Ini Sejumlah Kejanggalan dalam Kasus Novel
[Hikmahanto Juwana]
Di tengah pengusutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mendapatkan ujian. Salah satu penyidiknya yang memimpin penanganan kasus tersebut, yakniKomisaris Novel Baswedan, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan berat oleh Kepolisian Daerah Bengkulu.
Kasus penganiayaan berat yang dikaitkan Polda Bengkulu dengan Novel ini terbilang kasus lama. Pada 2004, menurut kepolisian, Novel diduga melakukan penganiayaan dengan menembak tersangka kasus pencurian sarang burung walet. Saat itu, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu. Lamanya selang waktu antara peristiwa dan penyidikan kepolisian yang baru dilakukan saat ini menimbulkan kecurigaan.
Pada Jumat (5/10/2012) malam, anggota Polda Bengkulu dengan dibantu pasukan Polda Metro Jayamenggeruduk Gedung KPK, di Kuningan, Jakarta Selatan. Tujuannya untuk menangkap Novel. Mereka mengaku membawa surat penangkapan dan surat penggeledahan. Namun, menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, surat penggeledahan yang dibawa pasukan Polda Bengkulu itu belum disertai izin pengadilan, bahkan belum ada nomor suratnya.
Janggal
Juru Bicara KPK Johan Budi, Minggu (7/10/2012) malam, mengungkap kejanggalan lain terkait penetapan Novel sebagai tersangka oleh Polda Bengkulu. Menurut Johan, tim investigasi KPKmenemukan bahwa laporan masyarakat terhadap Novel baru dibuat Polda pada 1 Oktober 2012 atau empat hari sebelum Polda Bengkulu berupaya menangkap Novel. Surat laporan tersebut bernomor 1285/11/2012/SPKT.
Seperti diketahui, laporan inilah yang menjadi dasar kepolisian menyidik kasus dugaan penganiayaanyang dituduhkan ke Novel tersebut. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto sebelumnya mengatakan bahwa kasus delapan tahun yang menimpa Novel itu diusut karena ada laporan dari tersangka pencurian sarang burung walet yang menjadi korban.
"Ada laporan keberatan dari masyarakat. Kapan saja bisa kami proses sepanjang belum kedaluwarsa," katanya, beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan hasil investigasi KPK, menurut Dedy, laporan masyarakat tersebut baru masuk pada Agustus lalu. Johan juga mengungkapkan kejanggalan lain yang ditemukan tim investigasi KPK. Menurutnya, hingga kini belum ada uji balistik terhadap peluru yang dikaitkan dengan kasus dugaan penganiayaan oleh Novel tersebut. Selain itu, menurutnya, belum ada pemeriksaan menyeluruh terhadap saksi-saksi.
"Perlu juga disampaikan bahwa sebelum hari Jumat itu, belum satu pun surat panggilan yang dialamatkan kepada yang bersangkutan (Novel) untuk diperiksa," katanya.
Korban bantah melapor
Secara terpisah, pihak Iwan Siregar yang diduga menjadi korban penembakan itu membantah jika dirinya disebut membuat laporan polisi atas perbuatan Novel delapan tahun lalu. Pengacara korban, Yuliswan, mengatakan kalau yang dibuat pengacara atas nama korban ialah surat permohonan keadilan.
"Saya hanya membuat surat permohonan keadilan kepada Kapolri terkait aparat yang sudah menembak klien saya delapan tahun lalu," kata Yuliswan.
Surat yang dimaksud Yuliswan dibuat tanggal 21 September 2012. Surat bernomor 079/SP/A-YDR/09/2012 tersebut ditujukan kepada Kapolri. Surat sengaja ditujukan kepada Kapolri karena berdasarkan pengalaman selama ini, surat pengaduan kepada polisi, baik di tingkat polda maupun polres, jarang ditanggapi.
Yuliswan juga menyampaikan, surat permohonan keadilan dibuat saat ini, setelah delapan tahun peristiwa itu berlalu, karena salah seorang korban, Iwan Siregar, masih merasakan sakit di kakinya akibat ditembak polisi.
