RUU Dikti Jamin Siswa Miskin yang Kompeten Bisa Kuliah
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Dedi Gumelar mengatakan, DPR melalui Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU Dikti) menjamin siswa miskin tapi kompeten tetap bisa melanjutkan ke bangku kuliah.
"Kami di DPR menginginkan bagaimana orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi, tapi punya kompetensi, bisa diberi hak sama," kata Dedi di Jakarta, Kamis (29/3).
Dedi mengatakan bahwa pembahasan RUU Dikti sudah masuk dalam tim perumus. Sebelumnya, direncanakan pengesahannya jatuh pada tanggal 4 April 2012, namun akan dimundurkan karena masa reses DPR juga mundur. "Mungkin mundur ke sebelum reses mulai tanggal 16 April, jadi kira-kira di atas tanggal 10 April sudah disahkan," ujarnya.
Menurut Dedi, pembahasan di tim perumus berkutat pada status pengelolaan kampus. Jika kampus dikelola sebagai satuan kerja (Satker), maka menurutnya kualitasnya akan sulit berkembang. Sebab tata kelola kampus menjadi sangat birokratis, khususnya dalam menjalankan anggaran.
Namun, masih menurut Dedi, jika kampus diberi otonomi penuh, maka dikhawatirkan muncul berbagai pungutan untuk menarik dana masyarakat. "Kampus dengan otonomi penuh memang fleksibel, tapi bisa menarik dana dari masyarakat dengan semena-mena. Kondisinya jadi seperti Badan Hukum Pendidikan (BHP). Itulah yang traumatik dari masyarakat," katanya.
Dedi mengungkapkan, DPR saat ini sedang membahas dua tata kelola, yaitu Satker dan Badan Layanan Umum (BLU). "Kriteria otonom penuh, semi-otonom, dan otonom terbatas sudah dibuang," ujarnya.
Batasi Otonomi
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Faldo Maldini, mendesak agar RUU Dikti membatasi otonomi perguruan tinggi negeri (PTN) untuk menarik dana ke mahasiswa. Sebaiknya katanya, otonomi kampus dijalankan dalam konteks administrasi saja, sedangkan terkait urusan mencari sumber pendanaan harus ada pengawasan ketat dan dukungan dari pemerintah.
Menurut Faldo, UI memiliki pengalaman buruk terkait kebebasan kampus untuk mencari sumber dana. Sejak UI berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menurut PP 152/2000 tentang Penetapan UI sebagai BHMN, maka kampus dibebaskan mengelola dan mencari dana sendiri, termasuk dari masyarakat. Akibatnya, UI mengeluarkan sejumlah kebijakan keuangan yang merugikan mahasiswa.
"Sejak UI menjadi BHMN tahun 2000, rektorat mengeluarkan kebijakan admission fee atau uang pangkal. Lalu, ada kebijakan subsidi silang SPP lewat Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B), tapi sebenarnya cukup mahal untuk kelas ekonomi menengah. Lalu dibuka pula berbagai jalur masuk seperti jalur mandiri (SIMAK UI) atau jalur non-reguler," kata Faldo.