Miskinkan Koruptor Lewat UU Pajak
Menurut peneliti Perkumpulan Prakarsa, J Prastowo, pemiskinan koruptor di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih terkesan wacana dan sifatnya kasuistik.
Wacana yang didukung Presiden Yudhoyono ini belum punya payung hukum yang jelas.
"Sebenarnya pemerintah tidak perlu mencari payung hukum baru untuk bisa mengimplementasikan pemiskinan koruptor ini. UU Pajak yang ada jika digunakan secara efektif bisa memiskinkan koruptor seperti Gayus, Dhana (Widyatmika) dan lain-lain," kata Prastowo di Jakarta, Selasa (13/3).
Ia menjelaskan selama ini banyak koruptor yang hanya dihukum ringan tanpa dimiskinkan. Artinya, ketika mereka keluar dari penjara, kehidupan mereka tidak terpengaruh karena kekayaan mereka tidak tersentuh oleh instrumen hukum.
"Banyak koruptor yang tenang-tenang saja dipenjara karena begitu keluar pun mereka masih tetap kaya. Paling banter menjalani 2 atau 3 tahun
hukuman penjara," katanya.
Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu memerintahkan agar jaksa menyita aset Gayus Tambunan senilai Rp74 miliar dari rekening, deposito dan aset lainnya.
Akibat perbuatan memanipulasi setoran pajak, selain sita aset, Gayus juga dikenai pidana enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Prastowo menambahkan, pemerintah bisa menggunakan Undang-Undang 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai instrumen tambahan untuk memiskinkan koruptor.
UU Pajak bisa digunakan setelah pengadilan memutuskan seorang koruptor bersalah dan terbukti melakukan korupsi.
"Selama ini banyak pihak bingung bagaimanana penerapan hukum dalam memiskinkan koruptor. Saya mengusulkan perpaduan hukum pidana biasa dengan UU pajak," ujarnya.
Ia mencontohkan sebuah kasus seorang koruptor dipidana penjara 1,5 tahun dan terbukti mengkorupsi uang negara senilai Rp50 miliar. Selain melanggar hukum pidana, sebagai wajib pajak (WP), para koruptor juga melanggar UU Pajak karena kekayaan senilai Rp50 miliar tersebut tidak dikenai pajak.
Dari angka Rp50 miliar sesuai dengan UU Pajak, ia harus membayar 30% dari kekayaan hasil korupsi yakni sebesar Rp15 miliar. Terpidana juga dikenakan denda 48% dari angka Rp15 miliar atau sebesar Rp7 miliar. Total Rp22 miliar yang dapat diambil negara dari kekayaannya.
Menurutnya denda bisa bertambah jika dalam proses pengadilan pajak, sang koruptor terbukti melakukan tindakan pidana dari segi perpajakan.
"Jadi perbuatan pidananya bukan pidana dalam hukum biasa, tetapi juga diperiksa dalam hukum pajak. Jika itu terbukti maka dia harus membayar 4 kali Rp15 miliar sama dengan Rp60 miliar," katanya.
Dengan demikian, total kekayaan yang bisa dirampas negara dari sang koruptor sebagai wajib pajak adalah Rp82 miliar.
Prastowo menerangkan, dengan cara seperti itu upaya memiskinkan koruptor bisa efektif tanpa perlu menambah instrumen hukum yang baru.