Independensi, Bagaimana Memberi Makna
Foto: davinanews.com |
KETIKA menjadi fasilitator Focus Group Discussion Evaluasi 2011 dan Proyeksi 2012 Pemberantasan Korupsi di Jawa Tengah yang digelar oleh sejumlah kelompok antikorupsi, saya “ditodong” pernyataan (baca: pertanyaan, bukan pernyataan) oleh mas Ngargono, seorang aktivis lembaga konsumen, “Dari tadi mas Amir belum bicara bagaimana seharusnya peran media dalam memerangi korupsi…”
Saya memang dalam posisi memandu jalannya FGD yang merupakan majelis mulia untuk para pegiat antikorupsi, akademisi, dan penegak hukum itu; sehingga tentu tidak mungkin “menodong” diri sendiri untuk menjadi salah satu narasumber. Dan, mas Gono tertawa saja ketika saya menjawab, “Pada sesi berikutnya FGD, biarlah fasilitatornya bukan saya, dan saya akan menjadi peserta dari kalangan media massa”.
Ya, kesadaran mengawal komitmen sikap antikorupsi memang tidak mungkin hanya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. Perapatan barisan untuk menutup celah harus dilakukan oleh setiap elemen civil society. Tentu termasuk media. Bahkan peran media ini bisa disimak dari realitas: “nendang” atau “tidak nendang”, “nyaring” atau “tidak nyaring” gerakan melawan korupsi akan tergantung pada seberapa besar keberpihakan media untuk memberi ruang ekspose.
Ya, kesadaran mengawal komitmen sikap antikorupsi memang tidak mungkin hanya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. Perapatan barisan untuk menutup celah harus dilakukan oleh setiap elemen civil society. Tentu termasuk media. Bahkan peran media ini bisa disimak dari realitas: “nendang” atau “tidak nendang”, “nyaring” atau “tidak nyaring” gerakan melawan korupsi akan tergantung pada seberapa besar keberpihakan media untuk memberi ruang ekspose.
Logika Keberpihakan
Logika keberpihakan itu sebenarnya sederhana. Dari kacamata proporsionalitas yang “hitam-putih”, orang mungkin berpikir netralitas atau independensi media akan tergambarkan pada pola-pola penyajian yang berimbang, atau yang dalam teori jurnalitik dasar kita kenal sebagai cover both sides.
Tepatkah logika porsi keberimbangan yang text book semacam itu?
Jika kita memandang fungsi pers untuk menyampaikan informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan melakukan kontrol sosial; kembangan dari netralitas itu tentu tak cukup hanya dengan pola-pola cover both sides.
Independensi bukanlah semata-mata mempolakan sebuah langkah “menjaga jarak” atau “memberi peluang yang sama” pada setiap peristiwa polemik, pro-kontra, atau memberitakan suatu kasus. Ia memiliki nilai sendiri, substansi untuk apa media eksis dan memberi makna bagi kehidupan.
Logika keberpihakan itu sebenarnya sederhana. Dari kacamata proporsionalitas yang “hitam-putih”, orang mungkin berpikir netralitas atau independensi media akan tergambarkan pada pola-pola penyajian yang berimbang, atau yang dalam teori jurnalitik dasar kita kenal sebagai cover both sides.
Tepatkah logika porsi keberimbangan yang text book semacam itu?
Jika kita memandang fungsi pers untuk menyampaikan informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan melakukan kontrol sosial; kembangan dari netralitas itu tentu tak cukup hanya dengan pola-pola cover both sides.
Independensi bukanlah semata-mata mempolakan sebuah langkah “menjaga jarak” atau “memberi peluang yang sama” pada setiap peristiwa polemik, pro-kontra, atau memberitakan suatu kasus. Ia memiliki nilai sendiri, substansi untuk apa media eksis dan memberi makna bagi kehidupan.
Orientasi Kemaslahatan
Ketika memberi pemaknaan dengan nilai-nilai, independensi harus kita “ajak” untuk mengarungi ruang dan orientasi maslahat. Pertanyaan-pertanyaan yang kita kembangkan: apa sebenarnya tujuan kita berjurnalistik, apa sesungguhnya pemaknaan kita tentang netralitas, apa sejatinya ikhtiar moral kita untuk menemukan kebenaran?
Bukankah media sesungguhnya adalah “ruang kosong” — tergantung kita akan memuatinya dengan isian moralitas yang seperti apa? Realitas adalah sesuatu yang bisa kita konstruksi, yang dalam teoriframing akan menentukan sebuah realitas itu sejak awal dikondisikan atau di-setting menjadi “milik siapa”. Milik seseorang atau kelompok, milik kekuatan modal tertentu, milik kekuatan politik dominan, milik para koruptor, atau milik rakyat sebagai pemegang kedaulatan?
Pada titik inilah saya hendak menegaskan, mengonstruksi realitas dalam pemberitaan media – lewathard-news, artikel opini, tajuk rencana, atau bahkan “pojok” – merupakan langkah penting mengorientasikan keberpihakan kita. Dan, insan media akan digerakkan oleh usikan hati nurani yang akhirnya mewujud dalam moralitas pemberitaan, selalu digelitik oleh aneka pertanyaan etis: apakah sebenarnya tujuan saya menulis berita atau artikel, peduli atau tidak pedulikah saya, berpihak atau tidak berpihakkah kita, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawabkah saya?
Politik pemberitaan akan memaujudkan sikap itu dalam bentuk pola proporsionalitas yang memaslahatkan bagi rakyat. Niat untuk “mengepung” koruptor tentu harus dengan titik tekan yang memberi gairah bagi aparat hukum untuk meneguhkan komitmen. Memberi spirit bagi elemen-elemen masyarakat sipil untuk istikamah melakukan pengawalan. Juga bagaimana media selalu menggaungkan “pesan” tentang bahaya kejahatan korupsi itu bagi masa depan bangsa ini.
Redaktur Senior Suara Merdeka