Lawan Kriminalisasi Saksi Kunci "Nazaruddin"
Kejaksaan Agung “meminjam” seorang saksi penting kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Namanya Yulianis, mantan Wakil Direktur Keuangan Group Permai. Pernah menjadi bawahan M. Nazaruddin sebagai “juru bayar” dan pengumpul sejumlah fee proyek.
Dalam kesaksian di pengadilan tindak pidana korupsi untuk “mantan bos” nya yang duduk di kursi terdakwa, ia menyebut sederet proyek dan praktik kumuh yang pernah terjadi terkait perusahaan tempatnya bekerja.
Ia menyebut 10 proyek yang pernah ditangani PT. DGI lengkap dengan nilai fee, tanggal penyerahan, dan bahkan mengonfirmasi nomor cek di dua bank besar. Proyek sejumlah universitas dan rumah sakit di sejumlah daerah ini sekarang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Masuk akal jika posisi Yulianis sebagai “orang dalam” mengetahui banyak hal yang terjadi dalam Group Permai. Ia tidak hanya mengingat, tapi juga mencatat. Beruntung KPK sudah menyita data di hardisk ekternal perempuan ini.
Mabes Polri juga pernah mengatakan sedang menangani kasus korupsi yang diduga terkait dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut di dua kementerian. Polri mengklaim sudah melakukan pemeriksaan terhadap 150 orang saksi, 100 terkait korupsi di Kementerian Pendidikan, dan 50 di Kementerian Kesehatan.
Luar biasa. Meskipun memang proses di kepolisian tergolong lamban, karena hingga saat ini kita belum mendengar ada tersangka dan kemajuan berarti dalam penangan kasus. Dulu, di malam pertama Nazar berhasil dipulangkan dan sampai di gedung KPK, mantan Ketua KPK, Busro Muqodas juga pernah mengatakan ada sekitar 37 kasus dalam berbagai tingkat proses hukum sedang berjalan di KPK.
Saya tak bisa membayangkan betapa dahsyatnya jejaring korupsi yang dapat terungkap jika penegak hukum serius dan sejumlah bukti bisa dirangkai dengan baik. Jadi, wajar jika sejumlah pihak menempatkan kasus ini sebagai salah satu pekerjaan penting yang harus dituntaskan.
Di sisi lain, tentu saja penanganan kasus ini menjadi ancaman bagi sejumlah pihak yang terlibat melakukan korupsi atau menikmati hasil korupsi. Sehingga, wajar sejumlah pihak memperkirakan sejumlah upaya untuk menghambat penanganan kasus ini akan dilakukan.
Satu catatan yang sangat penting dicermati adalah upaya mempengaruhi pembuktian. Ternyata, salah satu saksi kunci terancam dikriminalisasi. Pihak Nazaruddin melaporkan Yulianis ke Kepolisian Daerah DKI Jakarta atas kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Mantan bawahan Nazar itu dituduh memberikan keterangan palsu. Mengaku sebagai wakil direktur keuangan Group Permai, padahal menurut pengacara Nazaruddin, akta pendirian Group Permai tidak pernah ada. Sehingga perusahaan tersebut disebut sebagai perusahaan fiktif.
Selain itu, beredar juga informasi, Polda juga sudah menangani dua kasus Yulianis lainnya. Sungguh miris. Pola-pola seperti ini ternyata masih terjadi. Saksi kunci terancam dijerat proses hukum.
Kenapa Yulianis? Sederhana, karena dari kesaksian Yulianis-lah sejumlah fondasi dakwaan KPK dibuktikan di persidangan. Seperti diketahui, Nazar atau perusahaan Group Permai didakwa menerima sejumlah uang Rp 4,68 Miliar sebagai realisasi fee proyek pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Sumatra Selatan. Pembayaran dilakukan oleh El Idris melalui Yulianis dan Oktarina Furi.
Dalam berkas yang terpisah, Idris dari pihak PT. DGI sudah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Saat itu, salah satu dakwaan terhadap El Idris adalah suap terhadap Sesmenpora, Wafid Muharam dan M. Nazaruddin.
