|
zakat fitra. ©2012 Merdeka.com/imam buhori |
Sejak Orde Reformasi 1998, lembaga-lembaga penghimpun sekaligus pengelola dana sosial dan zakat kian berkembang. Untuk lembaga amil zakat tidak hanya didominasi oleh lembaga amil zakat yang didirikan pemerintah. Tidak sedikit lembaga amil zakat didirikan oleh yayasan.
Memang ada sisi baik dan buruknya akan banyaknya lembaga amil zakat. Dana zakat yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai Rp 217,3 triliun. Pendapatan dari zakat pada tahun lalu baru mencapai Rp 1,7 triliun. Jumlah yang sangat jauh dari potensi yang dimiliki masyarakat muslim Indonesia.
Apa saja penyebabnya, menurut Agustianto, akademisi yang juga konsultan ekonomi syariah, salah satunya adalah kurangnya koordinasi sejumlah lembaga amil zakat dalam menyusun agenda bersama dalam menggenjot pendapatan dari zakat.
Berikut penuturan Agustianto, saat ditemui Islahuddin, wartawan merdeka.com di Gedung Syariah Mandiri, Jalan Muhammad Husni Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (25/10) sore.
Bagaimana pengelolaan dana yang bersumber dari sedekah, kurban, zakat di Indonesia?
Kalau di Indonesia sekarang ini, lembaga-lembaga pengelola zakat ini namanya sudah bukan lagi lembaga sosial murni. Lembaga-lembaga itu menyebutnya sebagai sosial entrepreneur. Jadi mereka berlomba untuk meyakinkan dan membangun kepercayaan dari masyarakat. Karena itu mereka harus bisa menampilkan manajemen-manajemen yang transparan dan profesional.
Saya melihat pengelolaan dana sosial dari mulai sedekah, kurban, hingga zakat itu umumnya dikelola dengan profesional dan amanah. Selain itu juga jujur dalam pendistribusiannya kepada masyarakat yang berhak menerima. Jadi hasilnya akan berbeda jika hanya dikelola oleh monopoli tunggal. Misalnya, kalau hanya pemerintah yang mengelolanya, jadi tidak ada persaingan.
Bukankah itu akan lebih baik jika hanya dikelola oleh satu lembaga?
Lebih bagus tersebar dalam banyak lembaga, tapi harus tetap dikontrol dan diaudit. Sehingga terjadi persaingan, saling berlomba dalam mengejar kebaikan, antara satu lembaga yang satu dengan yang lain.
Apakah Anda melihat koordinasi dari lembaga-lembaga zakat, sedekah, hingga wakaf?
Sebenarnya ada semacam koordinasi, tapi perlu dioptimalkan. Langkah nyatanya, forum zakat harus sesering mungkin melakukan pertemuan antar mereka dan saling berbagi potensi-potensi zakat dan penyalurannya. Misalnya Rumah Zakat dan lembaga lainnya memberitahukan perolehan zakatnya berapa dan penyaluran ke mana.
Jadi harus ada laporan ke mana sasaran, pengucuran dana sedekah, korban, zakat, dan segala macamnya itu. Tidak terjadi tumpang tindih.
Berarti selama ini tidak ada transparansi dalam pengelolaannya?
Transparansi pengelolaan dana itu saya lihat baik di Baznas atau sudah ada dalam tiap lembaga itu. Kalau tidak transparan, orang tidak akan percaya, masyarakat harus tahu.
Itu sebabnya, biaya yang besar bagi lembaga zakat ini yang tahu pengelolaannya juga memperhitungkan biasa publikasi ke media. Terutama untuk sosialisasi untuk menjelaskan ke masyarakat dengan transparan, dari mana sumber dananya dan ke mana alokasinya. Saya sering mendapatkan semacam, buklet atau buku-buku yang menjelaskan transparansi dana lembaga-lembaga penerima zakat. Mulai dari Rumah Zakat, Baitulmaal Muamalat, PKPU, dan yang lainnya. Mungkin karena dana publikasi itu tidak banyak, maka banyak informasi yang tidak sampai kepada masyarakat luas di luar pengelola zakat.
