Amandemen UUD Untungkan Kapitalis
JAKARTA- Perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 45 melalu amandemen 2002, dinilai menjadi penyebab bangsa kurang mempunyai kemerdekaan, berdaulat, dan kurang memperoleh keadilan serta kemakmuran.
Demikian kesimpulan pendapat yang disampaikan mantan wapres Try Sutrisno, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan HB X, dalam Pekan Konstitusi, UUD 1945, Amandemen dan Masa Depan Bangsa, di Kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS),
Menurut Try Sutrisno, yang sangat dirasakan adalah perubahan Pasal 33. Akibat perubahan itu perekonomian nasional cenderung dikuasai pihak asing dan kehidupan rakyat semakin tertekan.
“Dewasa ini semakin banyak keluhan dari masyarakat, telah terjadi bentuk penjajahan baru di Indonesia melalui dominasi asing di bidang ekonomi,” ujar Try Surtrisno.
Hal senada diungkapkan Din Syamsuddin. Dia mencontohkan adanya dominasi asing yang menggusur kepentingan petani, seperti serangan beras, bawang, dan kentang impor pada musim panen sehingga menyebabkan kerugian besar.
“Saya sependapat jika amandemen UUD 45 itu perlu ditinjau kembali oleh MPR,”ujar Din.
UUD 45 sebelum amandemen keempat tahun 2002, menurut Sri Sultan HB X mengamanatkan, tentang sistem ekonomi kerakyatan yang jelas keberpihakannya. Namun melalui amandemen, lanjut Sultan, secara tersembunyi telah dimasukkan sistem perekonomian kapitalistik. Akibatnya dalam penjabaran melalui UU atau peraturan lain, dominasi kapitalisme tidak dapat dihindari.
Akibatnya, kemajuan perekonomian cenderung dinikmati para pemilik kapital yang mayoritas investor asing. “Rakyat hanya menjadi pelengkap penderita dari sistem perekonomian kapitalistik tersebut,”ujar Sultan.
Bergeser
Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menilai falsafah demokrasi di Indonesia semakin bergeser jauh dari nilai-nilai hikmat kebijaksanaan dalam konteks yang ideal.
“Permusyawaran digantikan voting, dan sistem perwakilan digantikan oleh pemilihan secara langsung. Dampaknya, representasi kekuatan modal menjadi ukuran bagi layak tidaknya seseorang dicalonkan,” kata Megawati dalam sambutan yang dibacakan Sekjen PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo.
Menurut Mega, anomali ini terus berlangsung bukan dalam wajah demokrasi yang membawa kemakmuran rakyat, melainkan demokrasi yang menampilkan kuatnya pengaruh uang di dalam setiap rekrutmen jabatan publik.
Di sisi lain, rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya menjadi objek semata. Bahkan rakyat semakin terpinggirkan dalam potret kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Persoalan lain, lanjut Mega, yang menggelisahkan rakyat adalah kecederungan negara yang melakukan pembiaran atas berbagai tindak kekerasan. Kekerasan kian merebak dengan intensitas dan eskalasi yang semakin meluas. Hal itu menggambarkan betapa sulitnya untuk mendapat rasa aman.
“Kami melihat rakyat berhadapan dengan rakyat, rakyat berhadapan dengan penegak hukum, dan rakyat berhadapan dengan penguasa, dan para pihak yang hanya mencari keuntungan. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama pun semakin sering terjadi dan dengan mudah mereka mengatakan “selamat tinggal kebhinekaan Indonesia.”
Sekretaris Jenderal ICIS, KH A Hasyim Muzadi menyatakan keprihatinan terhadap berbagai problem yang dihadapi bangsa Indonesia, utamanya terkait tindak kekerasan, praktik korupsi, mafia hukum, serta pelanggaran HAM.
“Belum ada jawaban yang tepat, baru komentar, kritik, saling menyalahkan satu sama lain dari jarak jauh. Padahal apabila tokoh bangsa ini bersatu, semua bisa diatasi,” kata Hasyim.
Hasyim mempertanyakan, apakah sistem yang dipakai saat ini selaras dengan pengejawantahan dari butir sila di dalam Pancasila. Apakah Kemanusian yang Adil dan Beradab sudah bergeser kepada tindak kekerasan.
Selain itu, lanjut Hasyim, musyawarah untuk mufakat juga bergeser, yaitu rakyat memilih pemimpin dengan Rp 20 ribu. Begitu juga partai politik yang bertanggung jawab atas masalah bangsa ini.