Jika Yulianis tak ada, atau jika KPK gagal meyakinkan perempuan ini berperan sebagai justice colaborator, mudah ditebak, kasus Nazar sulit terbongkar. Selain berperan memberi kesaksian sebagai pihak yang menerima fee proyek untuk bosnya Nazar, Yulianis juga sangat mengetahui keberadaan dan “kekuasaan” pihak-pihak tertentu di Group Permai terhadap brankas X, mencatat pengeluaran dana termasuk aliran dana ke Kongres Partai Demokrat, pemenangan Anas Urbaningrum dan Andi Malaranggeng, hingga penempatan dana melalui pembelian saham Garuda Indonesia Airways Rp 300 miliar dan menyebut perihal dana yang dibawa ke Singapura.
Komitmen Polri
Tidak bisa dibayangkan jika Polri akhirnya bisa “dimanfaatkan” oleh pihak-pihak tertentu untuk mengkriminalisasi saksi kunci. Menjadi pertanyaan serius saat ini, apakah Polri lebih berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi melalui upaya membongkar sejumlah kasus strategis, atau sebaliknya, “termakan” oleh manuver hukum pihak-pihak tertentu. Komitmen Kapolri, Timur Pradopo dipertanyakan disini.
Kenapa sikap tegas Kapolri dibutuhkan? Karena memang dalam upaya membongkar sejumlah kasus korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa atau organized crime dan transnasional crime, konsep perlindungan saksi secara ekstra, baik perlindungan fisik ataupun perlindungan hukum adalah hal prinsipil.
Memang, di Indonesia belum dikenal konsep plea bargain, akan tetapi mengingat kepentingan umum yang lebih besar untuk membongkar skandal korupsi politik ini, penting bagi Polri untuk bersikap tegas memprioritaskan penuntasan kasus Nazaruddin terlebih dahulu.
Lebih dari itu, berbagai pihak yang ingin mengawal proses hukum terhadap sejumlah kasus korupsi, perlu mengambil sikap bersama untuk melawan upaya kriminalisasi terhadap saksi kunci yang akan membongkar skandal korupsi.
Dalam kesaksian di pengadilan tindak pidana korupsi untuk “mantan bos” nya yang duduk di kursi terdakwa, ia menyebut sederet proyek dan praktik kumuh yang pernah terjadi terkait perusahaan tempatnya bekerja.
Ia menyebut 10 proyek yang pernah ditangani PT. DGI lengkap dengan nilai fee, tanggal penyerahan, dan bahkan mengonfirmasi nomor cek di dua bank besar. Proyek sejumlah universitas dan rumah sakit di sejumlah daerah ini sekarang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Masuk akal jika posisi Yulianis sebagai “orang dalam” mengetahui banyak hal yang terjadi dalam Group Permai. Ia tidak hanya mengingat, tapi juga mencatat. Beruntung KPK sudah menyita data di hardisk ekternal perempuan ini.
Mabes Polri juga pernah mengatakan sedang menangani kasus korupsi yang diduga terkait dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut di dua kementerian. Polri mengklaim sudah melakukan pemeriksaan terhadap 150 orang saksi, 100 terkait korupsi di Kementerian Pendidikan, dan 50 di Kementerian Kesehatan.
Luar biasa. Meskipun memang proses di kepolisian tergolong lamban, karena hingga saat ini kita belum mendengar ada tersangka dan kemajuan berarti dalam penangan kasus. Dulu, di malam pertama Nazar berhasil dipulangkan dan sampai di gedung KPK, mantan Ketua KPK, Busro Muqodas juga pernah mengatakan ada sekitar 37 kasus dalam berbagai tingkat proses hukum sedang berjalan di KPK.
Saya tak bisa membayangkan betapa dahsyatnya jejaring korupsi yang dapat terungkap jika penegak hukum serius dan sejumlah bukti bisa dirangkai dengan baik. Jadi, wajar jika sejumlah pihak menempatkan kasus ini sebagai salah satu pekerjaan penting yang harus dituntaskan.