Seperti apa Anda melihat lembaga zakat kita saat ini, terutama dalam sistem pengelolaan dana?
Saya kekurangan informasi dalam hal itu, tapi saya yakin bagaimana pun Forum Zakat sebagai sebuah forum lembaga zakat, tentu sudah melakukan itu. Kalau itu tidak dilakukan orang tidak akan percaya lagi terhadap lembaga zakat.
Lembaga amil zakat itu sensitif, bahkan lebih sensitif dari lembaga perbankan. Jadi perlu kita tumbuhkan lembaga zakat yang terkoordinir dan memenuhi syarat. Memenuhi syarat, berarti sudah punya data penerima zakat (mustahiq), data lokasi kantong-kantong kemiskinan, kemudian memiliki badan hukum, harus memiliki personil-personil yang terlatih dalam zakat. Kemudian nanti perlu juga ada semacam standar lembaga-lembaga mana saja yang bisa mengelola zakat. Ke depan harus ada pelatihan-pelatihan zakat lebih lanjut.
Itu harapan atau memang sudah dilakukan?
Setahu saya sudah dilakukan lembaga-lembaga zakat ini. Termasuk badan amil zakat di daerah-daerah.
Apa maksud Anda, lembaga penerima infak dan zakat ini jauh lebih sensitif dari Bank?
Kalau kepercayaan itu hilang dari masyarakat, maka orang tidak mau lagi berzakat melalui lembaga amil zakat. Maka dia harus betul-betul dipercaya oleh masyarakat, karena sedikit kepercayaan itu, akan hilang atau tergores. Maka orang akan enggan untuk berzakat melalui lembaga amil zakat. Dia harus bisa menjelaskan kepada masyarakat dengan transparan, jujur, tentang pemasukan dan distribusi dana kemana sasaran dana itu digunakan.
Selama ini apakah ada aturan yang ketat pada lembaga zakat?
Lembaga amil zakat yang diakui pemerintah itu sangat sedikit jumlahnya. Tidak boleh sebuah lembaga amil zakat itu amatiran. Tidak boleh liar, harus memiliki badan hukum. Ketetapan hukumnya bisa saja sebagai lembaga sosial atau sebagai yayasan, yang penting ada badan hukumnya.
Lembaga amil zakat yang ada di tingkat provinsi misalnya, harus disahkan oleh gubernur melalui Kanwil Kementerian Agama. Dari situ peran pemerintah bisa sebagai wasit dan pengawas.
Seperti apa lembaga zakat yang ideal itu?
Lembaga yang melakukan pengumpulan dan pengelolaan hingga pendistribusian dana zakat secara profesional. Kemudian harus terpercaya, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan setelah adanya audit dari akuntan publik. Kenapa perlu akuntan publik, karena lembaga zakat mengelola dana masyarakat.
Di Indonesia, kalau dana zakatnya sudah di atas 10 miliar itu sudah bisa dibilang cukup bagus dan profesional, seperti Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, PKPU, Baitulmaal Muamalat, dan beberapa lembaga zakat perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Biodata
Agustianto
Tempat, tanggal, lahir: Medan , 17 Agustus 1967
Pendidikan:
Madrasah Ibtidaiyah Alwashliyah, Salafiyah (1979)
Madrasah Tsanawiyah Alwahliyah, Salafiyah (1984)
Madrasah Aliyah Salafiyah (YMPI)
S1 Falkultas Syariah IAIN-Sumatera Utara (1992)
S2 Konsentrasi Syariah IAIN-SU (1998)
S3 Ekonomi Islam UIN Jakarta (2004)
Jabatan:
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Ketua Departemen I Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat
Pekerjaan:
Dosen Program Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia
Konsultan Fikih Perbankan dan Keuangan Syariah
Kegiatan Akademis:
Dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance (IEF) Universitas Trisakti
Dosen Pascasarjana Manajemen Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina
Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam UI Az-Zahra
Dosen Pascasarjana IAIN Syech Nurjati Cirebon
Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Dosen Ekonomi Syariah Universitas Prof. HAMKA Jakarta
Editor: Fatimah Azizah
|
agustianto. ©2012 Merdeka.com |
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin pada Agustus lalu, memperkirakan potensi zakat nasional akan menembus angka Rp 217,3 triliun per tahun. Sebelumnya pada 2010, dia memperkirakan potensi zakat nasional mencapai Rp 100 triliun.
