Wanita sebagai Madrasatul Ula

Kamis, Maret 28, 2013 , 0 Comments



Dia datang lagi...

Salah satu teman lama saya di pengajian.
Seorang wanita tinggi-besar, berusia 30-an,  dengan wajah cukup manis.
Tapi yang paling saya ingat adalah kecerdasannya, dan kepeduliannya pada nasib sesama wanita dari kalangan miskin.

Dia : “Masih ingat saya?” katanya seperti biasa bila ia datang.
Saya : “Saya tak pernah melupakan orang seperti kamu.”
Dia : “Terimakasih…”

Saya : “Ada apa? Kamu tidak akan menemui saya bila tak ada masalah;  walau kamu juga tahu bahwa saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa…”
Dia : “Saya juga tidak tahu kenapa saya harus menemui Bapak. Yang jelas, saya datang seperti biasa, membawa pertanyaan!”
Saya : “Oh, ya? Sekarang tentang apa?”

Dia : “Kira-kira kita harus melakukan apa agar perempuan Indonesia dapat memberikan kontribusi yang baik buat bangsa ini?”
Saya : "Yang kamu maksud “kita” itu sebenarnya kamu sendiri kan? Setidaknya, kamu yang mau jadi pelopornya kan?"
Dia : "Saya akan ajak teman-teman, dan siapa pun yang mau terlibat."

Saya : "Bukankah sudah banyak pihak, negara maupun swasta, yang melakukan berbagai usaha untuk memajukan wanita Indonesia?"
Dia : "Iya sih. Tapi… saya juga merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu…".
Saya : "Bagus itu! Dan, menurut saya, ada yang menarik dari pertanyaan kamu, yaitu adanya keinginan untuk membuat wanita Indonesia berperan aktif  memberikan kontribusi kepada bangsa, bukan pasif dengan, misalnya, menerima saja hasil pembangunan yang dikerjakan orang lain. Saya kira, itu mewakili kecenderungan kamu selama ini, bukan?"

Dia : "Begitulah, kira-kira…".
Saya : "Dan kamu pikir saya bisa menjawab pertanyaan berat itu?"
Dia : "Setidaknya, … bantulah saya berpikir, Pak! Maksud saya, bantulah saya untuk menjebol kebuntuan ini."
Saya : "Baik, baik, baik… Setidaknya kita bisa ngobrol ya?"
Dia : "Iya, Pak."

Saya : "Kita mulai dari tinjauan umum ya?"
Dia : "Dari sudut pandang deduktif?"
Saya : "Iya!"
Dia : "Silakan mulai, Pak."

Saya : "Secara fisik, wanita diciptakan berbeda dari pria … tentu karena ada tujuan tertentu dari Sang Maha Pencipta."

Dia : "Bahwa wanita harus jadi ibu dan bekerja di rumah? Dan pria harus jadi bapak dan bekerja di luar rumah?"

Saya : "Ya! Tapi kamu harus mengoreksi pemahamanmu tentang istilah rumah!"
Dia : "Nah, ini yang saya cari. Bagaimana Bapak memahami istilah rumah?"

Saya : "Dalam pengertian hakiki (denotatif) yang sempit, rumah adalah tempat tinggal kita. Tempat kita berteduh, tidur, makan, mandi, buang air, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya. Tapi dalam arti majasi (konotatif; kiasan) yang lebih luas, rumah juga bisa berarti negara!

Dia : "Negara?"
Saya : "Ya. Bukankah negara itu pada hakikatnya adalah sebuah rumah yang besar?"
Dia : Hm, ya, ya!

Saya : Dan, tahukan kamu apa kata Rasulullah tentang negara dan wanita?
Dia : "Tidak tahu."

Saya : "Beliau mengatakan bahwa “wanita adalah tiang negara” (Al-mar’atu ‘imadul-bilad).
Dia : Oh! Terus, maksudnya apa? "Itu… kedengarannya masih abstrak buat saya."

Saya : Ya! Saya memang sedang mengajak kamu untuk berpikir abstrak!
Dia : Maksud Bapak?

Saya : Maksud saya, mari kita pahami istilah rumah, istilah negara… secara abstrak. Mari kita lepaskan bayangan tentang rumah, dan juga negara, yang berupa bangunan-bangunan fisik, yang dengan kata lain berarti infra struktur. Mari kita memahaminya secara kebalikan.
Dia : Belum jelas…

Saya : "Rumah, negara, … yang semula kita bayangkan sebagai infra struktur, sebagai bangunan-bangunan fisik, mari kita pahami sebagai supra struktur, sebagai bangunan-bangunan non-fisik!"
Dia : Rumah, atau negara … bila dipahami sebagai bangunan non-fisik, berarti… apa? Saya tidak tahu!

Saya : Oke! Sekarang, saya bantu ya… Manusia adalah makhluk yang terdiri dari badan dan jiwa. Badan manusia, manusia bukan?
Dia : Emh, ya… iya lah, manusia!