Di sisi lain, tentu saja penanganan kasus ini menjadi ancaman bagi sejumlah pihak yang terlibat melakukan korupsi atau menikmati hasil korupsi. Sehingga, wajar sejumlah pihak memperkirakan sejumlah upaya untuk menghambat penanganan kasus ini akan dilakukan.
Satu catatan yang sangat penting dicermati adalah upaya mempengaruhi pembuktian. Ternyata, salah satu saksi kunci terancam dikriminalisasi. Pihak Nazaruddin melaporkan Yulianis ke Kepolisian Daerah DKI Jakarta atas kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Mantan bawahan Nazar itu dituduh memberikan keterangan palsu. Mengaku sebagai wakil direktur keuangan Group Permai, padahal menurut pengacara Nazaruddin, akta pendirian Group Permai tidak pernah ada. Sehingga perusahaan tersebut disebut sebagai perusahaan fiktif.
Selain itu, beredar juga informasi, Polda juga sudah menangani dua kasus Yulianis lainnya. Sungguh miris. Pola-pola seperti ini ternyata masih terjadi. Saksi kunci terancam dijerat proses hukum.
Kenapa Yulianis? Sederhana, karena dari kesaksian Yulianis-lah sejumlah fondasi dakwaan KPK dibuktikan di persidangan. Seperti diketahui, Nazar atau perusahaan Group Permai didakwa menerima sejumlah uang Rp 4,68 Miliar sebagai realisasi fee proyek pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring Sumatra Selatan. Pembayaran dilakukan oleh El Idris melalui Yulianis dan Oktarina Furi.
Dalam berkas yang terpisah, Idris dari pihak PT. DGI sudah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Saat itu, salah satu dakwaan terhadap El Idris adalah suap terhadap Sesmenpora, Wafid Muharam dan M. Nazaruddin.
Jika Yulianis tak ada, atau jika KPK gagal meyakinkan perempuan ini berperan sebagai justice colaborator, mudah ditebak, kasus Nazar sulit terbongkar. Selain berperan memberi kesaksian sebagai pihak yang menerima fee proyek untuk bosnya Nazar, Yulianis juga sangat mengetahui keberadaan dan “kekuasaan” pihak-pihak tertentu di Group Permai terhadap brankas X, mencatat pengeluaran dana termasuk aliran dana ke Kongres Partai Demokrat, pemenangan Anas Urbaningrum dan Andi Malaranggeng, hingga penempatan dana melalui pembelian saham Garuda Indonesia Airways Rp 300 miliar dan menyebut perihal dana yang dibawa ke Singapura.
Komitmen Polri
Tidak bisa dibayangkan jika Polri akhirnya bisa “dimanfaatkan” oleh pihak-pihak tertentu untuk mengkriminalisasi saksi kunci. Menjadi pertanyaan serius saat ini, apakah Polri lebih berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi melalui upaya membongkar sejumlah kasus strategis, atau sebaliknya, “termakan” oleh manuver hukum pihak-pihak tertentu. Komitmen Kapolri, Timur Pradopo dipertanyakan disini.
Kenapa sikap tegas Kapolri dibutuhkan? Karena memang dalam upaya membongkar sejumlah kasus korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa atau organized crime dan transnasional crime, konsep perlindungan saksi secara ekstra, baik perlindungan fisik ataupun perlindungan hukum adalah hal prinsipil.
Memang, di Indonesia belum dikenal konsep plea bargain, akan tetapi mengingat kepentingan umum yang lebih besar untuk membongkar skandal korupsi politik ini, penting bagi Polri untuk bersikap tegas memprioritaskan penuntasan kasus Nazaruddin terlebih dahulu.
Lebih dari itu, berbagai pihak yang ingin mengawal proses hukum terhadap sejumlah kasus korupsi, perlu mengambil sikap bersama untuk melawan upaya kriminalisasi terhadap saksi kunci yang akan membongkar skandal korupsi.