“Parpol di parlemen sibuk mengukur semua pejabat negara. Tapi belum ada ukuran terhadap kader-kader yang duduk di parlemen,” tandas Hasyim.(di-71).
Demikian kesimpulan pendapat yang disampaikan mantan wapres Try Sutrisno, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan HB X, dalam Pekan Konstitusi, UUD 1945, Amandemen dan Masa Depan Bangsa, di Kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS),
Menurut Try Sutrisno, yang sangat dirasakan adalah perubahan Pasal 33. Akibat perubahan itu perekonomian nasional cenderung dikuasai pihak asing dan kehidupan rakyat semakin tertekan.
“Dewasa ini semakin banyak keluhan dari masyarakat, telah terjadi bentuk penjajahan baru di Indonesia melalui dominasi asing di bidang ekonomi,” ujar Try Surtrisno.
Hal senada diungkapkan Din Syamsuddin. Dia mencontohkan adanya dominasi asing yang menggusur kepentingan petani, seperti serangan beras, bawang, dan kentang impor pada musim panen sehingga menyebabkan kerugian besar.
“Saya sependapat jika amandemen UUD 45 itu perlu ditinjau kembali oleh MPR,”ujar Din.
UUD 45 sebelum amandemen keempat tahun 2002, menurut Sri Sultan HB X mengamanatkan, tentang sistem ekonomi kerakyatan yang jelas keberpihakannya. Namun melalui amandemen, lanjut Sultan, secara tersembunyi telah dimasukkan sistem perekonomian kapitalistik. Akibatnya dalam penjabaran melalui UU atau peraturan lain, dominasi kapitalisme tidak dapat dihindari.
Akibatnya, kemajuan perekonomian cenderung dinikmati para pemilik kapital yang mayoritas investor asing. “Rakyat hanya menjadi pelengkap penderita dari sistem perekonomian kapitalistik tersebut,”ujar Sultan.
Bergeser
Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menilai falsafah demokrasi di Indonesia semakin bergeser jauh dari nilai-nilai hikmat kebijaksanaan dalam konteks yang ideal.
“Permusyawaran digantikan voting, dan sistem perwakilan digantikan oleh pemilihan secara langsung. Dampaknya, representasi kekuatan modal menjadi ukuran bagi layak tidaknya seseorang dicalonkan,” kata Megawati dalam sambutan yang dibacakan Sekjen PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo.
Menurut Mega, anomali ini terus berlangsung bukan dalam wajah demokrasi yang membawa kemakmuran rakyat, melainkan demokrasi yang menampilkan kuatnya pengaruh uang di dalam setiap rekrutmen jabatan publik.
Di sisi lain, rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya menjadi objek semata. Bahkan rakyat semakin terpinggirkan dalam potret kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Persoalan lain, lanjut Mega, yang menggelisahkan rakyat adalah kecederungan negara yang melakukan pembiaran atas berbagai tindak kekerasan. Kekerasan kian merebak dengan intensitas dan eskalasi yang semakin meluas. Hal itu menggambarkan betapa sulitnya untuk mendapat rasa aman.
“Kami melihat rakyat berhadapan dengan rakyat, rakyat berhadapan dengan penegak hukum, dan rakyat berhadapan dengan penguasa, dan para pihak yang hanya mencari keuntungan. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama pun semakin sering terjadi dan dengan mudah mereka mengatakan “selamat tinggal kebhinekaan Indonesia.”
Sekretaris Jenderal ICIS, KH A Hasyim Muzadi menyatakan keprihatinan terhadap berbagai problem yang dihadapi bangsa Indonesia, utamanya terkait tindak kekerasan, praktik korupsi, mafia hukum, serta pelanggaran HAM.
“Belum ada jawaban yang tepat, baru komentar, kritik, saling menyalahkan satu sama lain dari jarak jauh. Padahal apabila tokoh bangsa ini bersatu, semua bisa diatasi,” kata Hasyim.
Hasyim mempertanyakan, apakah sistem yang dipakai saat ini selaras dengan pengejawantahan dari butir sila di dalam Pancasila. Apakah Kemanusian yang Adil dan Beradab sudah bergeser kepada tindak kekerasan.
Selain itu, lanjut Hasyim, musyawarah untuk mufakat juga bergeser, yaitu rakyat memilih pemimpin dengan Rp 20 ribu. Begitu juga partai politik yang bertanggung jawab atas masalah bangsa ini.
“Parpol di parlemen sibuk mengukur semua pejabat negara. Tapi belum ada ukuran terhadap kader-kader yang duduk di parlemen,” tandas Hasyim.(di-71).