Perkiraan peningkatan potensi itu terus naik. Namun pendapatan dari zakat yang dikumpulkan pada 2010, kurang dari Rp 1,5 triliun. Baru pada 2011 lalu, pendapatan zakat mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 1,7 triliun.
Bila menilik angka potensi dan pendapatan zakat tiap tahun di atas, pendapatan dari zakat masih memiliki banyak kendala. Padahal itu baru dari zakat, belum lagi perhitungan pendapatan dari infak, sedekah, hingga wakaf.
Berikut penuturan Agustianto, akademisi yang juga konsultan ekonomi syariah, saat ditemui Islahuddin, wartawan merdeka.com di Gedung Syariah Mandiri, Jalan Muhammad Husni Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (25/10) sore.
Berapa nominal zakat, infak, sedekah, dan wakaf jika dikalkulasi secara keseluruhan?
Potensi zakat dua tahun lalu sekitar Rp 100 triliun. Itu adalah potensi minimal, itu diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita, saat itu PDB-nya Rp 4000 triliun dan zakatnya 2,5 persen, maka sudah pasti potensi zakat kita 100 triliun. Tapi kalau PDB kita sekarang sudah Rp 6000 triliun maka potensi zakat sekarang bisa mencapai 150 triliun, 2,5 persen dari Rp 6000 triliun.
Ini kalau kita bercermin pada negara muslim di Timur Tengah maupun di Afrika. Mereka zakatnya minimal 2,5 persen dari PDB-nya. Jadi kalau itu benar-benar dilakukan, potensi zakat kita sangat luar biasa.
Apakah sistem itu sudah dilakukan di Indonesia?
Belum. Secara persentase kita masih jauh. Pendapatan dari zakat kita baru pada angka dua triliun. Nilai Rp 100 triliun hanya potensi saja. Tapi nilai zakat yang bisa didapatkan tidak sampai 1,5 triliun.
Nilai-nilai potensi itu sudah masuk dengan pendapatan dari sedekah, kurban, atau yang lainnya?
Tidak, itu hanya perhitungan potensi zakat saja. Tapi kita bisa juga menghitung secara kasar. Seperti zakat fitrah, kadang-kadang tidak bisa dihitung dengan akurat, tidak bisa setiap masjid memperlakukan jamaahnya seperti nasabah bank.
Sama juga dengan setiap untuk lebaran besok (Idul Adha) dengan penyembelihan hewan kurban. Saat ini, jumlah masjid di Indonesia sudah mencapai 800.000 masjid. Itu belum kita menghitung musala. Nah, kalau satu masjid ada satu ekor hewan kurban, berarti ada 800.000 ekor hewan kurban.
Sekarang itu, hewan kurban itu tidak hanya disembelih di masjid-masjid, tapi juga digelar oleh lembaga-lembaga sosial. Lembaga sedekah atau zakat, seperti Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sodaqah (Laziz), Rumah Zakat, dan yang lainnya.
Jika dinominalkan berapa nilainya dalam hitungan rupiah?
Itu harus kalikan semuanya. Kita tidak bisa bilang lagi jumlahnya 800.000. Saya menduga, ada sekitar satu juta ekor kurban untuk Hari Raya Kurban. Satu juta orang yang berkurban dikalikan dengan Rp 1,5 juta. Jadi kalau satu juta kurban kali Rp 1,5 juta, ini sudah mencapai sekitar Rp 1,5 triliun untuk kurban saja. Itu dengan catatan orang yang berkurban satu lembu untuk tujuh orang.
