Denny Indrayana dan Kepanikan Sebuah Rezim
Pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan menyeluruh. Aturan hukum harus diperbaiki dan sistem harus diperkuat. Adalah sia-sia berteriak ingin memberantas korupsi, sementara norma hukum tidak diperbaiki, dan sistem bernegara yang dibangun malah mendorong dan membuka peluang lebar-lebar untuk korupsi. Sisi lain pemberantasan korupsi yang tidak boleh diabaikan adalah keteladanan sang pemimpin. Hukum harus ditegakkan terhadap siapapun, terutama terhadap diri sendiri. Namun rezim ini mengulang kembali praktik rezim lama. Ketika korupsi diduga melibatkan orang-orang yang berada di puncak kekuasaan dan partai yang berkuasa, langkah pemberantasan korupsi seakan menjadi mandul. Rakyat takkan pernah percaya iktikad baik rezim untuk memberantas korupsi selama mega skandal korupsi seperti kasus Bank Century tak pernah tersentuh oleh hukum.
Di tengah kepanikan tudingan kegagalan memberantas korupsi, rezim berupaya untuk membangun citra bahwa dirinya bersih. Dalam konteks pembangunan citra itu, cara-cara ad hoc dan parsial kembali ditempuh, termasuk "moratorium" dan "pengetatan pemberian remisi" yang disebut-sebut akan mampu menimbulkan "efek jera" bagi koruptor. Langkah parsial seperti itupun tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan konsepsional: konstitusi diabaikan dan undang-undang ditabrak melalui "kebijakan" yang terkesan seadanya dan seenaknya melalui Staf Khusus Presiden yang belakangan diangkat menjadi Wamenkumham, Professor Denny Indrayana. Ketika langkah dikritik, rezim bukannya introspeksi malah menyerang balik menuduh kelompok kritis sebagai pro-koruptor, pembela kruptor dan bahkan memimpin "corruptor fight back". Padahal, yang dilakukan pengkritik esensinya bukanlah membela korupsi, sebaliknya malah menelanjangi rezim yang telah gagal memerangi korupsi. Bahkan, rezim sendiri diduga kuat terlibat dalam praktik-praktik korupsi yang ingin mereka perangi.
Essensi kegagalan penanganan korupsi kemudian dibelokkan menjadi serangan bersifat propaganda bernata dua: di satu sisi ingin menutupi kegagalan dan menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka adalah kampiun anti korupsi, dan disisi lain memonjokkan lawan dengan dengan menuduhnya untuk membangun stigma sebagai pro dan bahkan pembela korupsi. Rezim yang mencoba bertahan dengan menggunakan propaganda politik ala Hitler dan Jozeph Goebbels, dalam sejarah tak pernah berhasil untuk bertahan. Karena mereka adalah penipu yang sebenarnya yang menggunakan kedok-kedok kekuasaan yang berlapis-lapis membela diri dari kegagalan. Namun suatu ketika, kedok-kedok akan terbuka, yang akhirnya akan mempermalukan mereka di hadapan rakyatnya sendiri.
Pakar Hukum Tata Negara