Nazaruddin: Uang Hambalang ke Sesmenpora, Menpora, Komisi X, dan Banggar
Terdakwa kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games, Muhammad Nazaruddin, mengungkap fakta baru perihal kasus Hambalang.
Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu mengatakan uang Rp100 miliar yang berasal dari PT Adhi Karya melalui Mahfud Suroso, ternyata juga dibagikan ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), anggota Komisi X DPR RI, serta pimpinan anggaran.
"Proyek Hambalang karena saya ikut dari awal. Jadi, ada uang Rp100 miliar yang dibawa ke Apartemen di Senayan City sudah dalam boks yang satu boksnya senilai Rp25 miliar. Tetapi, ternyata sudah tidak jadi dan diperintahkan diberikan ke Yulianis hanya Rp50 miliar dan Rp50 miliar lainnya dibagi ke anggota dewan yang lain," ungkap Nazaruddin di hadapan Majelis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, hari ini.
Namun Nazaruddin tidak menjelaskan secara rinci perihal uang Rp50 miliar tersebut di dalam sidang.
Majelis Hakim tidak menanyakan lebih lanjut perihal uang tersebut.
Ketika ditemui usai sidang, Nazaruddin menjelaskan bahwa uang Rp50 miliar dari proyek Hambalang tersebut dibagikan ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), anggota Komisi X DPR RI, dan pimpinan anggaran.
"Jadi, Rp20 miliar diberikan ke Sesmenpora, Rp10 miliar diberikan ke Menpora, Rp10 miliar diberikan ke anggota Komisi X DPR RI dan Rp10 miliar diberikan ke pimpinan anggaran," ungkap Nazaruddin usai sidang di Pengadilan Tipikor.
Nukilan Eksepsi Anas
Seperti diketahui, kasus dugaan korupsi Hambalang mencuat ketika terdakwa kasus suap Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin buka suara bahwa Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum terlibat didalamnya.
Dalam eksepsi (nota keberatan)-nya, Nazaruddin mengatakan proyek itu semua atas perintah Anas.
"Pada Mei 2009, terakhir kali saya bertemu Dirut PT Duta Graha Indah (DGI), Dudung Purwadi. Pada waktu itu, Dudung akan bertemu Anas. Dalam pertemuan itu, yang datang adalah Anas, Dudung, Manajer Marketing PT DGI Mohamad El Idris, dan saya. Pertemuan itu untuk membicarakan proyek Hambalang dan tidak ada yang lain," ujar Nazaruddin.
Kemudian, pada Desember 2009, dia dipanggil Anas dalam kapasitas sebagai Bendahara Fraksi Partai Demokrat di DPR.
Selain Nazaruddin, tersangka lain kasus Wisma Atlet, Angelina Sondakh juga dipanggil dalam kapasitas sebagai koordinator Banggar DPR.
Saat itu, Anas memerintahkan bertemu Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng untuk membicarakan proyek Hambalang.
Selanjutnya, pertemuan terealisasi di kantor Kempora yang dihadiri oleh Menpora Andi Mallarangeng, Ketua Komisi X DPR Mahyudin, Angelina Sondakh, dan Nazaruddin.
Dalam pertemuan tersebut, ujar Nazaruddin, disepakati bahwa Menpora dan Angelina, selaku koordinator Banggar, akan membuat anggaran khusus untuk proyek Hambalang.
Sedangkan, persoalan teknis akan dibahas secara terinci antara Angie dan Sesmenpora Wafid Muharam.
"Pada Januari 2010, Anas memerintahkan saya untuk mempertemukan Angelina dan Rosa dalam rangka mengerjakan proyek Hambalang. Setelah itu, Angelina dan Rosa berkomunikasi langsung tanpa saya ketahui. Sebab, Rosa wajib melapor ke Anas," jelas Nazaruddin.
Dia juga mengaku, Anas memerintahkan dirinya untuk memanggil anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Ignatius Mulyono pada Februari 2010.
Tujuan pemanggilan itu agar Mulyono mengundang Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto.
Joyo diharapkan bisa membantu Anas terkait sertifikat tanah Hambalang yang sudah dua tahun tidak selesai.
Peran Anas yang sangat penting juga terlihat dalam pengakuan Nazaruddin bahwa penentuan pemenang proyek Hambalang berada di tangan mantan anggota KPU itu.
"Pada April 2010, Anas memutuskan bahwa yang menang proyek Hambalang adalah PT Adhi Karya dan bukan PT DGI. Sebab, menurut laporan Rosa, PT DGI tidak dapat membiayai biaya kongres PD yang membutuhkan dana Rp 100 miliar," katanya.
Kemudian, lanjut Nazaruddin Anas memerintahkan PT Adhi Karya untuk menyerahkan uang tersebut kepada Yulianis untuk di bawa ke Kongres Partai Demokrat di Bandung.