Biodata
Agustianto
Tempat, tanggal, lahir: Medan , 17 Agustus 1967
Pendidikan:
Madrasah Ibtidaiyah Alwashliyah, Salafiyah (1979)
Madrasah Tsanawiyah Alwahliyah, Salafiyah (1984)
Madrasah Aliyah Salafiyah (YMPI)
S1 Fakultas Syariah IAIN-Sumatera Utara (1992)
S2 Konsentrasi Syariah IAIN-SU (1998)
S3 Ekonomi Islam UIN Jakarta (2004)
Jabatan:
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Ketua Departemen I Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat
Pekerjaan:
Dosen Program Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia
Konsultan Fikih Perbankan dan Keuangan Syariah
Kegiatan Akademis:
Dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance (IEF) Universitas Trisakti
Dosen Pascasarjana Manajemen Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina
Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam UI Az-Zahra
Dosen Pascasarjana IAIN Syech Nurjati Cirebon
Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Dosen Ekonomi Syariah Universitas Prof. HAMKA Jakarta
Editor: Fatimah Azizah
|
zakat fitra. ©2012 Merdeka.com/imam buhori |
Dua pekan lalu, Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar mengatakan, zakat bukanlah urusan individu dengan Tuhan semata, di dalamnya juga terdapat hak masyarakat dan negara. Banyak lembaga zakat dan sistem manajerial yang berbeda bisa saja membuat, Nasaruddin Umar berkomentar seperti itu.
Namun bagi Agustianto, pengamat ekonomi syariah, sikap itu sudah menujukkan keinginan pemerintah untuk memonopoli sistem penerimaan dan distribusi zakat. Dia tidak percaya dengan birokrasi pemerintah saat ini yang kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Agus juga tidak bisa memberikan jaminan bila zakat dikelola oleh lembaga amil zakat swasta.
Berikut nukilan wawancaranya, saat ditemui Islahuddin, wartawan merdeka.com, di Gedung Syariah Mandiri, Jakarta Pusat pada Kamis (25/10) sore:
Apakah Pemerintah berhak untuk memusatkan sistem penerimaan dan pengelolaan zakat?
Untuk kondisi pemerintah saat ini harus membutuhkan personel-personel yang amanah dan profesional. Jangan sampai personel-personel dari pemerintah tidak profesional daripada personel lembaga amil zakat yang ada di luar Kementerian Agama.
Secara fakta, pemerintah belum memiliki personel yang profesional mengelola zakat secara tunggal, maka pemerintah sebagai wasit. Lembaga-lembaga zakat yang berada di bawah pemerintah tetap berjalan, tapi jangan sampai monopoli sumber pemasukan zakat hanya kepada dia. Kalau untuk kondisi sekarang pemerintah sebaiknya hanya menerima laporan dari masing-masing lembaga zakat.
Apakah itu bentuk keraguan Anda akan kemampuan pemerintah dalam mengelola zakat secara tunggal?
Iya, saya ragu pemerintah bisa melakukan itu.
Apa ini terkait dengan opini masyarakat dengan birokrasi yang korup?
Bisa saja masyarakat kurang percaya kepada personel-personel pengelola zakat yang ada di pemerintah.
Apa anda bisa menjamin pengelolaan dana zakat ini akan lebih baik bila dikelola swasta?
Tidak sepenuhnya juga.
Bagaimana pendapat Anda tentang informasi gaji pimpinan sebuah lembaga zakat bisa mencapai Rp 31 juta setiap bulan?
Wah, itu kecil jumlahnya.
Atas dasar apa nominal itu disebut kecil?
Iya, kalau dia bisa mengumpulkan dana satu triliun dengan kepiawaiannya, maka Rp 31 juta itu kecil. Kita harus melihat perolehan nilai yang diperoleh. Anda tidak bisa menilai, itu kecil atau besar. Perlu menilai itu dari jumlah perolehan yang didapatkan dari pengumpulan dana zakat itu sendiri. Selain itu, perlu juga diperhatikan, bisa saja saat awal-awal berdirinya lembaga zakat itu, pengelolaannya gajinya sangat kecil.
Amil zakat itu mempunyai hak 1/8 dari dan zakat itu. Misalnya dia dapat dana zakat sekitar Rp 200 miliar, maka untuk amil saja paling tidak Rp 25 miliar. Mungkin Rp 25 miliar itu juga digunakan untuk publikasi, sosialisasi dan yang lainnya. Jadi angka Rp 31 juta, bahkan Rp 40 juta itu masih masuk hitungan, tapi jika raihan dana zakat yang didapatkan di atas 100 miliar.
