Riset: Konsentrasi Kepemilikan Media pada Taraf Membahayakan Hak Publik
Konsentrasi kepemilikan media di Indonesia yang dikuasai oleh 12 grup besar sudah mencapai taraf yang membahayakan hak-hak warga negara dalam bermedia karena informasi yang dikelola lebih mewakili kepentingan pemilik dan isi media sebagai komoditi.
"Riset kami menunjukkan bahwa yang menang dalam hal ini adalah pasar, sementara warga negara dan hak mereka dalam bermedia direduksi menjadi konsumen dan pilihan konsumen," kata Shita Laksmi, salah satu peneliti dan penulis dalam laporan hasil riset mengenai lanskap industri media di Indonesia yang diadakan oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan HIVOS Asia, atas dukungan Ford Foundation, Kamis (8/3).
Dalam paparan hasil penelitian ini, peneliti utama dalam riset ini, Yanuar Nugroho, mengatakan dengan mengambil perspektif keterlibatan hak warga dalam bermedia, riset ini menjadi berbeda dibanding dengan riset-riset mengenai media yang sudah dilakukan sebelumnya, yang umumnya menggunakan perspektif perusahaan media atau jurnalis serta praktisi media.
Dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan analisis data sekunder, riset yang dilaksanakan dalam periode Juli-Desember 2011 ini juga menunjukkan berita-berita yang muncul dalam berbagai saluran media di 12 grup besar tersebut seringkali menjadi bias apabila menyangkut kepentingan pemiliknya, utamanya kepentingan politik.
Media telah menjadi suatu mekanisme yang digunakan pebisnis dan politisi untuk menyampaikan kepentingan mereka.
Ke-12 grup media yang diidentifikasi dalam riset itu sebagai penguasa hampir seluruh kanal media di Indonesia adalah MNC Grup, Kompas Gramedia Grup, Jawa Pos, Mahaka Media Grup, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, Media Grup, MRA Media, Femina Grup, Tempo Inti Media, dan Beritasatu Media Holding.
Tiga di antaranya terafiliasi dengan partai politik, yaitu MNC Grup dan Media Grup dengan Partai Nasional Demokrat, serta Visi Media Asia dengan Partai Golkar.
"Walau bukan berbentuk monopoli, industri media yang dikuasai 12 grup ini sudah membahayakan hak-hak publik dalam bermedia," ujar salah satu anggota tim riset, Dinita Andriani Putri.
Intervensi Semakin Kuat
Riset ini juga menunjukkan intervensi pemilik dalam industri media semakin kuat, dengan memasukkan kepentingan pemilik atau perusahaan dalam produksi konten, terutama berita.
Hal itu tercermin dalam informasi publik yang dapat dikonstruksi oleh pemilik media, dan dikonstetasikan sebagai komoditi yang menjual, sehingga warga terekspos pada informasi yang terbatas dan cenderung homogen.
Penggunaan rating dalam pemberitaan pun menjadi utama sehingga adanya duplikasi konten menjadi sesuatu yang wajar dan pembenaran bagi perusahaan media untuk mengklaim konten yang diproduksi sudah sesuai dengan permintaan dari masyarakat.
"Warga harus tahu punya pemahaman bahwa berita yang mereka terima tidak selalu benar," ujar Sita.
Selain itu masyarakat juga harus ditingkatkan literasi medianya agar lebih kritis dalam menggunakan pemahaman tentang fungsi media dan hak warga untuk bermedia.
"Masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa frekuensi televisi adalah milik publik, yang mereka tahu itu milik perusahaan [media]. Warga negara jadi hanya bisa terima saja," kata Sita.