak selain pendukung. Walau sepertinya akan ada juga tim cagub yang mulai melancarkan “bagi-bagi uang” untuk tetap mencoba peruntungan mendapatkan dukungan warga.
Saya merupakan orang yang sebetulnya tidak terlalu ambil pusing dengan yang namanya pilkada DKI atau pemilu. Karena bagi saya, DKI dan negeri ini sedang mengalami masa-masa pancaroba dari kehidupan berpolitiknya sejak reformasi. Semua sedang merasa pintar dan punya peran dalam perubahan negeri ini. Lantas pertanyaannya cara apa yang paling manjur mengobati negeri ini? Pergerakan? demonstrasi? Lawan aparat? Lawan pemerintah? Atau melawan parpol?
Dari semua cara yang pernah dilakukan warga dalam melawan sistem pemerintahan, hal yang sangat LANGKA dilakukan secara signifikan dan masif adalah, minimnya tokoh politik yang punya integritas. Dengan kata lain, negeri ini krisis tokoh-tokoh berintegritas tinggi dan punya pandangan luas dan indah akan harapan pembaharuan negeri. Tapi pertanyaanya, ada gak sih tokoh seperti itu? Menurut saya ADA! Bahkan ada dua, yaitu Joko Widodo dan Pak Dahlan Iskan. Overrated? ya biasa lah hal over the top itu seringkali jadi overrated, anyway...
Ada twips bertanya pada saya: “kang besok pilgub DKI dukung siapa?” Saya jawab ringkas: Saya dukung Faisal-Biem tapi coblos JokoWi. Ditanya lagi: ngapain sih dukung JokoWi? - Ah menarik.. mari!
Melawan dan Ikut Sistem?
Pertama kali saya kenal nama JokoWi karena sikap dia sebagai walikota yang “melawan” sistem lama pemerintahan di Surakarta. Saya yakin sudah banyak yang mendengarnya, maka saya tidak perlu lagi menceritakannya panjang lebar di sini. Singkat kata, sepak terjang JokoWi di pemerintahan Surakarta benar-benar sebuah tindakan terobosan yang tabu dan jarang sekali dilakukan banyak tokoh atau peminpin di Indonesia. Sikap melawan sistem JokoWi ini bukan tidak berdampak, karir politiknya jelas terancam karena ia berdiri sebagai walikota atas dukungan parpol besar PDIP - partai yang menguasai Solo saat itu.
Tidak sedikit kisah perseteruan JokoWi dengan DPD yang sesama kader PDIP, begitu pula dengan gubernur JATENG Pak Bibit yang rekan satu partainya sendiri. Perseteruan JokoWi dan Pak Bibit pun sangat heboh dan meledak di Solo. Warga siap pasang badan melindungi pemimpin kotanya. Padahal Pak Bibit adalah seniornya Pak JokoWi di PDIP. Secara lugas, sikap JokoWi ini sudah menggambarkan sikap pemimpin yang tegas, berani, dan berintegritas. Walau ia berdiri atas dukungan partai, tapi tidak serta-merta musti turut apa kata partai.
Menariknya, cara JokoWi mendobrak sistem kolot pemerintah tadi tidak dengan jalur anti-sistem atau radikal, justru dengan masuknya JokoWi di PDIP adalah sebuah sikap main cantik, ia masuk sistem untuk mengubah sistem. Jelas ini sebuah tantangan yang sangat berat bagi seorang pemimpin dan politisi untuk melakukan perubahan dari dalam sistem. Kalau cuma mencoba mengubah sistem dari luar, saya rasa sudah banyak dan basi. Hasilnya? Ya.. tidak usah berharap banyak juga.
One Vote = Three Hopes?
Twips: Tapi integritas JokoWi kalah dengan “perintah” Ibu Mega!! Mana kredibilitas dan sikap melawannya??
Sederhana saja, sistem pemilihan pemerintahan di negeri ini adalah sistem kepartaian yang sangat kental suasana politisnya. Politik itu bukan science yang musti komitmen bahwa 1 adalah 1 dan 2 adalah 2. Politik adalah sikap dan keputusan dengan penyesuaian. Jangan kaget dan heran jika dalam politik kita sering melihat politikus yang plin-plan, berubah-ubah, atau sikap lobi-lobi pendekatan guna menelurkan sebuah kebijakan. Disitulah karakter, uniknya, seni, dan kotornya dunia politik. Namun dibalik semua itu, politikus atau manusianya lah yang patut kita jadikan pegangan. Politik kotor lahir dari politikus kotor, politik baik pun tentu lahir dari politkus baik. Jangan salahkan agama hanya karena ada ulama kotor yang oportunis dengan agamanya. Begitu pun dengan politik.
