Ceritaku: Rumah Tanggaku Hancur Karena Politik
Kisah Ricky yang jatuh miskin tergulung oleh ambisi politik sebagai wakil rakyat.
Krekkkk….Bunyi jendela terbuka. Semburat mentari di hari Senin, awal 2009 kala itu sangat perkasa. Memaksa mata ini terpicing. Aku segera menuju wastafel untuk membasuh muka. Sebenarnya badan ini masih terlalu letih untuk bangun. Tapi rasanya tidak elok kalau terlalu lama di tempat tidur, sementara ketiga anakku sudah bermain di ruang tengah.
Aku pun bergabung untuk bermain bersama mereka. Istriku yang cantik sedang bersama pembantuku, sibuk menyiapkan sarapan. Di car port sopirku sudah memanaskan mobil. Dan, pegawai jasa angkutan milikku sudah sibuk dengan truk.
Panggil saja namaku dengan Ricky. Aku terlahir dari keluarga mapan. Papaku pengusaha pertanian dan jasa angkutan. Aku anak sulung dari lima bersaudara. Aku dan adik-adikku sudah selesai sekolah semua. Hanya adik terkecil yang masih kuliah di semester 3 di perguruan tinggi di Solo.
Papa dan mama sudah makin uzur. Menjelang usia senja papa-mama maka semua anak sudah dapat bagian warisan. Aku mendapat jatah tanah dan bangunan rumah yang terletak di samping rumah utama keluarga, 4 truk, satu pabrik gula tumbu dan 2 bidang tanah di kampung sebelah. Setelah pernikahan, aku dan istriku, Esti, melanjutkan roda usaha yang dirintis papa.
Usaha itu terus berkembang, bahkan merambah ke bidang usaha distribusi gas. Aku menjadi distributor tunggal di kotaku. Jadinya kini ada empat jenis usaha yang aku jalankan bersama istriku yaitu: jasa angkutan, pabrik gula tumbu, distribusi gas dan toko kelontong dan distribusi sembako.
Untuk usia 34 aku sudah relatif mapan. Bahkan di kalangan kawan-kawan seangkatan SMA karirku terbilang sukses. Istri cantik, anak-anak cerdas dan uang berlimpah. Wajar bila akhirnya aku ditunjuk menjadi bendahara berbagai organisasi. Mulai dari pengurus masjid, organisasi kepemudaan dan partai politik.
Tapi kemapanan itu akhirnya perlahan sirna. Badai ekonomi itu mulai menerpa rumah tanggaku setelah awal tahun.
Keaktifanku di sebuah partai politik mendorongku maju sebagai calon legislatif. ”Kamu pintar menarik perhatian orang, pandai orasi kenapa tidak nyaleg saja,” begitu kawan-kawanku menyarankan.
Pimpinan partai di tingkat kabupaten juga menyarankan demikian. Maka aku berketetapan hati dengan langkah yakin untuk maju sebagai caleg DPRD di pemilu 2009. Bahkan istriku yang selama ini aktif di organisasi perempuan partai tersebut juga ikut maju sebagai caleg.
Setelah resmi dinyatakan sebagai caleg, aku dan istriku sibuk dengan sosialisasi ke basis konstituen. Hanya sesekali mengecek laporan kas perusahaan untuk memastikan masih ada uang masuk. Toh, dari uang itu pula biaya kampanye diambil. Aku tak membuat tim sukses, tapi bergerak sendiri. Tiap hari simpul-simpul massa aku datangi untuk menawarkan gagasan baru. Dan tidak lupa membawakan mereka berbagai oleh-oleh seperti seperangkat alat sholat (sajadah, tasbih, rukuh, Al qur'an dan lainnya), sembako, jam dinding. Malah di beberapa calon pemilih saya menitipkan uang ratusan ribu.
Tanpa terasa uang perusahaan banyak tersedot. Cicilan pinjaman ke bank juga mulai macet, termasuk di antaranya uang pinjaman dari kolega terpakai untuk kampanye. Bahkan nyaris semua harta warisan dari papa sudah kuagunkan ke bank. BPKB 4 truk warisan papa, BPKB 2 mobil pribadi sudah di tangan bank. Tanah lokasi pabrik gula tumbu dan dua bidang tanah di kampung sebelah juga sudah dikonversi dengan uang pinjaman. Hanya tanah dan bangunan rumah warisan yang belum kujadikan uang.
”Tenang aja Pa, kalau papa jadi wakil rakyat kan semua pengeluaran dapat dikembalikan,” kata istriku menenangkan. Kegelisahanku sedikit berkurang.
Meskipun setelah dua bulan sosialisasi sejuta tanya menyelimutiku. Bagaimana tidak beberapa simpul massa yang kudatangi melakukan penolakan secara langsung dan tidak langsung. ”Mas, saya hanya bisa doakan ya, karena saya dan keluarga sudah memilih sepupu saya yang juga nyaleg,” kata salah satu calon pemilih yang termasuk disegani di kampung.