Saya : Jiwa manusia, manusia bukan?
Dia : Ya, ya tentu saja, manusia.

Saya : "Apa bedanya antara badan manusia dengan jiwa manusia?"
Dia : Apa ya? Eh, begini barangkali! Badan manusia itu, karena bersifat fisik, maka dia kelihatan. Sedangkan jiwa manusia, karena non-fisik, dia tidak kelihatan.

Saya : Nah! Sebuah permulaan yang baik. Sekarang kaitkan dengan rumah sebagai sebuah bangunan fisik, dengan rumah sebelum menjadi bangunan fisik.
Dia : Rumah… sebelum menjadi bangunan fisik? Berarti itu… konsep tentang rumah doong!

Saya : Ya! Konsep tentang rumah. Konsep tentang rumah itu, rumah bukan?
Dia : "Kalau analoginya manusia tadi… berarti yaa rumah. Rumah non-fisik.

Saya : "Terus, bila dikaitkan dengan negara?"

Dia : "Negara… Negara non-fisik ya? Berarti konsep tentang negara ya?"

Dia : "Iya. Konsep tentang negara itu, negara bukan?"
Dia : "Yaa … negara, tapi non-fisik… Wah, saya jadi bingung nih."

Saya : "Kenapa bingung! Saya hanya ingin mengajak kamu memahami betul bahwa segala bangunan fisik itu, apakah berupa rumah, bahkan berupa negara pun, semua bermula dari sebuah konsep."
Dia : Ooo, begitu ya? Terus apa hubungannya dengan kata Rasulullah tadi… bahwa “wanita adalah tiang negara”?

Saya : Nah! Kalau dihubungkan dengan pernyataan itu… Menurut kamu, apakah yang dimaksud dengan “negara” oleh Rasulullah itu adalah negara dalam arti bangunan fisik?
Dia : Tentu harus dijelaskan dulu… Negara dalam arti bangunan fisik itu apa?

Saya : "Menurut kamu, apa?"
Dia : "Tanah, air, sebuah wilayah geografis, yang di atasnya didirikan bagagai sarana fisik, infra struktur, berupa gedung-gedung, jalan, jembatan, dan lain-lain."

Saya : "Nah! Sekarang, coba kamu sebutkan, dari semua bentuk infra struktur itu, bangunan apa yang disebut “tiang negara”?"
Dia : Apa ya? Istana negara kah? Gedung DPR kah? Gedung kehakiman? Gedung kejaksaan?

Saya : Hahaha! Kalau begitu, di mana letak “wanita sebagai tiang” negara?
Dia : "Wadduh, di mana ya?"

Saya : "Yang pasti, dia bukan di wilayah bangunan fisik itu!"
Dia : Jadi?

Saya : "Posisi wanita sebagai tiang negara letaknya di dalam supra struktur! Di dalam bangunan non-fisik!"
Dia : Oh! Jelasnya?

Saya : "Periksa, cermati secermat-cermatnya konsep tentang negara! Dan, khususnya dalam obrolan kita sekarang, temukan di mana posisi wanita sebagai “tiang negara”!"
Dia : "Wadduh, di mana ya? Saya bingung…".

Saya : "Pikirkan apa itu konsep tentang negara!"
Dia : "Negara adalah sarana untuk membuat kita bisa hidup bersama, dalam keteraturan, kesejahteraan, kedamaian, kerukunan, keamanan…".

Saya : "Nah! Di mana posisi wanita sebagai tiang negara? Apakah di dalam keteraturan, kesejahteraan, kedamaian, kerukunan, atau keamanan?"
Dia : Di mana ya? Apakah di …di…dalam semua itu?

Saya : Ya! Di dalam semua itu? Tapi, persisnya di mana?
Dia : "Wadduh, Bapak! Jangan bikin saya bingung terus doong!"

Saya : "Heuh, dasar perempuan! Kalau diajak berpikir bingung melulu!"
Dia : "Kok Bapak jadi ngomong begitu!"

Saya : "Makanya bebaskan dirimu dari cap bahwa wanita malas berpikir!"
Dia : "Saya tidak malas berpikir. Makanya saya datang menemui Bapak."

Saya : "Kamu benar." Saya tahu kamu cerdas dan tidak malas berpikir. Makanya, sekarang coba pikirkan di mana letak wanita sebagai tidang negara dalam konsep tentang negara.
Dia : "Sudah berpikir, tapi… buntu!"

Saya : "Coba kamu ingat hadis yang mengatakan bahwa “sorga tergantung pada kemajuan kaum ibu”!
Dia : "Memang ada hadis yang begitu, Pak? Seingat saya hadisnya mengatakan bahwa “sorga di bawah telapak kaki ibu”.