Saya hanya berfikir, alasan JokoWi ikut petuah pimpinannya itu karena ada sebuah misi dan agenda tertentu yang besar bagi JokoWi. Saya pun percaya bahwa misi dan agenda itu musti bagus untuk DKI atau jangan-jangan untuk Indonesia? Yang JokoWi butuhkan saat ini adalah tiket masuk menuju kompetisi pimpinan DKI. Sebuah kompetisi yang sangat bergengsi dan bisa menetukan tren demokrasi negeri ini. Tanggung jawab kita.. warga DKI adalah memberikan contoh bagaimana sebuah pilkada musti berjalan. Dukungan kita, satu vote, adalah tiket untuk JokoWi. One vote = three hopes, satu untuk kita sebagai warga DKI, satu untuk Jakarta, satu lagi untuk Indonesia.
Ini Jakarta Bung!
Jakarta bukan kota sembarangan, ini kota keras! Sadis!! Akan tetapi sejujurnya, tahun ini dengan enam kandidat cagub sungguh mengesankan, plus dua kandidat independen, Hendardji dan Faisal Basri. Lalu ada dua kandidat cagub dari daerah yaitu Alex Noerdin dan JokoWi, Ini sebuah terobosan keren. Sebuah tren baru dalam pilkada.
Tapi kan itu Solo? Kota kecil Tulz! Jakarta besar!!
Kecil atau besar itu cuma masalah scalable, kita orang Indonesia mustinya mampu mengubah cara pandang lama tersebut. Ini jebakan besar lho kawan-kawan.. bahwa untuk mengubah hal besar musti dari orang besar, untuk mengubah TNI musti dari TNI, ingin merombak PSSI musti dipimpin dari PSSI juga. Ini pemikiran picik gaya orba yang masih tersisa. Lepaskan teman! Sebesar apa sih Ibu Sri Mulyani bisa-bisanya jadi pemimpin bank dunia? kebesaran? kekecilan? Kuncinya adalah kapabilitas dan integritas. Kalau orang sudah dasarnya tidak punya kapabilitas dan integritas, gak akan ngaruh tanggung jawab besar atau kecil ya tetap saja kusut!
Oportunis dan Utopis
Banyak yang curiga bahwa JokoWi masuk pilcagub DKI atas banyak kepentingan. Ya iya jelas! Ini politik.. dan dukungan parpol, siapa yang akan mengambil keuntungan dan kepentingan atas menangnya JokoWi? ya jelas parpol yang mendukungnya duluan. Pertanyaan selanjutanya, apakah parpol pasti mendapatkan keuntungan dan kepentingannya tersebut? Belum tentu, tergantung apa JokoWi melihat hal itu cocok atau tidak. Bisakah ia seperti itu? Faktanya, dua periode di Solo kemarin ia bisa!
Lalu, bagaimana dengan cagub yang non dukungan parpol? Seperti Faisal Basri dan Hendardji? Apakah tanpa parpol di belakangnya akan lebih baik? Saya tidak tahu, saya hanya bisa khawatir. Kenapa? Kembali kepada konsep kepentingan tadi, cagub tanpa “kelembagaan” parpol jelas akan punya peluang disusupi banyak pihak oportunis. Sebagai parpol, mereka pasti akan melakukan filtering kepada siapa pun pihak yang hendak “merapat” dan mengambil keuntungan kepartaian. Tapi jika cagub tanpa partai, saya cuma khawatir lubang-lubang oportunis ini sangat terbuka lebar. Dukungan tinggal dukungan.. siapa pun bisa berubah, kelak cagub independan dapat kursi, tiba-tiba para pendukungnya minta jatah ini itu, alasannya cuma: “eh lu bisa naik disini gara-gara gw sama kelompok gw lho”. Apa berlebihan? Tidak! Sudah banyak contoh-contoh seperti itu terjadi.
Umpama saja ya, Herdardji atau Faisal Basri menang, mungkinkah ada pihak yang muncul - misalnya Forum Betawi Kemayoran yang minta “jatah” entah apa kepada Pak Faisal? lalu komunitas anu, tokoh anu, bapak ini, lembaga itu, dan seterusnya, yang dengan memaksa minta “jatah” cukup dengan alasan: “warga kami dukung bapak kemarin”.
Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyaknya pihak, kaum, atau kelompok oportunis di negeri ini. Fatalnya lagi, kelompok-kelompok oportunis ini bisa dengan mudah “ganti baju” saat juragannya jatuh dia akan pindah ke juragan barunya. Nah siapa yang bisa menjaga hal seperti itu? menurut saya sistem kepartaian politik.
Lantas kenapa dengan non-parpol? Saya melihat hal tersebut sebagai sikap utopis, sikap para analis, peneliti dan akademia. Sikap ideal yang belum tentu bahkan sangat sukar diterapkan dalam waktu cepat. Menuntut sebuah perubahan pada sistem politik yang non-parpol itu sebuah pekerjaan besar yang musti dilakukan secara bertahap dan halus. Dengan kata lain: evolutif. Jika ingin segera berubah dan memaksakan diri maka jadi revolutif. Faktanya tindakan revolutif ini jelas akan memakan banyak kerugian, rugi uang, rugi korban, rugi kerusakan, dan rugi pace.
Terus terang, saya cemas dan khawatir atas posisi para cagub independen dari sisi situ tadi. Maka komitmen untuk kandidat Pak Faisal Basri dan Hendardji sangat dibutuhkan, tapi saya yakin mereka bisa. Saya pun melihat semangat indie ini musti tetap maju atas nama sebuah perubahan yang evolutif. Sebuah gerakan pembelajaran yang faktual bahwa kandidat non-parpol pun punya kekuatan dan kesempatan yang sama, ini keren.
Gimana Dengan Golput?
Selama ini saya golput, saya sudah kadung kecewa. Ada banyak contoh tokoh-tokoh yang konon mengusung perubahan atas demokrasi negeri ini nyatanya mereka pun kandas dibuai nyamannya hidup di dalam sistem. Amien Rais? Tokoh reformasi yang ciut tak berdaya saat jadi MPR. Budiman Sujatmiko, tokoh pendobrak dan idola remaja saat itu karena PRD yang kini adem di dalam PDIP. Akbar Tanjung? Bahkan tokoh-tokoh pergerakan pendobrak reformasi kemarin pun demikian. Kemana mereka?
Kita tidak bisa dengan mudahnya marah, kecewa, dengan sikap parpol lalu dengan gampang pula mencari solusi dengan mengusung pemimpin non-partai? Masa lupa sih, partai kita saat ini ada 30-an karena hasil reformasi kemarin, dulu parpol hanya ada tiga. Gara-gara reformasi, kita punya 30 parpol. Lantas sekarang kita kecewa dan menyalahkan lahirnya partai-partai tersebut? Itu banci! pengkerdilan sebuah sikap kebebasan berkumpul, berkelompok, dan membuat partai. Yang salah hanya penyelenggara partai-partainya.
Kata Metallica: “Fight Fire With Fire“, atau Queen: “If You Can’t Beat Them Join Them” Rumus ini yang nampaknya cocok dengan figur JokoWi yang doyan musik metal. Mendapat tiket masuk dukungan dari partai dengan cara layak dan cantik. Lalu dengan sikap integritas dan kapabilitasnya, ia akan mengubah Jakarta dengan indah.
Kalau memang ada dari anda ingin golput? Ya silakan, tapi tolong tetap hadir di TPS dan tetap nyoblos.. coblos semua kandidat! Kalau perlu sampai sobek! Jangan dibiarkan kosong, karena fakta dan data membuktikan kertas suara yang blangko (tidak dicoblos) ternyata bisa menguntungkan kandidat cagub yang punya “pasukan di dalam TPS”, cukup dengan satu jari, mereka bisa mencoblos kertas kalian. Anda boleh saja antipati dan tidak mau ambil pusing. Percayalah sikap itu dijamin tidak akan membuat hidup anda di Jakarta jadi lebih baik.
Lantas apa jaminanya jika ikut nyoblos bisa jadi lebih baik? Memang belum tentu.. tapi paling tidak kita punya harapan. Jika tidak nyoblos, maka harapan itu sudah menguap sejak awal. Well ini sebetulnya hanya masalah semangat kita sebagai warga yang punya harapan, semangat ingin adanya perubahan, dan semangat menunjukkan kepada pemerintah bahwa kita sebagai warga bisa memberikan gebrakan! nyata dan total! Bagaimana? Karena JokoWi pernah melakukannya selama dua periode kemarin...
