Menentukan Hari Pers Nasional Sejati
Jika kita hendak merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan menentukan kriteria pers nasional tertua.
Benarkah Hari Pers Nasional (HPN) jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari adalah hanyalah hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.
Hari lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula penetapan HPN yang ditetapkan saat PWI sebagai satu-satunya organisasi tunggal. Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia. "Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional," ujar Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI dalam diskusi di AJI beberapa waktu silam.
Tentu saja konteks yang dimaksud adalah jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah lahir pers perjuangan yang dikendalikan oleh orang-orang pribumi. Taufik Rahzen yang meneliti sejarah pers nasional dan hasilnya sudah diterbitkan dalam buku 100 Tahun Pers Nasional yang diterbitkan saat peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional tahun 2008, mengusulkan agar tanggal penerbitan pertama Medan Priayi, koran pribumi pertama yang dinahkodai oleh Tirto Adhi Suryo, sebagai tonggak sejarah Hari Pers Nasional: 1 Januari 1907.
Medan Prijaji adalah koran pertama yang seluruh awaknya pribumi dan diterbitkan dalam bahasa Melayu. Tirto Adhi Surjo dianggap meletakkan dasar organisasi pers yang modern. Memang sebelum Medan Prijaji terbit, sudah ada pers yang terbit di Hindia Belanda, seperti Bataviasche Nouvelles. Inilah koran yang terbit di Batavia pada tahun 1744-1746.
Kontroversi pun tak berhenti dengan penelitian tentang sejarah lahirnya Medan Prijaji sebagai pers nasional pertama. Sebagian kalangan menyebut jauh sebelum Medan Prijaji lahir, pada tahun 1900 sudah ada koran berbahasa Melayu di Sumatera dengan nama Pewarta Wolanda. Pendirinya adalah Abdul Rivai, yang pada tahun 1902 juga menerbitkan koran berhasa Melayu: Bintang Hindia.
Salah satu yang menentang lahirnya Medan Prijaji sebagai tanggal lahirnya hari pers nasional adalah Suryadi, dosen di Universiteit Leiden, Belanda. Dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional.
Suryadi melampirkan data lahirnya pers sebelum Medan Prijaji, antara lain: Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe [belakangan bernama Slompret Melayoe] (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901).
Bahkan juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903) adalah sedikit contoh dari puluhan surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit sebelum Medan Prijaji lahir ke dunia.
Moral cerita adalah jika kita hendak merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan menentukan kriteria pers nasional. Kriteria tersebut misalnya: berbahasa Indonesia (Melayu), dikelola pribumi, berkontribusi pada pembangunan nasionalisme, Di atas semua kriteria itu barulah dicari mana yang paling tua usianya.
Dari perdebatan soal penentuan HPN ini, sudah jelas satu hal yang keliru adalah menetapkan hari pers nasional hanya bersandar pada lahirnya PWI. Tugas pegiat pers dan sejarawan untuk merumuskan hari lahir pers nasional yang sejati. Ini tak mudah karena sejarah lahir dari pergulatan pada zamannya. Misalnya begini beberapa pers di masa kolonial tak berani berdiri tanpa keterlibatan pemerintah Hindia Belanda, karena itulah taktik yang tersedia, Demikian pula pilihan bahasa yang tak seratus persen berbahasa melayu juga sebagai strategi.
Sejarah hari ini adalah akumulasi sejarah pada tahun-tahun sebelumnya. Sejarah bukan senyawa yang berdiri sendiri, terpisah dari peristiwa sebelumnya. Sejarah adalah dialektika kehidupan itu sendiri. Yang terpenting sebelum masuk substansi persoalan, tentukan dulu siapakah host sekalifgus pelopor untuk permusan kembali sejarah pers nasional. Dan jangan lupa budi baik ini harus diselesaikan pada tenggat waktu yang disepakati.