"Kami ingin ada keadilan dan perhatian dari polisi. Kaki klien kami yang masih sakit tolong diobati. Terima kasih karena sekarang kaki Iwan sudah dioperasi. Sekarang ia masih dalam proses penyembuhan," katanya.
Yuliswan menambahkan, seandainya ada pelanggaran hukum yang dilakukan polisi ketika menangkap kliennya, ia menyerahkan sepenuhnya kepada polisi.
"Sudah dioperasi pun klien saya sudah berterima kasih. Semoga kakinya tidak sakit lagi. Kalau mau diusut siapa yang menembak klien saya, kami senang saja karena klien saya tidak tahu persis siapa yang menembaknya," katanya.
Novel didatangi utusan Kapolri
Beberapa hari lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, Novel pernah ditemui utusan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. Tepatnya, sehari sebelum insiden penggerudukan Gedung KPK oleh Polda Bengkulu pada 5 Oktober 2012.
Utusan Kapolri berinisial AA dan AD itu, menurutnya, meminta Novel menemui Kepala Satuan Reserse Kriminal Polri Yasin Fanani.
"Tujuan pertemuan adalah untuk membantu Novel melakukan konfirmasi atas teror dan kriminalisasi yang didapat Novel kepada Kapolri sebagai orang tua sekaligus pembahasan alih status 28 penyidik di KPK," kata Bambang.
Saat itu, Novel menjawab bersedia menghadap sepanjang mendapatkan izin dari pimpinan KPK. Namun, pimpinan KPK yang ada hari itu, yakni Busyro Muqoddas, tidak mengizinkan Novel menemui Yasin.
Kapolri tidak tahu?
Terkait kasus Novel ini, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengaku tidak tahu adanya upaya penangkapan terhadap Novel oleh anggota Polda Bengkulu yang menggeruduk Gedung KPK pada Jumat malam itu. Atas instruksi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kapolri pun memerintahkan anggota Polda Bengkulu yang dibantu Polda Metro Jaya itu meninggalkan Gedung KPK.
Informasi yang diterima Kompas.com menyebutkan, sehari sebelum pengepungan di kantor KPK itu, Kapolri melakukan pertemuan dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Sutarman dan Kadiv Propam Polri Irjen Budi Gunawan. Pertemuan tersebut diduga membahas rencana penangkapan Novel. Penangkapan sengaja dilakukan di Gedung KPK untuk memberikan pukulan kepada lembaga antikorupsi itu.
Secara terpisah, Guru Besar FH UI Hikmahanto Juwana juga menilai, Polri harus menjawab sejumlah pertanyaan atas kasus Novel. Menurutnya, jika dirunut, muncul sejumlah kecurigaan. Menurut Hikmahanto, Polda Bengkulu telah menyampaikan kepada publik foto peluru yang mengenai korban. Akan tetapi, tidak ada foto yang memperlihatkan Komisaris Novel Baswedan melakukan penembakan.
"Foto atas korban yang terkena peluru yang disampaikan oleh Polda tidak menjawab dan menjadi bukti bahwa Kompol Novel yang melakukan penembakan," ujarnya.
"Saat ini Polri belum menjawab secara tuntas sejumlah pertanyaan masyarakat. Semisal, mengapa waktu proses hukum atas Kompol Novel baru dilakukan sekarang, delapan tahun setelah kejadian, dan bertepatan dengan proses hukum Jenderal DS (Djoko Susilo)," kata Hikmahanto.
Selain itu, menurutnya, Polri juga harus menjawab mengapa merekomendasikan Novel sebagai penyidik KPK jika mengetahui yang bersangkutan terlibat tindak kriminal. Bahkan, Novel telah beberapa kali mengalami kenaikan pangkat.
"Semua pertanyaan ini belum terjawab dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang di Polri. Bahkan, sejumlah jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru dengan sejumlah kecurigaan," ujarnya.
Benarkah ada skenario tertentu di balik penetapan Novel sebagai tersangka dan upaya penangkapannya?
Sumber: Kompas
Editor: Gurun Ismalia