Tapi aku juga istriku tak ada alternatif lain, seperti berhenti kampanye atau mundur dari pencalonan. Kegelisihan itu akhirnya mewujud. Saat perhitungan suara, perolehan suaraku dan istriku jauh dari cukup untuk menjadi wakil rakyat. Terbayang modal satu miliar lebih. Terlintas pula di depan mata tanggungan utang yang menggunung, bisnis yang morat-marit dan cibiran keluarga dan tetangga karena gagal jadi caleg.
Dan benarlah. Tak lama setelah resmi dinyatakan gagal jadi caleg, tiap hari rumah didatangi orang untuk nagih setoran barang, debt collector bank sudah rajin menyambangi rumah. Aku dan keluarga jadi tak nyaman di rumah sendiri. Tidak siang, tidak malam, ada saja tamu menagih uang. Sudah tak ada uang cash di tangan, aku hanya menjanjikan minggu depan datang lagi.
Hingga minggu depan tak ada perubahan. Aku dan istri tinggal berpindah-pindah ke rumah saudara di daerah lain. Lama melarikan diri di rumah orang tidak enak rasanya. Akhirnya aku pulang juga. Betapa kagetnya karena papa marah habis-habisan. ”Tiap hari aku yang menemui orang yang nagih utang. Kamu itu mana tanggung jawabmu,” kata papa ke aku. Istriku juga tak luput dari cacian, ”gara-gara kamu anakku yang dulu kaya sekarang jadi dililit utang.
Tak pelak lagi rumah tanggaku kacau balau. Kemarahan papa ke istriku menyulut emosi istri kepadaku di kemudian hari. Terlalu sering kami ribut di depan ketiga anak kami. Tiap dini hari aku menangisi garis hidupku yang tragis gara-gara politik.
Semua pintu berhutang sepertinya sudah tertutup. Semua kawan sekolah sudah tak ada muka untuk mendatangi. Tetangga baik, bahkan adik kandungku juga tak peduli. Mereka memalingkan muka semua. Padahal adikku yang ketiga usahanya sedang moncer. Hubungan yang kurang baik semasa jaya juga mempersulitku mencari pinjaman.
Aku pernah memaki kawan baikku sejak kecil yang punya bengkel hanya oleh masalah kecil. Sepeda motor milik mertuaku diservis karena kuncinya rusak. Prasto, kawanku itu mengganti kunci mahal yang tidak mudah digunakan untuk ukuran orang tua. ”Otakmu di mana, kunci seperti itu kan susah untuk orang tua,” kataku waktu itu. Belakangan aku tahu itu justru permintaan mertuaku sendiri. Tapi nasi sudah jadi bubur, kawan baik itu terlanjut menjauh.
Kejayaan dengan gelimangan harta memang membuatku sombong. Memandang rendah orang lain. Bahkan pada tetangga saja aku tak peduli. Kini batu besar menghalangiku melangkah.
Dalam kepenatan hidup, aku memutuskan untuk meninggalkan kotaku menuju Kalimantan Selatan. Bergabung dengan kawan lama yang mau menampungku untuk kerja bareng jualan onderdil sepeda motor. Sudah enam bulan lalu aku tinggalkan anak istriku berjibaku dengan para penagih utang. Dengan satu harapan bisa pulang pas lebaran tahun ini membawa segepok uang. Toh, nyatanya hasilnya sebaliknya. Hanya ratusan ribu yang kubawa. Terbayang kembali para penagih utang. Dua kali lebaran aku rasakan bubar lebih cepat.
Kini aku tersadar. Aku salah sangka telah menganggap politik sebagai wahana melipatgandakan uang. Awalnya kukira politik bisa membuat modal 10 menjadi 1000. Justru sebaliknya, modal 10 itu kini bergantu utang 1000. Impian menjadi wakil rakyat yang tenar di masyarakat, sering muncul di media massa, sering tampil di televisi dan wajah nongol dalam spanduk-spanduk ucapan hari raya sudah musnah. Semuanya musnah. Aku jadi benci politik jual beli!
Aku jadi ingat SMS kawan baik di Jakarta, ”Rick kamu kok masih percaya kalau politik bisa bikin kaya. Kalau kamu kaya dari politik pasti korupsi. Kalau politik itu yang bener, untuk menegakkan politik nurani. Jangan jadi makelar APBN. Ati-ati lho kamu kalap. Ambisi politik yang berlebihan bikin orang menghalalkan segala cara untuk mendudukinya lho,” kata kawanku.
Aku menerawang jauh: bayangan perceraian dan terlantarnya ketiga anakku. Tiba-tiba aku butuh Tuhan sebagai tempat mengadu setelah lama kutinggalkan.
Ceritaku - kisah nyata seperti diceritakan Ricky kepada penulis