Apakah itu relevan akan kondisi nyata kemiskinan di Indonesia?
Dengan gaji itu membuat pengelola zakat semakin profesional. Dia bisa fokus, serius, dan bertanggung jawab dalam mengelola zakat, infak, sedekah, hingga wakaf.
Lembaga amil zakat mana yang bagus, baik, dan profesional dalam pengelolaan zakat hingga saat ini?
Saya belum melakukan penelitian mendalam akan hal itu. Tapi sering saya lihat dari apa yang paling banyak publikasinya oleh Dompet Dhuafa. Kemudian yang paling dipercaya termasuk Baznas, punya pemerintah, karena diketuai oleh Didin Hafidhuddin. Orang-orang yang dipercaya. Termasuk Irfan Syauki, orang-orang itu saya kenal, saya percaya kejujuran dan kemampuan menjaga amanah yang diberikan kepada mereka.
Bagaimana pandangan anda dengan lembaga zakat yang banyak iklan di media ketimbang langsung turun ke masyarakat miskin?
Perolehan zakat kita ini masih kecil, belum sampai Rp 2 triliun. Dana itu tidak signifikan untuk mengentaskan kemiskinan. Dana Rp 1 triliun itu tidak signifikan. Kemiskinan di Indonesia mencapai 12,5 persen, mungkin jumlah itu lebih. Angka itu sudah cukup besar, untuk pengentasan kemiskinan itu kira-kira dibutuhkan Rp 75 – Rp 100 triliun untuk memberdayakan orang-orang miskin dan usaha kecil menengah kita. Jadi, kalau pun ada lembaga zakat yang iklan, bahkan sampai masuk televisi. Itu kalau angkanya belum 1/8 itu masih sanggup.
Saya juga mengusulkan kepada lembaga-lembaga zakat, untuk merekrut tenaga-tenaga yang murah. Misalnya, mahasiswa yang sedang libur saat Ramadan bisa diajak untuk menjemput zakat langsung ke masyarakat. Seperti ke seluruh gedung-gedung yang ada di Jakarta atau di kota-kota lainnya. Bila perlu dibuatkan gerai zakat di banyak tempat.
Seharusnya zakat itu dijemput atau dengan sistem jemput bola. Tapi ke depan kita tidak bisa jemput bola, karena harus mengikuti regulasi. Ini terkait dengan pencapaian dana yang didapatkan dibandingkan dengan perhitungan potensi zakat yang diperkirakan.
Editor: Fatimah Azizah
|
zakat fitra. ©2012 Merdeka.com/imam buhori |
Istilah zakat, paling kerap muncul pada bulan Ramadan. Padahal mengeluarkan zakat bisa saja sepanjang masa bagi yang mampu untuk menunaikannya. Namun, ketika perekonomian negara terus berkembang setiap tahun, prediksi potensi zakat tidak kalah mengejutkan setiap tahun.
Bagi Agustianto, pengamat dan konsultan ekonomi syariah, jumlah potensi zakat saat ini yang sudah mencapai Rp 217,3 triliun per tahun sudah saatnya dibikin regulasinya. Menurut dia, bahkan bila perlu kewajiban wajib pajak diperlakukan sama dengan wajib zakat bagi yang mampu. Apakah itu berlebihan?
Berikut penuturannya kepada Islahuddin, wartawan merdeka.com di kawasan Gedung Syariah Mandiri, Jakarta Pusat, pada Kamis (25/10) sore.
Apa penyebab lembaga zakat memperoleh dana zakat masih sedikit?
Ada banyak faktor, sebetulnya sudah banyak penelitian yang membahas hal itu. Salah satunya adalah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat. Tapi faktor yang pertama adalah kesadaran. Tingkat kesadaran masyarakat itu dalam berzakat itu sangat rendah. Terutama orang-orang kaya, kesadarannya perlu ditingkatkan.
Dalam membangun kesadaran itu bukan hanya tugas ulama, tapi juga pemerintah. Kalau bisa bukan lagi mengandalkan kesadaran, tapi harus dipaksa. Bagaimana pun kewajiban negara dalam mewajibkan pajak, mestinya juga begitu dalam hal zakat. Harus dipaksa membayar zakat.