Saya : Bunyi hadisnya: Al-jannatu tahta aqdamil-ummahat. Al-jannatu (al-jannah) biasa diartikan sebagai sorga di akhirat sana. Aqdamil-ummahat selalu diartikan telapak kaki ibu. Sekarang, coba kamu pikirkan arti yang lain!
Dia : "Arti yang lain? Saya… enggak tahu, Pak!"

Saya : "Pikirkan apa yang akan terjadi bila al-jannah kamu artikan sebagai negara, dan bila aqdamil-ummahat kamu artikan kemajuan kaum ibu!"
Dia : "Memangnya bisa diartikan begitu, Pak?"

Saya : "Bisa! Kalau ada yang protes, biar mereka tanya kepada saya!"
Dia : "Jadi, negara… Atau tepatnya kemajuan negara tergantung pada kemajuan kaum ibu. Begitu?"

Saya : "Ya. Sekarang, coba kamu hubungkan dengan hadis terdahulu, bahwa wanita adalah tiang negara."
Dia : "Jadi, bila kaum wanita maju, maka mereka bisa jadi tiang negara? Begitu kah, Pak?"

Saya : "Ya. Tapi di mana posisi wanita sebagai tiang negara itu?"
Dia : "Yaa, saya kira… bisa di mana-mana doong!"

Saya : "Tidak! Dia harus ada di posisi yang paling menentukan!"
Dia : "Posisi yang paling menentukan? Di mana tuh?"

Saya : "Di bidang pendidikan!"
Dia : "Wah, dasarnya apa, Pak?"

Saya : "Sebuah hadis yang menyebut wanita sebagai madrasatul-ula!"
Dia : "Arti hadis itu?"

Saya : "Wanita, bila diumpamakan lembaga pendidikan (sekolah), maka dia adalah lembaga pendidikan yang pertama, yang dari dalamnya keluar generasi-generasi yang akan memajukan negara, dan membuat negara menjadi bagaikan sorga!"
Dia : "Ooo… Jadi, wanita harus terjun ke bidang pendidikan ya, Pak?"

Saya : Al-Qurãn mengumpamakan wanita sebagai lahan pertanian.(
Al-Baqarah ayat 223).Tentu bukan (hanya) fisiknya yang diumpamakan demikian. Tentu perumpamaan itu, secara khusus, mengacu kepada fungsi wanita sebagai ‘produsen’ dari generasi yang berkualitas unggul.

Dia : "Jadi, wanita hanya boleh terjun di bidang pendidikan?"

Saya : "Apakah, menurut kamu, pendidikan itu bukan bidang yang mulia, kurang bergengsi, kurang menantang, kurang merangsang adrenalin?"

Dia : "Bukan begitu, tapi apakah wanita tidak boleh terjun ke bidang-bidang lain?"

Saya : "Bila bidang pendidikan sudah beres, mengapa tidak? Tapi, bukankah dalam kehidupan kita sekarang ini, khususnya di negara kita, bidang pendidikan adalah bidang yang paling tidak beres?"

Dia : "Jadi…".

Saya : "Terutama, kalau kita bicara pendidikan, yang paling kurang digarap itu adalah pendidikan moral. Itulah yang menjadi kekurangan terbesar bangsa kita!"

Dia : "Jadi…".

Saya : "Saya tak ragu mengatakan bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang bobrok secara moral, sehingga kita menjadi bangsa yang korup, pengabai falsafah dan undang-undang, pelanggar peraturan agama, dan…".

Dia : "Jadi…"

Saya : "Terjun ke bidang pendidikan! Pimpin kaum wanita untuk terjun ke bidang pendidikan! Itu yang paling mendesak yang harus kamu lakukan!"

Dia : "Tapi, Pak, di mana-mana kaum wanita kita terjebak dalam kemiskinan…!"

Saya : "Kamu benar! Kalau begitu, mulailah dengan menciptakan lembaga-lembaga pendidikan yang akan membuat mereka mampu bangkit dari kemiskinan. Buka wawasan mereka. Beri mereka latihan-latihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan…".

Dia : "Dan… apa lagi, Pak?"

Saya : "Cukup sekian dulu! Nanti kita bisa ngobrol lagi."

Dia : "Tapi… sepertinya Bapak ingin mengatakan sesuatu. Jangan bikin saya penasaran, Pak!"

Saya : "Kamu sudah lama lari dari pengajian. Itu sama saja artinya dengan mengabaikan Al-Quran. Kalau benar begitu, apa pun yang kamu lakukan, semua akan jadi percuma!"

Dia : "Saya masih belajar, Pak, walau sendirian."

Saya : "Belajarnya bagus. Tapi, sendiriannya itu… Kalau kamu ingat kata-kata Rasulullah… Ibarat kambing yang  memisahkan diri dari kumpulannya… Dia akan mudah diterkam serigala!"


Penulis : Muhammad Al Amin, Relawan di LP2AI (Lembaga Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Indonesia)

DaVina News

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.