Jurnalisme Siber juga Perkara Verifikasi
Pedoman Pemberitaan itu tetap memperhatikan praktik pemberitaan media siber sehingga pada praktiknya ada kompromi agar tetap memiliki keunggulan daripada media lain terutama dalam hal kecepatan.
Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) disahkan oleh Dewan Pers dan komunitas pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (3/2) lalu.
Pedoman, yang baru satu-satunya ada di dunia itu, dirancang agar pengelolaan media siber dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik).
"Ini merupakan pedoman pertama di dunia, mengenai pedoman dalam pemberitaan di media siber atau online," kata Agus Sudibyo, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika, Dewan Pers.
PPMS disebut sebagai pedoman operasional dari UU Pers.
Dewan Pers akan menetapkannya sebagai Peraturan Dewan Pers.
PPMS sudah dibahas selama sekitar 4 bulan, 6 kali diskusi publik, serta 2 kali uji publik di Jakarta dan Yogyakarta, dengan melibatkan unsur asosiasi media, kalangan kampus, dan swasta.
PPMS juga disebut akan dieavaluasi setiap dua tahun sekali.
Etik
Media siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik dan memenuhi persyaratan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.
Isi dari media siber adalah segala yang dibuat atau dipublikasikan oleh penggunanya antara lain artikel, gambar, komentar, suara, video, dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.
Gagasan pembuatan PPMS karena banyaknya pengaduan masyarakat tentang pemberitaan media siber, kepada Dewan Pers.
Jumlah aduan masyarakat itu disebut bahkan hampir sebanding dengan banyaknya aduan tentang pemberitaan di media cetak.
Dewan Pers kerepotan untuk menangani pengaduan itu karena kode etik jurnalistik yang ada sekarang, sudah ada dalam bentuk UU, orientasi dan perspektifnya sangat media cetak.
Dibutuhkan satu rujukan lain yang tetap mengacu pada kode etik jurnalistik yang lebih detil menyangkut pedoman penulisan media siber.
Karena itu Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengatakan PPMS adalah code of conduct atau code of ethics dalam pengelolaan media siber.
"Secara hukum, ini adalah code of conduct atau aturan etik, aturan tingkah laku. Code of conduct memang salah satu ciri kumpulan profesional setiap kelompok profesi. Selain terikat aturan hukum, juga terikat rule of ethics yang dibuat sendiri," kata Bagir, di gedung Dewan Pers, dalam acara pengesahan PPMS.
Kode etik, kata Bagir, perlu karena lembaga profesi bekerja independen atas dasar kebebasan.
Menurut Bagir, PPMS perlu ada agar media siber lebih bertanggung jawab kepada masyarakat dalam setiap pemberitaannya.
PPMS itu juga untuk menghindari dampak eksesif, karena kode etik yang dijalankan dengan baik dapat menghindarkan potensi masalah seperti gugatan dari pihak lain.
Perkembangan media siber yang semakin pesat, yang mengepankan kecepatan, interaksi, dan kelugasan, ikut menjadi faktor pendorong lainnya dari disahkannya PPMS itu.
Dalam PPMS diatur mengenai verifikasi dan keberimbangan berita; isi buatan pengguna; ralat, koreksi, dan hak jawab; pencabutan; iklan; hak cipta; pencantuman pedoman; dan sengketa.
Rencananya, hari ini (6/2) Dewan Pers akan bertemu dengan Kepala Kepolisian RI untuk membicarakan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) soal PPMS tersebut.
Gagasan pokoknya, setiap kasus berita yang dilaporkan ke polisi harus menggunakan UU pers dan meminta keterangan ahli dari dewan pers
Pada Kamis (9/2) nanti, rencananya Mou Dewan Pers dan Polri akan ditandatangani di Jambi.
Verifikasi
Media siber selalu berhubungan dengan kecepatan dalam memberitakan.
Berbeda dengan media biasa, dimana media biasa diseleksi oleh redaksi, pada media siber tiap orang bisa menjadi bagian dari informasi yang wadahnya sudah disediakan.
Memang terdapat tanggungjawab juga pada media siber, namun pelaksanaannya seringkali tidak mudah.
"Ketika orang komentar bisa masuk, baru kemudian dicek. Jadi tak ada fungsi preventif, tapi represif," kata Bagir, dalam pidatonya di acara tersebut.
Bagir menyebut, jika ada orang yang tersinggung pada pemberitaan di media siber, maka tanggung jawab ada di pundak media itu.
Karena itu, "doktrin" kecepatan harus selalu didengungkan seiring dengan verifikasi, verifikasi, dan verifikasi.
Dalam hal itu, media siber tidak berbeda, dan tidak harus dibedakan dengan media konvensional seperti media cetak, televisi, dan radio, dan lainnya.
Media siber pun harus tetap mengedepankan verifikasi dalam setiap pemberitaannya.
Meskipun ketidakakuratan dan ketidakberimbangan pada sebuah berita bisa diklarifikasi pada berita selanjutnya (running news), tetapi hal tersebut tidak bisa dengan mudah diselesaikan
Berita yang telah diunggah di internet akan selalu tersimpan, di sana.
"Jurnalisme masih perkara verifikasi," kata Agus.
Agus juga menyebut PPMS tetap memperhatikan praktik pemberitaan media siber sehingga ada kompromi, agar media siber tetap memiliki keunggulan daripada media lain terutama dalam hal kecepatan.
Karena itulah verifikasi dan keberimbangan berita menjadi poin pertama dari tujuh poin PPMS.
Kompromi tersebut diletakkan pada poin 2 huruf c; yaitu berita yang cepat-cepat diunggah tersebut harus memenuhi kriteria: beritas tersebut benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak; Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai; Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
Setelah memuat berita cepat-cepat tadi, sesuai dengan butir c, media siber wajib meneruskan upaya verifikasi.
Setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update), dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Dengan adanya semacam catatan tersebut, bisa memberi perspektif pada masyarakat pembaca, supaya tidak langsung menyimpulkan, bahwa berita yang sudah dimuat itu masih belum jelas, dan bahwa berita itu masih perlu verifikasi lebih lanjut.
Tak pelak, ini adalah salah satu upaya cerdas, yang sampai saat ini memang belum diterapkan pada media siber yang ada di Indonesia.
Karena bagaimana pun, media siber juga masih perkara jurnalisme; dan dalam jurnalisme, verifikasi adalah perkara utama.