Polisi VS Preman, Siapa Kuat?
Apalah jadinya negara ini, bila kelompok preman tak takut lagi dengan aparat penegak hukum. Ya, setidaknya hal itu terbukti pada kasus penangkapan John Refra Kei, tersangka kasus dugaan pembunuhan mantan bos PT Sanex Steel, Tan Harry Tantono alias Ayung.
Pihak John Kei, yang menilai penangkapan di Hotel C'One, Jakarta Timur, pada Jumat (17/2) lalu, melanggar prosedur, bertubi-tubi menyerang Kepolisian, lewat jalur hukum dan media. Tak tanggung-tanggung, target kelompok preman adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Untung S Rajab.
Kelompok preman, yang kini ahli bermain hukum, telah mampu menyeret kasus dugaan pelanggaran prosedur hingga ke ranah praperadilan. Praperadilan adalah pemeriksaan kembali untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atas permintaan tersangka.
Kelompok preman pun merasa di atas angin. John Kei, yang ditemui usai pemeriksaan rontgen di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, merasa yakin bahwa dirinya bakal memenangi praperadilan. Apalagi, ujar John Kei, dirinya merasa tak bersalah, karena diperlakukan tak seharusnya.
Serangan dahsyat juga dilakukan kuasa hukum John Kei di Mabes Polri. Di markas besar korps bercelana cokelat itu, kuasa hukum John Kei bahkan berani mendikte Polri. Tak hanya mengritik Kapolda, mereka juga meminta AKBP Heru Kurniawan dan Kompol Novianto dihukum karena menembak 'preman'.
Bukan Zaman petrus
Seperti diketahui, era penembak misterius (petrus) terjadi pada 1980-an. Petrus dilakukan untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Kegiatan ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap. Karena itu muncul istilah petrus.
Yang pasti, jumlah korban jiwa saat itu tak terhingga banyaknya. Hanya saja, operasi tersebut mampu menekan dan membuat kelompok preman ketar-ketir.
Bukan era penembakan misterius (petrus). Mungkin itulah alasan Polri terus bertahan di balik serangan para preman. Sejauh ini, Kepolisian hanya bersikap meladeni, sambil sesekali meluncurkan serangan balik.
Meski begitu, Kepolisian juga bersikeras bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran prosedur seperti yang dituduhkan. Salah satunya dengan mempersiapkan berbagai bukti untuk membungkam mulut para preman, yang telah berani mengajak duel aparat penegak hukum diranahnya sendiri.
Sebetulnya, yang sangat mengkhawatirkan pada kasus ini adalah hilangnya kedigdayaan aparat penegak hukum di mata masyarakat.
Apalagi, jika kelompok preman mampu menekuk Kepolisian pada sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Jakarta Selatan itu. Selain, membuat kepercayaan masyarakat menurun, kelompok preman dapat semakin tak tersentuh. Mereka merasa dapat mempermainkan hukum, dengan alibi pelanggaran HAM. Dan tentu saja kasus-kasus yang selama ini kembali dikorek kembali, bakal terkubur.
Karena itu, Kepolisian harus membuktikan bahwa prosedur penangkapan yang mereka lakukan benar adanya. Juga harus dapat menjelaskan soal penembakan John Kei. Sebab, hanya dengan pembuktian itulah, kiprah preman memasuki dan menari di ranah hukum dapat ditepis.