Atas dasar apa harus dipaksa?
Itu perintah Tuhan sebagai pencipta manusia. Jadi, pada zaman Abu Bakar, kalau ada orang yang tidak membayar zakat akan diperangi. Sekarang bukan dengan perang. Bisa saja, misalnya pada pengusaha dicabut izin usahanya atau dibuat teguran kalau tidak membayar zakat selama dua tahun.
Apa yang dilakukan pemerintah dalam menggenjot pendapatan dari pajak harus diperlakukan hal yang sama zakat. Jika negara bisa melakukan itu, yang sejahtera masyarakat itu sendiri.
Apa itu tidak berlebihan, perihal pajak saja belum tuntas?
Setidaknya hasil dari pajak sudah berhasil dalam beberapa hal. Perolehan dari pajak, meski belum maksimal, sudah ada hasilnya. Terutama untuk berbagai pembangunan selama ini. Demikian juga dengan zakat, kalau bisa mencapai perolehan Rp 1 triliun itu akan banyak manfaat pengentasan kemiskinan, perbaikan kesehatan, peningkatan kualitas pendidikan, perumahan kalau kita menggunakan tangan pemerintah dalam menggenjot zakat.
Bahkan, nanti urusan zakat itu bukan di bawah Kementerian Agama, zakat itu semestinya dan seharusnya berada di bawah Kementerian Keuangan. Jadi dalam bayangan saya, ada direktorat pengumpulan zakat di bagian kebijakan fiskal.
Apa nanti itu tidak berbenturan dengan pajak?
Makanya nanti harus ada kebijakan membahas hal itu. Dengan adanya kewajiban zakat, ini akan berkorelasi dengan peningkatan hasil pajak. Di negara-negara yang menerapkan pajak dan zakat sudah menunjukkan adanya hubungan dan hasil yang bagus. Ini terutama di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika, yang paling nyata adalah Malaysia. Itu akurat dan sudah banyak disampaikan dalam forum-forum ilmiah dunia.
Dengan zakat itu akan ketahuan hasil perolehan pajaknya. Nanti bisa saja diatur zakat sebagai pengurang pajak. Toh juga zakat untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang lainnya.
Ada korelasi naiknya perekonomian Indonesia dan kecenderungan masyarakat yang meningkat dalam berzakat?
Seharusnya memiliki korelasi, terutama peningkatan pendapatan itu harusnya berimplikasi terhadap perolehan zakat. Nanti kita lihat hasilnya, dalam kurun beberapa tahun terakhir makin meningkatnya jymah kelas menengah di Indonesia begitu pesat.
Kalau tidak, gerakan sosialisasi zakat harus dikencangkan. Jadi para ulama dan ustad harus bisa membangun kesadaran masyarakat dalam berzakat.
Kenapa zakat selalu identik dengan Ramadan dan Idul Fitri di Indonesia?
Itu sebenarnya sebagai sebuah kesalahan fatal, hanya mempublikasikan zakat hanya saat Ramadan. Padahal zakat itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Zakat itu sepanjang masa. Orang berzakat itu sering di luar Ramadan, karena terkait haulnya, misalnya, orang itu membuka usaha di bulan Zulhijah, maka nanti zakatnya di akhir bulan Zulhijah.
Sosialisasi zakat di bulan Ramadan hanya mencari momentum. Saat itulah kesadaran masyarakat begitu tekun dalam hal ibadah. Itu seperti dikondisikan. Zakat itu bukan hanya di bulan Ramadan dan tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Kalau nanti Ramadan, itu hanya zakat fitrah dan itu tidak potensial, yang potensial itu zakat harta, perusahaan, profesi.
Tapi kadang-kadang di Ramadan orang tidak hanya zakat di bulan Ramadan, ada juga yang berzakat harta. Kalau begitu, kita bisa mengharapkan zakat menjadi potensial. Ke depan kita bisa mengharapkan lembaga zakat bisa diaudit oleh lembaga akuntan publik.
Editor: Fatimah Azizah