Bismillah! Mari kita vote untuk TIGA harapan besar: untuk kita sendiri, untuk Jakarta, dan untuk Indonesia.. Yuk Coblos no.3!
NB: Oh iya.. makasih untuk kak Pandji yang sangat menginspirasi saya untuk “melek politik” dan bikin tulisan ini. Sama seperti Pandji, saya bukan tim sukses JokoWi, bukan konsultan agensi politik, atau buzzer yang DIBAYAR untuk mendukung. Saya cuma warga DKI yang capek sama ulah pejabat yg maksa menerobos macet dgnvoorijder, marah sama ormas radikal yang sok punya kuasa karena ada backing aparat, muak sama omong kosong gubernur yang menjual kesukuan betawi dan agama islam. Jakarta itu kota besar, kota keragaman, dan penuh toleransi mustinya.. Semoga!
Interupsi!! Bagaimana dengan Prabowo dan Gerindera Tulz??! *** SUSULAN
Sejak saya tulis blog ini, banyak respon yang mempertanyakan posisi Prabowo, Gerindra, dan Hercules. Ternyata bagi banyak warga, keberadaan mereka sangat-sangat meresahkan dan terancam, segitunya besarnyakah Prabowo hingga bukan cuma warga yg cemas tapi para orang pintar dan pakar pun ketakutan akan keberadaan dan dukungannya? Lalu bagaimana saya melihat situasi ini?
Sederhana saja, kembali ke penjelasan “kepentingan politik” di atas. JokoWi ini masuk ajang pertandingan ini lewat koridor parta besar PDIP. Partai sebesar Demokrat, Golkar, atai PKB. Pendukungnya loyal dan kuat sekali. Saya tidak akan bahas PDIP-nya karena saya bukan pendukung PDIP, akan tetapi mari kita pikir logis.. Jika saja Prabowo, Gerindra, dan Hercules macem-macem, apa iya PDIP diam? PDIP jelas adalah filter dan guard buat JokoWi. Tidak akan mungkin orang-orang besar dan hebat di PDIP seperti Pramono Anung atau Efendie Simbolon - misalnya, rela meloloskannya “outsiders” begitu saja kan? PDIP bukan partai kemarin sore. Mereka sudah mengalami ombang-ambing dahsyat sejak masa ORBA. Lawan mereka bukan partai-partai sempalan yang baru dibuat kemarin sore, seperti Gerindra.
Saya melihat dukungan Prabowo, Gerindra, dan Hercules justru sebagai hal lain. Pertanyaan saya sederhana: Siapa sih yang jadi centeng Jakarta? Kenapa Foke begitu akrab dan berkuasa di lorong-lorong “hitam” Jakarta? Anda tahu mafia dan preman Jakarta kan? Dari kelas jalanan hingga pejabat-pejabat berdasi mereka punya kekuatan premanisme yang intimidatif. Siapa yang kira-kira bisa mengimbangi kekuatan itu? jawabannya satu: sesama preman. Nah, disini saya melihat fungsi Prabowo dan Gerindra. Mereka akan pasang badan untuk menghadapi para preman-preman ini dari kelas atas sampai kelas jalanan.
Dengan fakta itu, masa iya kita - sebagai pendukung JokoWi musti cemas? Jadi ada tiga hal penting yang musti kita yakini bahwa posisi JokoWi aman:
1. Aspek JokoWi-nya yang memang sudah bawaan dari sononya punya integritas, kapabilitas, dan mental pendobrak dan bukan tipe pemimpin yang manut sama aturan partai.
2. Aspek parpol sebagai kelembagaan yang akan terus mengawal dan menjaga kandidat yang diusungnya.
3. Satu lagi… aspek kita sebagai warga dan pendukung JokoWi. Jangan siwer...
Apakah kandidat yang didukung parpol itu artinya bukan didukung warga?
Semoga kita tidak sedang berhalusinasi atas keberadaan parpol dan warga yang mengusung suaranya lewat parpol. Jangan juga kita lengah bahwa lahirnya kandidat independen itu tidak semata-mata lahir untuk melawan sistem kepartaian.. bukan teman.. justru ia lahir untuk melengkapi sistem demokrasi negeri ini.
Penulis: Motulz
Sumber: Kompasiana